Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[2] Kaus Kaki Ramonsky

1 Oktober 2016   16:40 Diperbarui: 1 Oktober 2016   16:52 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kaus kaki Ramonsky

-o0o-

“Muum!”

“Yaa Mas!” sahut Mumum dengan ‘ya’ bergelombang panjang seperti penyanyi yodel. Uhh, paling cari sesuatu ngga ketemu, tapi teriaknya seperti Tarzan, Mum menggerutu. Sambil mengelap telapak tangannya ke apron, ia tergopoh menyatroni si empunya suara berat tapi empuk di telinga itu.

“Pada migrasi kemana sih kaos kakigua, ha?”

Mum sontak terbelalak melihat isi laci terburai. Kaus-kaus kaki ramai berserakan di lantai, semua bercerai dengan pasangannya tak diketahui sebabnya. Dan laki-laki manja ini masih bertanya ‘pada migrasi kemana kaus kakigua?

“Lah ini, iniih, niku, nikuu, ono-nooh, apadong namanya Maskalau bukan kaus kaki?” Mum menunjuk tiap kaus kaki itu dengan muka masam dan sebal. “Ini kan kaus kaki tho, Mas? Bahasa Jepangnya Kutsushita, bahasa Cinanya Wazi, bahasa Koreanya Yangmal, bahasa Tagalognya Medyas, bahasa Inggrisnya Sock, bahasa Jermannya Socke, bahasa Belandanya Sok, tapi bukan sok atuh dalam bahasa Sunda,” sambung Mum panjang lebar. Hatinya masih tak senang, sudah diteriaki seperti maling kesiangan, tergopoh pula ia tinggalkan pekerjaan pentingnya, dan semua itu hanya untuk…kaus kaki?

Rahang Ramon mengeras. Naik turun dan mengeras lagi. Si Mumun jelek ini memang tak boleh dianggap remeh untuk urusan debat kusir.

“Gua juga tau ini-itu, ono-nooohh, kaus kaki, Mum. Tuh, tuh ituh semua juga kaus kaki,” berkata kalem Ramonsky sambil membenamkan segenggam kaus kakinya ke wajah Mum.

Hmpffhh!

Mendadak gulita di wajahnya, Mum hilang keseimbangan, lalu terduduk di kursi pijat otomatis. Bruk! Dan tak sengaja sikunya menekan tombol On. Mum rileks sejenak. Aah, memang benar apa kata orang tua. Dibalik derita pasti ada bahagia. Batin Mum bersurak huray!

Ramon melongok ke luar jendela kamar. Ibunya ternyata tak jauh dari kamarnya. Sibuk menata bunga di atas meja besar di ruang tengah.

“Sst, bukan kaus kaki pembelian Ibu, Muum..,” sambil setengah berbisik, Ramon menarik Mum dari singgasana rileksasinya. Sepasang mata elang Ramon terus mengawasi gerak-gerik ibunya. Khawatir sang ibu bisa mendengar adu argumentasi di kamarnya itu.

“Memang ada apa dengan kaus kaki pembelian Ibu?” melihat bukit kekhawatiran di wajah Ramon, walau belum pasti sebabnya, tapi Mum sudah merasa senang dengan menyengaja meninggikan suaranya.

“Dasar jahil lola, Luh!” kali ini segulungan kaus kaki dengan gemas yang berkekuatan disumpalkan Ramon ke mulut Mum.

Lalu, “Aduuh! Sakit tauk, Mas!Bbeuih, bbueihh! Ampun, untung aja bukan kaus kaki kotor,” gadis itupun meringis, kemudian melet-melet merasakan kebas di seputaran mulut dan lidahnya. Sebuah imbalan setimpal atas kejahilannya.

”Lihat,Mum! Ini, yang ini coraknya norakbanget, bahannyatipis, kasar, gatal dan tidak menyerap keringat, harganyapun sudahbisa ditebak pastisepuluh ribu-tiga.  Aku tidak mau hidungmancung Darling SintiyakuCantikku Cintaku mencium bau kakiku,” Ramon berkata jujur.

“Memang bau kaki MasRamon tidak sedap ya?” tanya Mum nakal.

Ramon sontak menyorongkan sepasang kakinya ke wajah Mum. “Nih-nih! Cium sendiri nih! Yang jelas baunya masih jauh lebih bagus daripadabau ketekmu itu, tahu?” dengus Ramon kesal.

“Hah? Masak sih? Memang MasRamon pernahya mencium ketek saya?Kapan tuh? Jangan-jangan waktu Mum lagi tidur pules ya?” Mum merapatkan bibirnya. Ada senyum yang tertahan di sana. Matanya berpijar jenaka.

Tidak ada KDRT kali ini. Mungkin Hardy Ramonsky telah menyadari, membalas perkataan Mum dengan respon esktrim bagaikan alu pencungkil duri, itu pekerjaan yang sia-sia belaka, buang tenaga.

“Mas Ramon! Ya Allah, tega nian kau, Maass!” Dan Mumtaz Hannah hanya bisa pasrah ketika setumpuk pasang kaus kaki yang berhasil ia kumpulkan dan tengah ia rapikan itu beterbangan dan kembali berhamburan, bercerai-berai untuk memuaskan kekesalan Ramon.

“Nah, ya ini dia,pinter kau, Mum,” dengan wajah datarnya, Ramon menjemput uluran tangan Mum, menerima sepasang kaus kaki yang dia maui, tak peduli rona mendongkol Mum yang tampak membara. “Cepat beresin lagi! In five minute,ya, Mum!Aku ngga mau Sintiya kelamaan nunggu!”

Mum mematung. Pijar jenaka di matanya meredup. Senyum gelinya tak lagi terkekang. Ia tak kepalang kesalnya melihat semua kekacauan yang disebabkan kaus-kaus kaki itu. Sebuah kaus kaki nampak bertengger di atas televisi. Sebuah lagi tampak di atas komputer. Sebuah lagi berayun-ayun di pinggiran keranjang basket. Sebuah tergantung menyedihkan di pengait yang menempel dinding. Dan banyak lagi yang harus ia persatukan kembali dengan masing-masing pasagannya. Benar-benar pekerjaan yang menjengkelkan...

“Eitt-dah, Luh! Buruaan,gua mau ganti baju, nih!”pekik Ram menyadari Mum yang masih membatu.

Tak ingin dihantui bayangan Ramon tanpa busana, dan tak peduli betapapun mempesona tubuh maskulinnya itu, Mumtaz Hannah sigap mengatur ulang tiap lipatan dan pasangan yang benar pada kaus-kaus pembungkus kaki itu. Tunggu dulu, pe..pesona? Aiih, andai benar itu punya daya pesona. Sebab bagi Mum hanya Mas Patriot saja yang tampak gagah tulen dengan seragam berpangkatnya itu.

Walau hati Mumtaz masih diliputi kemarahan, gadis itu tetap menyunggingkan sebersit senyuman bila mengenang wajah sumringah Ramon saat mendapatkan kaus kaki yang diinginkannya. Hmm,malangnya ibu, semua kaus kaki pembeliannya itu sangat tertolak oleh sang putra kesayangan. Huhuhu, jadibegitu, ternyata yang disukainya hanyalah kaus-kaus-kakiyang ia belikan untukRamon..

[bersambung]

-[gambar: dokpri]-

-cerita sebelumnya: [1] Mum vs Mon

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun