Mohon tunggu...
Jason Alvin
Jason Alvin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Sel Punca dan Kontoversi dalam Ekstraksinya

30 Agustus 2018   02:57 Diperbarui: 30 Agustus 2018   03:28 1211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belum lama ini, sel punca (atau yang lebih dikenal dalam bahasa Inggris sebagai stem cell) menjadi semakin marak dipakai dalam dunia medis karena penggunaannya sudah terbukti bisa menyelamatkan banyak jiwa. Sel punca memiliki kemampuan yang lebih dari sel-sel tubuh lainnya. Sel punca adalah sel yang belum berdiferensiasi, yakni belum berkembang menjadi sel-sel tubuh tertentu.

Sel ini juga mampu bereplikasi lebih cepat dan bisa dikembangkan lagi menjadi sel-sel tertentu seperti sel saraf, sel jantung, sel otot, dan masih banyak lagi. Kemampuan tersebut membuat sel punca bisa dipakai untuk memperbaiki jaringan maupun organ tubuh yang rusak atau cacat.

Dari hasil terapi yang selama ini sudah dilakukan, menunjukkan bahwa penggunaan sel punca menunjukkan hasil positif terhadap proses penyembuhan pasien pengidap penyakit yang berhubungan dengan sistem saraf seperti penyakit Parkinson.

Selain itu sel punca juga terbukti mampu membantu mengobati penyakit kanker darah (leukimia) dan penyakit diabetes tipe 1. Berbagai manfaat yang ditawarkan dari terapi pengobatan menggunakan sel punca memicu bertambahnya pula pasien yang tertarik menggunakan terapi tersebut.

Semakin maraknya praktik terapi sel punca, dan bertambahnya jumlah pasien yang membutuhkannya menyebabkan perbandingan kebutuhan dan permintaan yang tidak seimbang. Selain itu, kegiatan riset yang semakin berkembang juga membutuhkan lebih banyak sel punca sebagai bahan percobaan.

Kebutuhan yang besar memacu ilmuwan untuk mencari sumber baru ekstraksi sel punca. Atas dasar fakta tersebut, cara-cara yang kurang etis akhirnya dilakukan demi memenuhi kebutuhan dunia medis pada masa kini.

Ekstraksi sel punca bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Antara lain adalah dengan cara mengambil sel punca dari darah pasien, sumsum tulang pasien, atau bisa juga dengan menggunakan sel tubuh janin yang masih hidup misalnya pada sisa potongan tali pusar. Cara-cara tersebut kurang efisien dalam menghasilkan sel punca sehingga kurang efektif bila dipakai sebagai sumber utama sel punca untuk terapi pengobatan.

Setelah melalui riset yang panjang, ilmuwan akhirnya menemukan sumber ekstraksi sel punca yang cukup menjanjikan, yaitu dengan cara mengambil sel punca yang berasal dari embrio manusia. Sel yang berasal dari embrio memiliki sifat pluripoten, yaitu dapat berdiferensiasi menjadi semua jenis sel dalam tubuh, namun tidak dapat membentuk suatu organisme baru.

Embrio yang digunakan biasanya berasal dari embrio yang berumur 4 sampai 5 hari sisa proses fertilisasi in vitro (bayi tabung) atau hasil dari proses pembiakkan secara khusus untuk diambil sel puncanya di dalam laboratorium. Proses ini melibatkan terminasi embrio sehingga memungkinkan ilmuwan untuk mengambil sel bagian dalam blastosis (inner mass cell). Hal ini bisa dikategorikan sebagai praktik aborsi karena membunuh calon bayi yang juga merupakan calon manusia.  

Fakta tersebut memunculkan pertanyaan kritis tentang etis tidaknya proses ekstraksi sel punca yang berasal dari embrio. Moralitas manusia sangat dipertanyakan dalam menyikapi hal ini. Membunuh embrio berarti menghilangkan calon kehidupan yang memiliki hak dan kesempatan untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi individu dewasa.

