-o0o-
|Merah|Cyan|Turquoise|Amber|Heart-shaped pink berlatar amaranth, warna merah terang keunguan yang diasosiasikan dengan keabadian.
Lima warna, lima koper dengan konten tertentu. Berbaris tegak dalam lajur yang rapi pada sebuah kabinet pendek dari kayu bermutu yang bersambungan dengan almari pakaian, sebuah rangkaian furnitur angkuh yang tak sembarang toko perabotan berani memajang di ruang pamernya.
Jemari berkuku rata, bercat merah bertahtakan noktah keperakkan yang menyilaukan, bergerak malas menggeser layar pada selular pintar. Panggilan itu, alasan Delilah malas menjawabnya. Namun tak urung ia tetap mengambil suara.
“Halo? Ya, Ma’am?” Delilah menjawab parau, impak asap tembakau.
“Mr. Perfectionist, Deli,” suara riang dari seberang. “Seminggu, atau bisa jadi lebih, begitulah bunyi ordernya, bagaimana, Sayang?”
Bibir Delilah tersenyum sumir. Bagaimana, begitukah kau bertanya Ma’am? Seolah kau mau mendengar kata tidak dariku.
“Seminggu ya?” lalu Delilah ber-uhm… jeda yang diharapkannya bisa mengubah mufakat sepihak itu. Namun seperti yang telah terjadi hingga berbilang tahun, harapan itupun sia-sia seperti uap dari cerobong pabrik. Semestinya Delilah sangat tahu akan hal itu. Karena ia adalah obyek, bukan pelaku dimana implikasi dirinya dalam setiap deal dinantikan. Tapi apatah ada salah tuk menggantung asa?
Lawan bicaranya tak tergesa menyela, bersabar pada jeda, nampaknya sadar bila pembicaraan ini sangat layak untuk ditunggu.
“Ok. Setelah itu berapa hari jatah cutiku, Ma’am?” suara Delilah kembali mengudara, parau yang sangat membuat gila labirin telinga pria kala ditiupkan serentak dengan hembus nafasnya yang menggoda.
“Tidak lebih dari seminggu, Deli-darling. Seperti yang kau tahu, seminggu ketemu seminggu. Oke?” suara dari seberang, lagi-lagi sebuah harga mati.
Termenung Delilah menatap koper merah.
Merah. Warna yang telah ditetapkan sebagai perlambang dari energi, gairah, tegas dan percaya diri. Tapi koper itu tak merah sepenuhnya bila ditegaskan, ia sedikit agak landai ke semburat mentari yang terkejut oleh kokok ayam jantan di pagi hari. Jingga? Ya, semburat jingga yang konon menambahkan kehangatan dan semangat.
Delilah menarik keluar si Merah-Jingga, koper itu. Tak perlu memeriksa muatannya lagi. Delilah sangat yakin pada detil isi bahkan susunannya. Kosmetik komplit, tiga pasang bikini, tiga pasang lingerie, dua mantel bulu, hitam dan coklat cappuccino, lalu tiga gaun kasual, sepasang boot, dan dua pasang hi-heel. Konten yang tidak banyak untuk ukuran perjalanan lintas batas kedaulatan negara yang kerap ditempuhnya, ia dan si Merah-Jingga. Ah, bersama Mr. Perfectionist tentu saja.
Tak payah juga berbanyak bekal, bila Mr. Perfectionist-nya nanti akan –seperti sudah sering terjadi– menghamburkan banyak hadiah. Di setiap event, entah itu daylight meeting atau after-hours meeting yang seringnya dilakukan pada acara gala dinner disusul private and intimate dinner di ruang-ruang yang kebal hidung sensitive media, Mr. Perfectionist, si pria berkuasa super itu akan mengayunkan tangan sihirnya lalu menentukan karya cipta designer mana yang akan disampirkan di tubuh semampai Delilah. Dan Mr. Perfectionist adalah figur elit yang jelas tak pernah mengenal harga. Apa yang disukainya adalah miliknya.
Seingat Delilah, hanya ada satu dinner, saat dirinya secara mengejutkan tak mendapat limpahan gaun limited edition atau yang dirancang sesuai pesanan saja. Di dinner kala itu, Delilah hanya diperintahkan untuk menutupi tubuh mulusnya hanya dengan sebuah poncho cape coat, atasan berupa mantel sepanjang lututnya. Tak perlu segala entrok, apalagi kancut segala.
Dan mantel itu? Hm, betapa Delilah takkan pernah lupa benda mahal itu, mantel yang sangat lembut dan nyaman mencium setiap pori kulitnya. Terbuat dari bulu yang dipuja kalangan pelaku pecinta mode namun sekaligus pembunuh ribuan mamalia pengerat, chinchilla.
Delilah pula hanya sekejap saja memakai mantel itu. Sebab pada dinner yang disebut nyotaimori atau naked-sushi, Delilah harus gembira menjadi meja perjamuan istimewa, dimana kepalan sushi-sushi, aneka irisan bebuahan dan ragam santapan akan disajikan di atas tubuhnya yang tanpa busana.
Mr. Perfectionist, ou ya, begitulah sebutannya, tentu saja dan mengapa tidak? Sebab setiap high-end client memiliki nickname-nya sendiri. Dan untuk menghindari kesan olok-olok, sebutan Mr. Pi itu lalu mendapat elaborasi yang disesuaikan, P is for Perfectionist, Prodigy, Prince, President, dan lainnya. Tapi Delilah tak ambil pening pada nama, samarankah ataupun ori. Seperti iapun tak peduli Damiasih ataukah Delilah, nama yang tertera di akta lahirnya.
Damiasih? Hm, konon seorang ibu menyematkan doa dan pengharapan pada nama itu. Agar ia menjadi wanita yang berhati damai dan berwelas asih. Ibu? Apa kabar ibu?
Sedang Delilah? Karena kecantikan dan kesempurnaan ragawinya diserupakan dewi suwargaloka, lalu simsalabim abrakadabra, Ma’am pun menciptakan boneka dari Hindia, Delilah dengan wajah dan postur tubuh setara para nona peserta ajang kecantikan dunia, dan tiadanya jarum suntik yang pernah menusuk setiap inci jaringan tubuh Delilah, tak seperti kebanyakan wanita di abad ini yang telah keranjingan pemalsuan dan mempercayakan penciptaan ulang di tangan para tuhan bernama dokter bedah kecantikan.
Kau, Delilah, adalah wanita yang sangat beruntung dengan semua anugerah Sang Maha Pencipta. Demikian, Ma’am pernah berkata. Suatu anugerah yang tak semua wanita beruntung mendapatkannya. Beruntung? Pandangan iri hati, puja-puji, itukah beruntung? Surat-surat cinta, puisi dan sajak bermakna asmara, gurindam, karmina, seloka yang memuja-muja, itukah beruntung?
Kalau benar beruntung, tentu Delilah takkan melewati malam-malam penuh derita, penghinaan, kesewenangan, mabuk yang memusingkan, kesenangan palsu yang getir. Dan kalau benar beruntung, tentu ibu takkan meninggalkan putri tercantiknya. Sungguh, Delilah lebih rebah pada kata ‘kutukan’ ketimbang ‘keberuntungan.’
“Hello, Sweetheart!”
Delilah mempersembahkan senyum menawan teriring geliat menggoda sebagai balasan sapa mesra itu. Benar, jam kerjanya telah pun diawali sejak pada saat itu. Ia lalu duduk merapat dengan manja seraya memagut tepat di gerbang bibir yang sontak menyambutnya suka cita.
Aaah… Ya, Dan di atas roda-roda gagah yang mencengkeram kuat aspal bebas hambatan, Delilah bersemangat menebarkan pesona. Membiarkan jemari bergerilya liar. Mengijinkan setiap sentuhan secepat Bugatti bertenaga 7000-an cc yang berlari senyap, nyaris tanpa suara itu, laksana terbang membawanya ke landasan jet carteran. Koper-kopernya diam membisu dalam kungkungan bagasi tak jauh dari singgasana belakang tempatnya beradu nafas.
Dua hari di Bahama. Tiga hari di Karibia, Necker island tepatnya. Dan benar, tak satupun muatan si Merah-Jingga yang dikeluarkan Delilah. Bahkan kopernya kini bertambah. Ou, lucunya, padahal ia yang berenang-renang dengan peluh dan produk ejakulasi, mengapa justru kopernya yang beranak-pinak?
Tiga? Aih, kau itulah sekedar kotak tak bernyawa, tapi banyak dan cepatnya kau berpinak. Delilah menatap nanar koper-koper barunya. Pelayanannya jelas memuaskan, itu sudah pasti. Pulau-pulau eksotis itu saksi kerja kerasnya. Tak hanya Mr. Perfect yang harus dibuatnya tersenyum puas, tapi pada kolega bisnisnya pun Delilah harus membuatnya terbahak. Bukankah kepuasan diawali dari senyum, disetujui oleh tawa, dan diakhiri dengan koper-koper. Maka tak heranlah bila Delilah menjadi apple’s of the daddy’s eyes, bagi Ma’am, bagi kerajaan yang telah mengelola dengan sangat baik kinerjanya, dan tentu, bagi para Mr. Pis.
Satu koper mendapat perhatian khusus Delilah. Mata bulat besar sayu yang membangkitkan buluh perindu itu, tajam mengira-kira. Dolar atau rupiah? Delilah bertaruh pada dolar. Dan itu semua miliknya. Ma’am dan organisasi yang menaungi profesionalitasnya pun sudah mendapat persekotnya sendiri. Sebab mereka adalah keluarga besar yang saling menjaga dan melindungi. Mereka bahkan menggaji tim medis tersendiri untuk memantau kesehatan para bidadari seperti Delilah.
Hm, akan dikemanakan lagi mata uang itu? Mata Delilah menerawang langit hitam tanpa bintang. Mencari ruang tersedia bagi koper-kopernya. Sebab semua rumah ibadah, panti asuhan, panti jompo, badan-badan social, sudah pernah mendapatkan hibah rejeki besarnya itu. Namun kini Delilah harus sedikit menahan diri. Terlalu murah hati, orang pun akan kasak-kusuk tentang muasal koper-kopernya.
Hanya seorang saja yang tak sudi menerima kopernya. Dan tidak apapun yang berasal dari dirinya. Tidak sebatang tusuk gigi, apalagi mata uang yang berkuasa merombak gubuk berdinding separuh bata separuh anyaman bambu, nun jauh di kampung tak terpetakan. Betapa ingin Delilah memugar gubuk itu menjadi setegar istana kepala negeri ini. Namun orang itu, satu-satunya kerabat sedarah yang Delilah punyai, lebih baik berkalang tanah daripada menerima kebaikan hati Delilah. Ibu sungguh tak perlu fatwa haram dari pemangku agama untuk semua kopernya.
Delilah menangis tanpa isak, hanya lelehan air mata di sudut bernaung bulu lentik, yang tak lama ia biarkan membasahi pipi putih halus mulus tiada noda. Ia lekas memindahkan angannya tentang ibu pada satu koper lain yang dipastikan memuat ragam cindera mata. Yang berharga Delilah akan simpan. Sekedar syal, fedora, woolen gloves, knitted hat dengan aneka style dan keceriaan warna, dan lain-lain, itu semua bisa menjadi milik Ma’am dan para staffnya.
Satu koper terakhir, apatah lagi dambaan wanita setelah gemerincing uang, kemilau perhiasan, jikalau bukan belaian sutra? Koper ini dengan beberapa couture dan prêt-a-porter atau ready-to-wear di dalamnya, masih akan menunggu keputusan Delilah, seperti nasib koper-koper lain yang masih berbaris tersimpan di ruangan khusus tepat di sebelah condo-nya.
Delilah membayangkan tubuh kurus ibu yang selama hidupnya hanya dibalut baju kurung dengan bawahan kain batik usang yang jemur-kering-cuci-pakai dan seterusnya begitu. Ibu tak pernah dihinakan dengan pakaian sederhana macam itu. Walau juga tiada hadir penghormatan pada kebersahajaannya.
Hm, oh ya, akhirnya kesendirian yang hening pun tibalah. Delilah berdeham dalam hati. Ia berbaring menengadah lelangit condo yang bersapu para malaikat bersayap, bagai tengah terbang melayang, temani kehampaannya dalam kolam yang mengkaramkan tubuhnya hingga sebatas lehernya. Aroma spa, lilin-lilin berliuk redup syahdu, keheningan ini benar-benar steril. Delilah menutup kelopak matanya, rapat terpejam, konsentrasi menikmati gelembung hangat yang memanjakan kujung tubuhnya yang lembap, kenyal, tiada cela. Setelah seminggu lebih, 8 hari tepatnya, tubuh itu bekerja keras seperti samsak tinju dalam ritual kuno, pergumulan alot, kelahi nan kolot, beralaskan tatami nafsu, sudah selayaknya kenikmatan ini disesap sepuas mungkin olehnya.
“Ya, Ma’am,” Delilah terjaga.
Dering itu. Seperti alarm pembunuh kesenangannya. Ringtone lolongan serigala yang sangat dibenci Delilah. Kembali memanggilnya. Dan Delilah pun berkemas. Koper bercat biru terang, cyan, dipisahkan dari sejawatnya.
Sejatinya tak satupun –ah, mungkin tidak untuk koper bermotif hati– dari koper-koper itu yang disukai Delilah, tidak warna, disain atau bahkan isinya. Walau, yeah, mereka telah membawanya terbang ke belahan dunia manapun, memberinya memori yang didamba setiap ingatan. Namun apatah Delilah, bukankah ia tak berhak membenci sesuatu? Bukankah hanya ada kewajiban baginya untuk menyukai segala sesuatu? Apapun yang menjadi kata hati dan pikirannya.
Hati dan pikiran, tertanam jauh dalam dirinya, namun tak pernah sejalan, selalu menjadi pengkhianat sejati. Sejahat itu? Ya, sekeji itulah. Betapa tak dikatakan keji? Manakala restleting diturunkan, hati tak bicara. Ketika anak kancing tak lagi terkait pada inangnya, pikiran justru melanglang liar. Dan semasa helai demi helai benang dilucuti, ditanggalkan, hati pun bersikeras membungkam, pikiran bersikukuh membuta. Delilah sangat membenci hati dan pikirannya. Oh, pergi, ya, pergilah wahai hati yang rapuh dan manja merengek iba. Enyah, enyahlah wahai pikiran yang acap menumpang-tindihkan iman, norma dan etika. Pergi. Enyah. Bah!
“Ok, Ma’am,” sahut Delilah sengau. Ya dan oke sajalah yang Delilah boleh jawab.
Tercenung Delilah menatap koper cyan.
Mr. Prudence, dengan alur kebijaksanaan yang jelas teraut di wajahnya, menyukai Delilah sebanyak kesukaannya pada koper berwarna cyan, biru muda yang sangat terang. Mungkin pria itu ingin menutupi kenyataan betapa senja telah lama datang menjemputnya. Dan mungkin juga hanya Delilah saja yang membuatnya merasa tenang menghadapi senja itu.
“My dear godfather, oh, look at you, how tired this lovely, my favorite, face, hm?” penuh kasih sayang jemari Delilah membelai. Kemudian menjemput sepiring kecil Baked Alaska, sajian istimewa dari Delmonico, restaurant ternama di sebuah negara bagian. Membalurkan lelehannya yang super lezat ke atas tubuh Mr. Prue, menutupi tiap kerut-merut yang sesungguhnya sangat menakutkan matanya.
Setelahnya kedua orang yang seibarat bapak dan anak itupun tertawa bersama. Membahana, mengguncang bangunan yang tengah dipromosikan meraih bintang tujuh dari lima yang sudah mulai membiasa. Mr. Prue, eksekutif itu memang tipe ceria, banyak melontarkan kata jenaka, walau di atas sprei biru muda ia tak berdaya. Tak menjadi soal bagi Delilah bila pria penyuka warna biru muda itu sulit membuatnya sekedar meletuskan kata ‘au-ah-auh’. Sama sekali bukan perkara baginya. Lagipun dalam bisnis syahwat dan ketamakan ini pantang berhati iba.
Merah, cyan, turquoise, amber, begitulah, satu persatu keempat koper Delilah menjadi pengawal bisu bagi tuan puterinya. Warna yang bersesuaian dengan ciri dan karakteristik high-end client yang telah menjadi client tetap Delilah. Tunggu dulu, empat? Merah, cyan, turquoise, amber, lalu koper terakhir yang bermotif sendiri itu? Hm, ya, koper terakhir dengan noktah yang membentuk heart-shaped itu.
“Hanya inikah koper yang kau bawa, Deli?” seorang pria, muda, bercahaya dan menerbitkan selera bagi yang sempat mengintip figurnya yang perkasa, bertanya sambil membuka koper Delilah, koper bermotif heart-shaped dengan latar amaranth, merah terang keunguan simbol keabadian. Satu-satunya koper yang disukai Delilah. Koper yang dibawanya turut serta kemana ia pergi bersama sang kekasih.
Delilah menarik selimutnya lebih tinggi. Belakangan tubuhnya kurang bisa menangkis hawa sejuk air conditioning. Mungkin terlalu lelah menampung bantingan, hantaman, tindihan, dan ragam siksa berupah hmm, mungkin ratusan juta? Tanyakanlah pada koper-koper Delilah. Tapi tidak pada koper bermotif heart-shaped itu. Sebab perjalanan Delilah bersama koper bertabur gambar hati itu, tak pernah mengutip upah.
“Bukankah percuma membawa pakaian banyak, Dion Sayang, sebab toh pada akhirnya kau lucuti semua yang menempel di tubuhku, hehehe,” Delilah terkekeh sendiri di sela kesibukkannya menghalau bau dan sisa dinner semalam yang betah melekat di staklatit dan stalakmit geliginya.
“Kau bisa aja…,” Dion, sang kekasih menjawil gemas pucuk dagu Delilah. “Aku ke kantor dulu ya? See you again petang nanti, hm?” kerlingnya penuh godaan. “Oya, aku ambil satu kopermu!” setengah berteriak sambil menutup pintu.
Ya, ya, ambillah sesukamu, sahut batin Delilah sambil melambaikan tangan pada bayangan tampan yang terhalang pintu. Ambil, ambillah mana yang kau mau, Kekasih. Sebab hanya kau saja yang sangat menggemari koper-koper itu. Asalkan jangan koper bersapu warna amaranth. Biarkan koper itu di tempatnya, menjadi semacam pengingat adanya keabadian yang ingin kuhabiskan bersamamu. Demikian hati kecil Delilah berdesis.
Delilah terkenang koper-kopernya. Sebagian besar tertempel sticker pengembalian dari perusahaan jasa pengiriman. Dengan ragam alasan, semisal: alamat tak dikenal, nama penerima tak dikenal, penerima telah pindah alamat, pernah juga tertera jelas alasan itu: penerima menolak kiriman.
Delilah mengerti. Sangat memahami. Tentu saja. Ya. Manalah sudi ibu menerima semua pemberiannya. Bagi ibu, bahkan tubuh Delilah, putri yang dilahirkannya dengan sepenuh derita, sama haramnya dengan semua materi yang telah Delilah dapatkan. Sekeras apapun kerja yang telah Delilah lakukan, sepahit apapun perjuangan yang telah Delilah lalui.
Ibu. Dimanakah ibu kini?
