Lima jam lebih, tibalah Claude di tengah gemerlapnya Paris. Terdengar sangat tidak masuk akal bagi siapapun. Ya, mengapa harus ke Paris untuk sekantung rempah-rempah? Mengapa tidak ke Geradmer atau Vagney? Bahkan Claude terpaksa harus mengarang alasan kepada Nam Ha hanya agar bisa mencapai Paris. Sebab Claude sungguh perlu waktu untuk membenarkan ide yang sejatinya pun ditentang oleh nuraninya sendiri, ide tentang memasang seperangkat cctv tanpa sepengetahuan istrinya. Claude sangat tertekan oleh hasrat aneh yang terus mendesaknya untuk membeli cctv. Dan itu mustahil ia dapatkan di region terdekat sebab akan mengundang banyak pertanyaan dari para koleganya. Tak hanya itu, mereka pasti akan mentertawakannya juga, berkata bahwa ini desa ternyaman untuk ditinggali bukan London dimana setiap sudutnya diawasi.
Seminggu, mungkin sebulan telah berlalu, Claude telah melupakan cctv yang dipasangnya. Ada rasa sesal tak berkesudahan mengingat betapa piciknya ia dengan mesin pengintai demi pemuas nafsu penasaran akan keseharian Nam Ha, istri yang sangat ia cintai dengan sepenuh hati. Namun segalanya menjadi berbeda ketika seorang utusan mayor datang mengabarkan kematian Mathieu Wiegel.
Dengan nafas memburu, Claude berlari namun gagal memburu sang utusan. Lalu hati-hati, ia membuka sesuatu yang tergesa diselundupkan ke dalam genggamannya. Gulungan kertas kecil itu hanya tertera kata 'cctv' yang ditulis tangan dengan goresan tegas khas seorang Mathieu, teman mainnya sejak kecil, sahabat terdekat yang selalu merasa yakin dirinya punya sixth sense namun kerap ditertawakan Claude mengingat Mathieu adalah penggemar berat Jensen Ackles dalam American tv series 'Supernatural'. Lepas dari itu, Mathieu adalah juga partner, lawyer-nya yang ambisius dalam bekerja. Kematian Mathieu yang tiba-tiba dan sulit diketahui sebabnya hingga keputusan kremasi yang dinilainya ekstrim mengingat itu bukan cara yang dipakai turun temurun di lingkungan keluarga Wiegel, maka tiba-tiba saja kabar duka itupun berlaku serupa alarm yang menuntut Claude untuk bangun segera dari mimpi terindahnya. Sebuah cara yang aneh untuk mengubah keputusan...
Di ruang kerjanya Claude berdiam. Benaknya kembali menimbang. Tangannya bergetar. Meraba ragu notebook di atas meja. Di saat yang sama, Nam Ha berada ditengah-tengah kesibukkan menghibur dan menjamu para tamu di kediaman keluarga Wiegel.
Setelah memeriksa DVR dan lain-lainnya, dengan menarik nafas berat, akhirnya Claude berhasil membuka notebook-nya. Tampak pada layar monitor ruang tamu yang megah tempatnya menjamu kerabat, sahabat dan kolega dalam pesta-pesta meriah penuh suasana keakraban. Dan ruangan itu kini tampak sepi. Claude memainkan mouse-nya, menggeser tampilan demi tampilan yang telah direkam melalui kamera cctv. Dan semua hanya menampilkan ruangan demi ruangan yang telah sangat ia hafal, sebab di chateau bergaya Roman inilah tempatnya dilahirkan dan dibesarkan hingga bangunan berumur seabad lebih itu diwariskan kepadanya. Pada pilihan terakhir, ia memilih kamera yang dipasang dibalik lukisan besar yang memajang para leluhurnya. Terletak tepat di pavilion depan yang menghadap taman, ruangan penuh kehangatan dimana ia dan Nam Ha biasa bercengkerama hingga mengantarnya pada perkelahian asmara. Secara mengejutkan tampak sosok Nam Ha pada layar notebook itu. Claude pun tersenyum sendiri mendapati istri cantiknya tengah merias diri, duduk dengan anggun menyisir mahkota hitamnya yang menawan. Claude menopang dagu, menatap tak berkedip, dan untuk kesekian kali, tak bosannya ia mensyukuri takdir yang telah mempertemukannya dengan sang istri tercinta.