Penting diketahui, setiap manusia, sadar atau tidak, pernah berada dalam satu tahap kehidupan yang sama, yaitu embrio. Anda tentu pernah menjadi salah satunya. Misalkan saja, anda adalah embrio yang akan diambil sel puncanya, otomatis anda tidak akan pernah ada di dunia pada saat ini.

Apa yang akan anda rasakan jika anda dulu menjadi salah satu embrio yang bernasib nahas tersebut? Argumen tersebut menjadi salah satu dasar dari penolakan proses ekstraksi sel punca dari embrio.

Praktek pengambilan sel punca dari embrio bisa dikatakan melanggar kode etik Nuremberg (yaitu adalah kode etik penelitian berjumlah 10 butir yang diciptakan dengan maksud memastikan tidak adanya unsur pemaksaan yang terjadi dalam suatu penelitian), karena dapat dipastikan melanggar dua butir dalam kode etik tersebut, yang bunyinya adalah:

Setiap subjek penelitian haruslah didasari atas kesukarelawan subjek, serta subjek penelitian harus mendapat informasi yang jelas dan terbuka akan penelitian yang akan dijalankan kepadanya, serta subjek harus memiliki kesadaran penuh terhadap penelitian yang akan dilakukan terhadapnya, dan, setiap kegiatan penelitian tidak boleh dilakukan, bilamana diyakini akan menimbulkan cacat permanen, kelainan, maupun kematian terhadap subjek penelitian dalam prosesnya. Sesuai fakta yang sudah disajikan sebelumnya, proses ekstraksi sel punca dari embrio melibatkan proses pembunuhan embrio sehingga menimbulkan kematian embrio sebagai bakal manusia. Embrio juga belum memiliki kesadaran tidak mempunyai kemampuan untuk menentukkan kemauannya dalam mengikuti proses yang akan dijalaninya.

Ekstraksi sel punca dari embrio juga sangat bergantung terhadap pasokan sel telur yang didapat dari proses transvaginal oocyte retrieval (TVOR), yaitu proses pengambilan sel telur subur dari ovarium wanita untuk dibiakkan di luar tubuh. Bila tidak ada peraturan jelas yang mengatur tentang kegiatan ekstraksi sel punca yang berasal dari embrio, hal tersebut bisa membuka celah terjadinya komodifikasi sel telur dari wanita.

Para pendonor bisa saja mendapatkan terapi superovulasi agar mereka mereka mampu menghasilkan sel telur lebih dari sekali dalam sebulan. Prosedur ini menimbulkan rasa sakit yang cukup signifikan dan dpat menyebabkan masalah kesehatan lainnya seperti rusaknya ovarium.

Menyadari proses tersebut, maka proses TVOR untuk pengembangbiakkan embrio yang akan diambil sel puncanya merupakan hal yang merendahkan harga diri wanita karena mereka hanya dianggap sebagai penghasil sel telur saja, bukan sebagai manusia yang memiliki kebebasan dan hak asasi manusia.

Biaya terapi yang tinggi dapat pula menjadi faktor pendorong terjadinya komersialisasi sel punca. Demi memenuhi kebutuhan dan untuk mencari keuntungan, embrio dibiakkan (melalui proses fertilisasi di laboratorium) secara intensif, lalu dimatikan dan diambil sel puncanya, untuk kemudian dijual sebagai komoditas yang bernilai tinggi.

Praktek komersialisasi sel punca adalah hal yang tak pantas dilakukan, apalagi bila sel yang diperjualbelikan berasal dari embrio yang merupakan calon kehidupan manusia. Membunuh embrio sama halnya seperti membunuh orang dalam keadaan koma. Mengetahui hal tersebut, apakah anda mau menjadi orang koma tersebut? Tentu tidak bukan? Praktek seperti itu tentu sangat merendahkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk hidup.

Penggunaan sel punca untuk terapi medis yang berasal dari embrio juga memiliki resiko penolakan oleh sistem imunitas penerima. Sel punca yang berasal dari embrio memiliki susunan DNA yang berbeda dengan sel tubuh penerima, sehingga bisa memicu sel darah merah menganggapnya sebagai sel penyerang tubuh.

Hal tersebut secara langsung mengurangi efektivitas terapi. Obat-obat yang dipakai untuk meredam efek penolakan dari tubuh ternyata juga memiliki efek samping yang tidak tanggung-tanggung. Melemahnya sistem imunitas tubuh secara signifikan dapat menyebabkan penerima terserang infeksi yang lebih berbahaya dari yang pernah dialami sebelumnnya.

Beberapa pihak berpendapat bahwa ekstraksi sel punca merupakan hal yang wajar untuk dilakukan karena hasil dari praktik tersebut dapat menyelamatkan banyak nyawa. Pendapat tersebut kurang tepat, karena embrio adalah pada dasarnya manusia, hanya saja masih berada di tahap perkembangannya yang paling awal.

Membunuh manusia demi menyelamatkan manusia lainnya bukanlah sesuatu hal yang benar untuk dilakukan. Jadi pendapat tersebut tidak bisa dipakai untuk membenarkan praktek ekstraksi sel punca dari embrio.

Pendapat lain juga juga mengemukakan bahwa embrio yang dibiakkan untuk diambil sel puncanya bukanlah bertujuan untuk menghasilkan bayi, sehingga tidak membawa dampak etika dan moral terhadap hal apa saja yang akan dilakukan kepada mereka kedepannya.

Pendapat itu juga kurang tepat, karena proses fertilisasi, baik yang terjadi secara alami maupun buatan (dalam laboratorium), akan menghasilkan bakal bayi, yang adalah manusia juga. Kurang tepat bila menganggap embrio yang dibiakkan secara khusus hanya untuk diambil sel puncanya, bukanlah manusia.

Lalu, adakah jalan penyelesaian dari permasalahan ini? Sebenarnya, persoalan ini bisa diselesaikan dengan munculnya teknologi baru dalam proses penyediaan sel punca untuk kebutuhan medis. Cara tersebut adalah dengan menggunakan Sel induk pluripoten diinduksi (dalam bahasa Inggris disebut sebagai induced pluripotent stem cell atau IPSC), yaitu merupakan sel punca hasil rekayasa genetika yang berasal dari sel dewasa yang diprogram kembali sehingga memiliki sifat pluripotensi.

Pengubahan sel dewasa dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara pertama adalah dengan memasukkan gen yang berperan dalam ekspresi sifat-sifat sel punca ke dalam sel tubuh dewasa seperti Oct-3/4, keluarga gen Sox (Sox2, Sox1, Sox3, Sox15, Sox18), keluarga gen Klf (Klf1, Klf2, Klf4, Klf5), dan keluarga gen Myc (c-myc, L-myc, and N-myc), serta gen Nanog dan LIN28 dengan menggunakan perantara retrovirus.

Cara tersebut adalah cara pertama yang berhasil mengubah sel somatis menjadi sel induk pluripoten diinduksi. Cara ini dikemukakkan oleh Shinya Yamanaka dan timnya yang berasal dari Kyoto Univerity, Jepang. Cara kedua adalah dengan menggunakan bahan kimia seperti histone methyl transferase (HMT) dan DZNep, ALK5 inhibitor SB431412 dan MEK (mitogen-activated protein kinase) inhibitor PD0325901 dengan menambahakan pula Thiazovivin untuk meningkatkan jumlah sel induk pluripoten diinduksi (kimiawi) yang dihasilkan.

