Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jannah dan Janji Josh

11 Januari 2016   19:57 Diperbarui: 12 Januari 2016   13:35 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[picture: daunbuah.com]

-o0o-

 

“Malaysia?”

Jannah menggeleng, bibirnya bersimpul senyum.

“Brunei?”

Jannah menggeleng lagi. “Indonesia, “akhirnya ia mengakhiri Cerdas tak Cermat itu.

“A-ah, Bali!”

“Yaa…” Jannah tertawa kecil, baginya sudah biasa orang asing justru lebih mengenal provinsi seribu pura itu daripada republik yang menaunginya.

“Raja Ampat, orang utang, rindang!” seru si orang asing tersenyum lebar penuh keyakinan.

“Orang utan, not orang utang, and ren-dang, ren-dang, not rindang, “Jannah mengoreksi pelafalan si bule yang nampaknya berjiwa periang. So easy going. “Wow! Nampaknya kau sudah sangat mengenal negeriku. Seberapa sering kau telah berkunjung?”

“Mungkin setahun sekali atau kurasa kapanpun aku merindukan negerimu. Such a beautiful country,” terang si bule, rahangnya bergerak turun-naik dengan jejak kebiruan seperti habis bercukur, mungkin tadi pagi?

“Waw, very impressive,” Jannah menanggapi.

“Josh,” bule itu lalu mengulurkan tangannya.

Jannah meragu. Namun pada akhirnya menyambut jabat tangan itu dengan erat. Mungkin karena intuisi atau semacam dorongan sebagai efek dari binar keakraban dari pria ber-snapback itu. Atau mungkin karena tak ada ayah. Karena ia kini tengah sendiri, di negeri super dengan keterasingan yang juga super. Hm, sedang apakah ayah nun jauh di sana? Pasti tengah disibukkan dengan sapi-sapinya, kawanan memamah biak yang telah mengantarkannya ke negeri Paman Sam ini.

Itulah awal perkenalan mereka, Jannah dan Josh, dua anak manusia dengan segala perbedaan di hampir semua aspek kehidupannya yang sangat keduanya sadari. Namun sejak perjumpaan di taman nan asri depan gedung berdisain hijau yang berkharisma dan bangga menyandang nama besarnya, National Geographic Society DC, berangsur-angsur perbedaan pun bergeser. Hingga keduanya merasa perlu berupaya lebih untuk menemukan dan menggali lebih banyak lagi persamaan di antara mereka. Josh merasa beruntung dengan pengetahuannya yang sangat luas tentang alam serta bakat dirinya yang menguasai beragam alat musik. Dan keberuntungan itu seakan overwhelming saat mengetahui gadis yang unik dan sangat menarik hati ini pun menyukai musik. Jannah betah memeluk gitar untuk mengiringi suaranya yang jernih mengalun.

Jannah, pada suatu waktu yang ia sendiri tak pernah mengimpikannya, berhasil memenangi lomba karya tulis tentang “Alam, Lingkungan Hidup dan Keberlangsungan Spesies Dunia”, yang diprakarsai National Geographic. Tulisannya tentang kearifan lokal terhadap hewan ternak yang kerap dicap sebagai satu dari tiga kontributor utama penyokong gas metana, dianggapnya akan sangat tidak menarik dibandingkan isu tentang pembantaian Pilot Whale yang lama diperjuangkan Paul Watson bersama Sea Shepperd-nya. Namun siapa nyana, bila bintang fortuna ternyata jatuh kepadanya. Sekarang agaknya, fortuna itupun tengah menghampirinya lagi bersama kehadiran Josh atau Joseph Kenneth Bernstein seperti yang tertulis dalam tanda pengenalnya. Pria yang –setelah hampir empat bulan Jannah perhatikan– nyaris setiap saat ber-ripped jeans ini tercatat sebagai anthropologist juga aktif sebagai anggota organisasi Greenpeace yang ditunjuk menjadi salah satu tutor program edukasi lingkungan dunia bagi para pemenang lomba yang pesertanya datang dari seluruh negara di dunia.

“Amerika, wanita dengan segala kecantikannya ada. Pakistan, India, mereka memiliki wanita-wanita misterius dengan saree dan ragam budaya yang menakjuban. Lalu China, South Korea, South America, Africa, Balkan, well, yeah, aku sudah banyak berjumpa dengan banyak wanita, tapi baru kali ini aku bertemu dengan wanita macam dirimu, Jannah, “Josh memecah lamunan Jannah.

“Okay… So, macam apakah aku?” berdebar Jannah mengira jawaban.

“This,” Josh berusaha menjawil rumbai kerudung Jannah. “I guess, ini bukan sekedar syal atau fashion, benar?”

Jannah reflek mengelak dari tangan besar yang hendak menggapainya. “Sorry. Don’t touch me.”

“Why? Bukan muhrim, berdosa, heh?”

Jannah tersenyum. Ceruk kecil di pipinya timbul tenggelam seiring gerakan tulang wajahnya. Gadis itu berulang kali berusaha untuk selangkah di belakang Josh, namun entah pria itu tahu atau tidak maksudnya, sepertinya tidak, karena Josh pun terus berupaya mensejajarkan langkah. Jannah ngeri membayangkan pundaknya bersentuhan dengan, hm, mungkin lengan besar itu, atau saling beradu pundak karena Josh, layaknya seorang gentleman, tak henti bergerak melindunginya dari turis lokal yang banyak bersliweran di depan “The Executive Mansion”, gedung bercat white-gray sandstone yang karenanya pula disebut White House. Josh tengah menepati janji menemaninya melihat Gedung Putih yang ikonik itu di masa libur keduanya.

“A-ah, mengapa aku harus repot bertanya, ya? Come on, angel, ini kan hanya sehelai kain, ”Josh berkata seraya menahan diri agar tangannya kali ini tak tergoda menyentuh ceruk kecil di pipi itu, setelah sebelumnya ia nyaris meraih rumbai kerudung Jannah.

“Kau benar. Ini hanya sehelai kain, bahkan harganya pun tak lebih dari 5 bucks. Tapi inilah kehormatanku, Josh. Aku juga takut, sekali kau kubiarkan menyentuhnya, lepas itu kaupun lantas ingin tahu apa yang ada di balik kain tak berharga ini, “suara Jannah bergetar. Panggilan “angel” itu menelusup jauh ke relung hatinya. Dingin, sejuk, dan menentramkan. Ia lekas teringat ayah. Satu-satunya pria yang sekian lama ini selalu memanggilnya “bidadariku, my little angel, my sunshine, peri kecilku.” Sekarang Josh meng-copy-nya. Andai saja ayah mendengarnya, maka sudah barang tentu habislah si Josh yang dianggapnya terang-terangan menantang sebagai rivalnya. Bule ini pasti sudah dijerembabkannya ke kandang bersama kawanan sapi. Jannah tak sadar tersenyum geli.

“Apakah itu berarti kau masih perawan, Jannah?”

“Oh, you! Kau dan pertanyaanmu itu. One hundred percent yes, and that’s for sure, Josh!” Jannah merengut. Kerling matanya berhasil mencuri sesisi wajah Josh. So manly. Pipinya pun menghangat seketika. Andai ayah memergokinya berzinah mata macam begini, tak tahu berapa hari ia kan mendekam dalam kurungan kamarnya sendiri.

“Gosh! Perawan? Memang berapa umurmu, dear?”

“Kau bule gendeng! Beraninya menanyakan usia kepada perempuan, itu tabu, tahu?!” Jannah membelalakkan matanya garang. “Well, cukup tua untuk punya anak dua,” jawab enteng Jannah.

“Auw, god damn it, itu mubadzir sekali bukan?”

“Hahaha! Darimana kau tahu muhrim, dan sekarang mubadzir? Itu kata serapan dari bahasa arab yang umumnya tidak diketahui seorang alien sepertimu!” Jannah terpingkal-pingkal. Andai ayah mendengar diskusi konyol ini. Andai ayah mendengar apa-apa yang ditanyakan dan dikomentari si cablak Josh. “Mubadzir ndasmu atos, Josh!” Jannah membuang snapback milik Josh. Oh, andai ayah juga mendengar betapa fasihnya sekarang ia memaki. Maaf ayah…

Josh memungut topinya, mengembalikan snapback hitam itu ke tempatnya semula, di atas rambut ikal coklat keemasan yang sangat dikagumi Jannah. Ia membiarkannya melewati batas tengkuk, sedikit saja, karena ia tak suka terlalu panjang, gerah, walau rambut panjang ala rocker selalu digilai perempuan Asia. Dan, hmm, angin kering dingin yang dibawa musim gugur ini, berlari riang mencandai rambutnya. Josh memejamkan mata. Membayangkan sepanjang apakah rambut yang memahkotai Jannah. Hitam? Coklat? Tapi tidak mungkin pirang, sebab Jannah pernah berkata tak tahan dengan aroma pewarna rambut, sewangi apapun itu. Bisa jadi itu hanya alasan, sebab Jannah yang dikenal sangat relijius ini –setidaknya bila dibandingkan dengan dirinya yang tak pernah mengunjungi rumah peribadatan apapun– hampir selalu memakai agama dengan segala kerumitan peraturannya sebagai alasan.

“Wanita Asia, mostly, mereka berambut hitam, benar? Jadi kurasa kaupun, hitam pula rambutmu. Panjang atau pendek?” Josh tak menutupi rasa penasarannya. Ditelitinya gadis yang kini duduk di sampingnya itu, berbalut sweater dengan bawahan yang selalu rok panjang, di ujung bawahnya Josh masih melihat kaki itupun terbungkus entah kaus kaki entah celana panjang, Josh bertekat hendak menanyakannya suatu saat.

“Hitam? Coklat? Mungkin dengan selingan uban dan kutu-kutu yang membuat gatal. Itu sebabnya kusembunyikan dalam kerudung ini, Josh,” sahut Jannah seraya mengalihkan pandangannya dari terkaman mata Josh.

“Oh, give me a clue, please. Supaya fantasiku tentangmu mendekati sempurna,” Josh menghiba.

Jannah tertawa, lepas, tidak setengah-setengah seperti perempuan Jawa di masa strata masih sangat dipuja. “Sebatas ketiakku, semoga itu dapat membantu.”

Well, itu sangat membantu, thank you.”

Lalu keduanya serempak tertawa. Dan dedaun kecoklatan pun berguguran karenanya. Selesa tawa mengudara, selesa itu keheningan lekas tercipta di antara mereka berdua. Beberapa pelancong sibuk mengarahkan lensa kameranya, sebagian berbincang tentang gedung yang menjadi kantor sekaligus kediaman pemimpin negara adi kuasa ini, pria-pria berseragam mondar-mandir, beberapa ada yang menunggang kuda dengan gagahnya. Tak lama lagi halaman berselimut rumput hijau di balik pagar besi itu akan tertutupi dedaun coklat yang meluruh di setiap penjuru negeri. Musim gugur takkan bertahan. Musim berikutnya akan mengubah lansekap menjadi kristal-kristal dingin dan membekukan. Dan entah bila keriangan ini akan berkelanjutan…

“Please, Josh, don’t look at me like that,” Jannah tunduk sedalam-dalamnya. Andai ayah melihatnya duduk berduaan, walau di lahan terbuka, pastilah beliau kan murka. Andai ayah tahu, semburat kemerahan yang sulit ia sembunyikan di bawah tatapan tajam pria yang seumur hidupnya tak pernah berpuasa ini apalagi mengerti tentang shalat lima waktu yang tak boleh ditinggalkan walau dalam keadaan apapun kecuali saat sukma bercerai raga. Maafkanku ayah…

“Jangan hentikan aku, tidak Jannah, kau tak dapat menghentikanku sepuasnya memandangmu. Sebab dengan begitu kuharap bisa meruntuhkan benteng Takeshimu.”

“What?” Jannah tertawa lagi. Pria ini benar-benar kampiun membuatnya tenggelam dalam bahagia. Mungkin inilah godaan syaitan yang senyatanya. “Benteng Takeshi, did you say?” Jannah kian terbahak, debar-debar yang sesaat hendak runtuhkan itu menghablurlah. “Kau dan kosakata gilamu itu, Josh. Ampuun deh.”

Jannah menutupi wajahnya dengan rumbai kerudungnya. Oh, ayah, maaf, maaf. Ya, ayah, aku sadar kesenangan macam ini sangatlah dekat dengan syaitan. Tapi ayah, aku juga perempuan biasa. Rasa ini sungguh luar biasa, ayah. Bantu aku agar tak terlena dan hilang waspada, ayah. Beri aku kekuatan dengan doa-doa yang tak pernah putus di sepertiga malammu.

“Aku tahu tentang daging babi, anjing dan alcohol. It is a NO, right?” Josh bertanya.

“Yeah, you’re right. Absolutely NOT,” Jannah menyahut penuh ketegasan.

“Jadi, mustahilkah mengajakmu clubbing, hm?”

Jannah tersenyum. “Dengan style begini?” Ia menunjuk dirinya dari atas ke bawah. “Orang akan berpikir Helloween terlalu cepat datang.”

“Pergi ke klab itu menyenangkan loh,” Josh berpromosi.

“Mengapa harus ke klab sekedar bergoyang pinggul. Dancing, ha?” lalu Jannah berdiri. Meregangkan kaki. Dan tanpa peduli menari asal jadi. “Popping?” Jannah ber-popping sambil tak lepas tertawa. Selepas itu ia memamerkan gaya moon walking-nya si Raja Pop, Michael Jackson. Masih dengan gaya kocak, gadis itu lalu memeragakan Black Swan, berdiri satu kaki, bertumpu pada ujung kaki, lalu berputar sebentar kemudian sempoyongan. “Di klab, kau takkan menemukan tarian mistis para sufi, Josh, see, like this,” Jannah pun ber-whirling dance, walau berulang kali nyaris terjerembab dengan gaya lucu. “Ah, you’ve been in South Korea, right? Pasti kau tak asing lagi dengan, look, this is Salpuri, tarian para shaman, and this, look, look,” Jannah lalu menggerak-gerakkan tangannya seolah memegang kipas, berlaku laiknya para penari kipas rakyat negeri Ginseng.

Josh tertawa-tawa. Dengan binar mata yang sulit dimetaforakan. Tangannya tak henti bertepuk. “Bravo! Bravo!” serunya riang gembira. Tepukan itu tak ayal mendapat simpatisan. Beberapa orang yang lalu lalang dan melihat kekonyolan Jannah serempak memberikan applause-nya.

“Jadi kurasa, aku tak butuh pergi ke klab, sensasi klab seperti yang pernah kau ceritakan dapat kuperoleh dimanapun, tak harus di klab, benar bukan?” suara Jannah terdengar ngos-ngosan.

“Ok, ok, tapi kuyakin kau pasti belum pernah menonton blue film?” Josh masih menyisakan tawa.

“Josh! Idiiih, amit-amit deh, kau boleh katakan aku munafik, tapi sungguh, bahkan ketika negeriku heboh dengan video porno artis penyanyi terkenal, aku tidak tertarik, sama sekali tak terhasut ikut-ikutan menontonnya. Itu kan dosa besar, Josh, aku tidak mau menambah dosaku yang sudah banyak menjadi lebih tak terampuni…” kalimat Jannah meluncur menukik tinggi.

“Oh my Josh! Bagaimana dengan making love? Apakah nanti aku harus mengajarimu step by step? Yang benar saja, dear Jannah!”

“Oh my Josh! Siapa bilang aku mau bercinta denganmu, hm? Trust me, Josh, aku punya insting, naluri alami yang dapat melampaui batas fantasi liarmu! Hahaha!” Jannah melebarkan sisa kerudungnya, lalu menutupi wajahnya yang memanas bahkan di cuaca sedingin ini. Oh, ayahku tercinta, tidak, semoga kau takkan pernah mendengar canda tak senonohku ini, ayah.

“OK, I trust you,” Josh akhirnya tak dapat menahan tawa. “Uhm, what about kissing? Tidak bolehkah sekedar mencium pipimu?” mendadak Josh bernada penuh pengharapan.