Dulu ibu pernah datang. Sekali, dua kali, mungkin hingga enam, tujuh kali, hingga perempuan sederhana itu menyadari bila jalan dan tujuan hidupnya sudah sangat berbeda dengan Delilahnya tercinta. Lalu sejak itu ibu tak tentu lagi kabarnya. Bahkan ketika Delilah meluangkan waktu berkunjung ke kampung halaman, ia dapati rumah tempatnya dilahirkan, dibesarkan hingga masa remajanya dijelang, telah didiami penghuni lain, kelelawar, mungkin ular, entah siapa dan apa lagi di balik rimbunnya rerumput dan belukar. Luka ibu tampaknya takkan pernah berjumpa dengan obatnya. Luka Delilah pun sama menganganya.
Lama setelah hari itu, sebuah koper datang kepada Delilah. Menggenapi bilangan kopernya yang telah ada. Berkulit kerbau entah lembu, tapi jelas bukan kelahiran pengrajin berjiwa seni tinggi atau keluaran produsen hebat yang bermukim di luar negeri. Pada koper itu ada lecet koyak disana-sini, lubang kecil di beberapa jengkal, kusam, usang, berjamur, kesemuanya nampak bagaikan motif yang disengaja, namun itulah luka senyatanya, hasil torehan waktu dan masa.
Delilah pun tergoda membukanya. Tak ada nama pengirim berikut identitas yang mengatakan muasal koper tua nan lusuh itu. Seorang kurir mengantarkannya lalu tergesa meninggalkannya di depan pintu.
Sepasang gurita dan popoknya. Satu stel baju bayi lengkap dengan kaus kaki dan topi. Lalu ada bedongan, kain hangat pembungkus bayi. Gelang emas selingkaran pergelangan tangan bayi terukir kata ‘Damiasih’. Buku rapor SD, SMP, SMA berikut beberapa lembar kertas penghargaan. Foto-foto lama. Foto seorang remaja pria yang dibaliknya tertera ‘I Love U’ dengan lengkung hati besar. Foto sekumpulan anak berseragam sekolah, perempuan dan lelaki dengan tawa ceria yang meneduhkan mata. Kertas-kertas hasil ulangan yang sudah menua, warna kuningnya menyebar dan beberapa jejak tumpahan sesuatu, seperti tetesan hujan dari lelangit rumah yang bocor. Topi dan dasi pramuka yang putihnya tak lagi dapat disebut putih. Semua terangkum dalam merah, cyan, turquoise, dan amber.
Delilah berlinang nestapa. Senja kini kian merapat padanya. Perlahan namun jejaknya sangat pasti. Koper-kopernya masih berjajar membisu-gagu. Mungkin tengah didera kebingungan mengapa panggilan tugas tak lagi terdengar. Mengapa perjalanan tiada lagi dilakukan. Mengapa juga tuan puteri tak lekas menghentikan deras sungai yang mengalir dari kedua pelupuk mata indahnya itu, dan membiarkan koper-kopernya tak lagi pernah dibuka. Bahkan koper berlatar amaranth, motif hatinya telah banyak memudar. Keabadian yang dijanjikannya dusta belaka.
Senja petang itu belum pun luruh benar. Masih sebagian semburatnya berbaur dengan terang keemasan. Sebuah koper datang lagi kepada Delilah. Walau keras hati menolak dengan alasan jumlah kopernya sudah memenuhi tiap ruangan, koper itu tak bergeser. Apa mau dikata, Delilah pun tak berdaya pada kekerasan hati kurir pengantarnya. Tinggi besar, berwajah sangat tidak ramah dan bersiteguh agar Delilah menurut dan menerima koper itu.
Umumnya sebuah koper terbuat dari bahan kain yang tebal dan kuat, atau ballistic nylon yang lebih ringan, bisa juga polycarbonate. Akan tetapi koper satu ini murni berbahan kayu. Berat dan kaku. Tak ada pegangan untuk menjinjing. Lalu bagaimana mengangkatnya? Sepertinya perlu beberapa tangan bertenaga untuk mengangkatnya. Delilah miris melihat wujudnya yang besar, jauh lebih besar dari semua koper miliknya. Jauh lebih lebar, dan panjang, mungkin seukuran tubuhnya, entahlah, Delilah tak kuasa lagi mengira-kira, sebab koper itu sekonyong-konyong melahap Delilah…
-o0o-
[image: www.groupon.my]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H