Cara tersebut dikemukakkan oleh Profesor Sheng Ding dan timnya. Cara lainnya adalah dengan menggunakan perantara adenovirus untuk memasukkkan gen-gen yang berpengaruh dalam ekspresi sifat-sifat sel punca. Selain itu plasmid juga bisa dipakai untuk memasukkan gen gen tersebut.

Proses ini secara langsung menghilangkan masalah etika dan moral yang dialami oleh praktik ekstraksi sel punca dari embrio, dan secara signifikan mengurangi resiko penolakan sel punca oleh tubuh penerima karena sel yang digunakan berasal dari tubuh penerima sendiri (tidak ditolak oleh sistem imunitas tubuh penerima).

Jadi, kesimpulan yang dapat ditarik adalah, ekstraksi dan penggunaan sel punca yang berasal dari embrio harus segera dihentikkan. Ada beberapa fakta yang mendukung argumen ini, yaitu; yaitu ekstraksi sel punca dari embrio melibatkan proses pembunuhan embrio, yang merupakan manusia dalam bentuk terkecilnya sehingga belum memiliki kesadaran akan hal yang akan dialaminya.

Ibaratkan saja anda membunuh seorang yang tak berdaya demi menyelamatkan yang sakit. Hal itu tentu tak bisa dibenarkan. Kedua, penggunaan sel punca yang berasal dari embrio memiliki resiko penolakan oleh tubuh penerima yang lebih besar dari metode lainnya karena memiliki susunan DNA yang berbeda dari sel tubuh penerima.

Ketiga, belum adanya peraturan hukum yang jelas tentang proses ekstraksi sel punca yang berasal dari embrio memungkinkan terjadinya komodifikasi dan komersialisasi sel punca dan segala hal yang berhubungan dengannya termasuk sel telur pendonor (terutama ketika proses pengambilan sel telur dari pendonor karena mereka yang akan mengalami kerugian terbesar).

Pada dasarnya, kegiatan ekstraksi sel punca dari embrio menempatkan nilai kehidupan manusia berada pada posisi terbawah, hanya untuk meningkatkan taraf hidup manusia lainnya. Sadar atau tidak, hal tersebut terbukti menjadi dasar dari segala pelanggaran HAM yang ada di dunia ini.

Semoga artikel ini bisa lebih membuka wawasan pembaca dan memberikan gambaran nyata tentang praktik ekstraksi sel punca dari embrio yang kurang manusiawi. Sampai jumpa di artikel selanjutnya.

Sumber Referensi: 

https://medium.com/@kuhn.stefanie85/embryonic-stem-cell-research-pros-and-cons-4760149e41df

https://en.wikipedia.org/wiki/Nuremberg_Code

https://stemcells.nih.gov/info/basics/6.htm

https://en.wikipedia.org/wiki/Induced_pluripotent_stem_cell

https://en.wikipedia.org/wiki/Shinya_Yamanaka

https://en.wikipedia.org/wiki/Induced_stem_cells

https://en.wikipedia.org/wiki/Transvaginal_oocyte_retrieval

https://www.cirm.ca.gov/patients/myths-and-misconceptions-about-stem-cell-research

https://trmbaby.com/library/treatments/superovulation/

http://abort73.com/abortion_facts/stem_cell_research_and_abortion/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2598267/

https://bioinformant.com/cost-of-stem-cell-therapy/

https://abcnews.go.com/US/story?id=93007&page=1

https://id.wikipedia.org/wiki/Sel_IPS

https://en.wikipedia.org/wiki/Stem_cell

https://id.wikipedia.org/wiki/Sel_punca

https://id.wikipedia.org/wiki/Fertilisasi_in_vitro

https://reason.com/archives/2001/07/11/are-stem-cells-babies

https://stemcells.nih.gov/info/basics/7.htm

https://stemcells.nih.gov/info/basics/3.htm

https://id.wikipedia.org/wiki/Blastosis

https://pubs.acs.org/doi/abs/10.1021/acs.accounts.7b00020?src=recsys&journalCode=achre4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun