“Bukankah doa manusia umumnya tak tamak pada waktu? Doa apakah hingga selama ini?”
Sepasang cicak, seekor tokek berbintik dan para hantu saling memandang tak mengerti pada pasangan raja dan ratu sehari itu. Bahkan dalam dunia melata mereka, saat-saat seperti ini adalah waktunya menunjukkan tindakan brutal atas nama cinta.
“Ini seperti tengah menonton filem bisu, filem hitam putih di masa nenek moyang.”
Lalu diskusi itupun terhenti oleh kidung jengkerik di sudut tergelap malam. Krik. Krik. Lagu yang lirih merintih itu tersiar merdu menambah nuansa syahdu. Meski luruh malu-malu, rintik gerimis yang datang kemudian, lantas menjadi penggebu nuansa beratmosfer romansa. Hanya satu, dua, bintang yang berkelip, memberanikan diri menyapa gulita. Dan rembulan pun meredup temaram, relakan mendung hitam menghambat pesona cahaya kuning keemasannya. Benarkah sang pengantin menjadi sebab bulan menahan diri? Ah, bisa jadi karena ini belum tanggal 15 kalender Jawa. Purnama belum tiba masanya.
Namun, yaah, seperti itulah dukungan penuh sang alam pada sepasang mempelai. Seperti telah dijanjikan tuan penghulu di sepenggalah hari tadi bila malam ini kan menjadi momen teristimewa bagi sepasang pengantin.
“Gen…”
Suara sendu sang pengantin wanita itu melegakan sepasang cicak, tokek berbintik dan hantu kerabatnya. Seperti telah mendapat kepastian bila malam ini takkan berlangsung penuh jemu.
“Kok Gen? Bukankah ini waktunya kau mengubah panggilanku?” Gen, pengantin pria itu berkata sedikit merajuk.
“Eh, iya, hehe, maaf. Maklumlah, aku terlalu mabuk oleh kebahagiaan ini, hingga tak terpikir olehku,” pengantin wanitanya tersipu malu.
“Mas, abang, kanda, ayolah… jangan bertingkah segala tak tahu.”
“Sayang?” si pengantin wanita menambahkan pilihan.