Mata elang Gen menyorot murka. Alisnya menukik tajam.
“Ya sudah kalau ngga mau, jangan marah gitu dong. Uhm… bagaimana kalau main Ludo? Halma? Monopoli?” sepertinya di kepala Rin penuh dengan ide cemerlang.
Gen meleletkan lidah. Para hantu terlatah menjulurkan lidahnya. Sepasang cicak abu-abu dan seekor tokek berbintik menyengir masam. The secret watchers pun kecewa, lantas memutuskan kembali ke sarang setelah menyakini takkan ada pergulatan seru bertatami nafsu.
“Onde-mande, Gen, setelah bertahun-tahun akhirnya kita pun berakhir di mahligai indah ini. Bukankah sudah sepatutnya kita mengukir sejarah? Tapi ohh, lihatlah betapa menyedihkannya kita berdua malam ini.”
“Sudahlah mari kita bobo saja. Nanti akan tiba waktunya kita mencipta romansa,” saran Gen pasrah.
“Tidak mau! Pokoknya do something!” Rin merepek.
“And what could I possibly do with this… hand?” Gen tak kepalang malu dan bingung.
“Oh Gen, andai kau bersabar hingga kain pembalut luka di sekujur tubuhmu itu dibuka,” Rin tak segan menunjukkan sesalnya.
“Aku hanya takut kehilangan kau lagi, Rin,” ujar Gen sedikit beralasan.
“Yakin ya, kau tak mau memberiku cinta mala mini?” antara mendesak dan separuh mengancam Rin berkata.
“Rin… kumohon, jangan seperti itu?” Gen mulai kehilangan akal. Mengapa pengantin cantiknya perlahan berubah macam monster begini?