“Nah, ya ini dia,pinter kau, Mum,” dengan wajah datarnya, Ramon menjemput uluran tangan Mum, menerima sepasang kaus kaki yang dia maui, tak peduli rona mendongkol Mum yang tampak membara. “Cepat beresin lagi! In five minute,ya, Mum!Aku ngga mau Sintiya kelamaan nunggu!”
Mum mematung. Pijar jenaka di matanya meredup. Senyum gelinya tak lagi terkekang. Ia tak kepalang kesalnya melihat semua kekacauan yang disebabkan kaus-kaus kaki itu. Sebuah kaus kaki nampak bertengger di atas televisi. Sebuah lagi tampak di atas komputer. Sebuah lagi berayun-ayun di pinggiran keranjang basket. Sebuah tergantung menyedihkan di pengait yang menempel dinding. Dan banyak lagi yang harus ia persatukan kembali dengan masing-masing pasagannya. Benar-benar pekerjaan yang menjengkelkan...
“Eitt-dah, Luh! Buruaan,gua mau ganti baju, nih!”pekik Ram menyadari Mum yang masih membatu.
Tak ingin dihantui bayangan Ramon tanpa busana, dan tak peduli betapapun mempesona tubuh maskulinnya itu, Mumtaz Hannah sigap mengatur ulang tiap lipatan dan pasangan yang benar pada kaus-kaus pembungkus kaki itu. Tunggu dulu, pe..pesona? Aiih, andai benar itu punya daya pesona. Sebab bagi Mum hanya Mas Patriot saja yang tampak gagah tulen dengan seragam berpangkatnya itu.
Walau hati Mumtaz masih diliputi kemarahan, gadis itu tetap menyunggingkan sebersit senyuman bila mengenang wajah sumringah Ramon saat mendapatkan kaus kaki yang diinginkannya. Hmm,malangnya ibu, semua kaus kaki pembeliannya itu sangat tertolak oleh sang putra kesayangan. Huhuhu, jadibegitu, ternyata yang disukainya hanyalah kaus-kaus-kakiyang ia belikan untukRamon..
[bersambung]
-[gambar: dokpri]-
-cerita sebelumnya: [1] Mum vs Mon
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H