Claude seperti tersihir menikmati jemari lentik Nam Ha yang menyisir rambutnya dengan ayunan gemulai seperti tangan penari Len Dong yang pernah ia lihat di salah satu kuil di Hanoi. Namun semakin dicermati, lambat namun nyata terjadi, Claude menyadari bila rambut Nam Ha terlihat memanjang, lalu bergerak kian memanjang dan semakin memanjang saja. Bahkan ketika Nam Ha berhenti menyisir, rambutnya itu masih terus memanjang.
"Non! Non!"Â Claude harus menggosok matanya berulang kali, memastikan netranya tak berkabut atau salah melihat layar gadget itu. Karena sulit untuk percaya, Claude pun bergegas menekan tombol rewind. Namun tayangan itu tak berubah. Justru semakin membuatnya terhenyak. Rambut yang seolah berjiwa itu lalu bergerak merayapi dinding, menjangkau kaca-kaca jendela lantai demi lantai bahkan mencapai kubah dimana empat menara tegak berdiri. Seperti mendapat perintah rambut itupun meraih sarang laba-laba, bergerak kesana-kemari seperti kemoceng di tangan asisten rumah tangga. Claude ternganga.
Kemudian dilihatnya Nam Ha mengangkat kedua kaki lalu meletakkannya di atas meja rias. Seolah belum cukup dengan sesuatu yang dipikirnya hanya ada di novel, drama atau film-film bergenre horror, Claude melihat sepasang kaki indah itupun bergerak memanjang tak hanya paha, betis, namun jari-jemari kaki itu serentak memanjang pula. Claude merasa ia semakin kesulitan bernafas. Keanehan ini benar-benar diluar jangkauannya, bahkan imajinasi terliar yang pernah ia miliki sekalipun.
Dan lagi-lagi, seperti telah diperintah, dua kaki berikut kesepuluh jari bergerak lincah menyapu dan mengepel semua sudut lantai. Tak hanya sampai di situ, seluruh anggota tubuh Nam Ha, bergerak memanjang dan terus memanjang hingga mencapai tempat-tempat yang seolah telah diputuskan menjadi bagiannya untuk dibersihkan. Tak ada sudut chateau yang tertinggal, kebun dan taman, setiap inci yang menjadi propertinya sempurna terjamah dengan hasil yang selama ini telah terbukti mendatangkan decak kekaguman.
"Sacre Bleu!" Claude membekap mulutnya sendiri. Tenggorokannya tercekat. Ketegangan ini sungguh tak setara dengan semua jenis thriller yang pernah ia tonton di layar lebar. Bahkan leher jenjang Nam Ha, tempatnya selama ini mendaratkan banyak ciuman membara, dalam sekejap pun menjadi demikian terlalu jenjang, hingga mencapai dapur yang terletak jauh dari pavilion. Mungkin tertarik terlalu panjang hingga Nam Ha tampak seperti tercekik. Mata indah itu tampak mendelik, nyaris tercabut.
"Oh mon Dieu! Non! Non! Nam Ha, bebe...," Claude hampir menangis melihat penampakan menyeramkan sang istri. Lalu dari leher yang tampak tercekik itu, Nam Ha berusaha memuntahkan sesuatu. Claude sangat tak ingin percaya apa yang tengah dilihatnya. Namun layar monitor di notebooknya, dengan jujur, jelas, dan rinci menampilkan gambar yang terekam melalui kamera cctv yang ia pasang. Muntahan itu berupa gumpalan hitam dimana secara mengerikan berubah menjadi monster-monster mini beragam bentuk yang Claude sendiri pun sulit mendefinisi.