Jannah terdiam. Sekejap membayangkan sensasi yang mungkin dirasakan andaikan bibir pria itu mendarat di… pipinya? Bibirnya? Oh, tidak, ayah akan menerbangkan orang sekampungnya ke Amerika untuk mengadili Josh.

“No. It’s a NO and forever NO. Lagipula kau akan bosan kepadaku. Sebab aku sama sekali tidak menantang,” Jannah berusaha membuat bentengnya lebih kukuh lagi.

“Siapa bilang? Bagiku kau wanita yang penuh dengan tantangan untuk ditaklukkan. Tak ada gadis macam dirimu, kau dengan segala keunikanmu itu, believe me,” Josh pun tak kalah berusaha meyakinkan.

“I’ve never been kissed, Josh.”

“Seriously?”

“Kau hanya akan merasa datar saja, lalu tertawa mengejek karena jelas aku tak tahu bagaimana, uhm, well, you know… cium-mencium, the art of kissing, begitu mungkin istilahnya…” Jannah menepuk-tepuk pipinya. Tapi beginilah enaknya bicara dengan alien sinting ini, tak perlu segan, tak ada sungkan, buat apa malu, apapun bisa diungkapkan tanpa tabu. Oh, andai ayah ada di sisiku… tak tahu macam mana hukumanku.

“Haha, Jannah, Jannah! Malangnya kau, gadis cantikku. Tak perlu khawatir, dear, ini semua hanya soal insting dan naluri, just like you said. Aku tutor yang handal untuk segala edukasi, you can count on me, darling. Bagaimana, kau mau mencobanya?” Josh mengerling nakal.

“Okay… tapi setelah kudapatkan restu dari ayahku. Biar kutelepon dulu ayahku, it’s a long distance call, ayahku tinggal di kampung yang jauh dari ibukota, bagaimana, kau mau menunggunya?” Jannah mengembalikan pertanyaan itu.

Josh menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum tak lepas. “Untuk pertama kalinya dalam hidupku, Jannah, aku menemukan gadis unik, so unique, macam dirimu itu. Jadi, sampai kapan kau biarkan dirimu menunggu? Percayalah, Jannah, kalau kau berharap menemukan pria yang so genuine, so pure, I guarantee you will desperate, karena pria adalah binatang di balik dasi dan pantalonnya, you know?”

Jannah terdiam. Kau benar, Josh, seperti katamu, mungkin takkan pernah ada pria macam itu, bahkan bila dunia berakhir pun. Tapi apa yang menjadi keyakinanku semenjak kecil tidaklah mudah untuk diruntuhkan dalam tempo sesingkat ini. Aku tak perlu ‘membongkar’ ujudku, dan lagi akidahku, hanya agar seorang pria bersedia menjadi pendampingku bukan?

“Hhm, about Shannon and Miura…” Josh berkata memecah keheningan.

“Aha…” Jannah merapikan kerudungnya di seputar dada.

“Mereka banyak bercerita tentangmu…”

“Oh, God! Aku harus memikirkan hukuman untuk para pengkhianat itu…” Jannah mereka-reka jenis pengaduan yang telah didengar Josh. Semangat diskusinya kembali menyala.

“Dan kian dalamlah rasa takjubku kepadamu, Jannah,” Josh mengirimkan ketakjuban itu lewat sorot matanya. “Bagaimana kau bisa melakukan semua itu, sweety?”

“What did I do wrong?” Jannah mulai tak mengerti.

“Mereka bilang, kau selalu bangun tepat jam 3, for God’s sake, Jannah, 3 pagi! Aku mungkin baru pulang dari pub dengan kepala pengar karena etanol, alcohol dan entah apa zat additive lain. But you…,” Josh menggeleng-gelengkan kepalanya. “But you, di jam itu, duduk bersimpuh dalam gelap dan diammu, lalu membaca kitab sucimu, kemudian berkirim surel kepada ayahmu, dan kembali bersimpuh hingga matahari merobek pagi. Aku… aku, sungguh tak mengerti, disiplin macam itu, Dewiku.”

“Dengar Josh. Mereka, Shannon dan Miura, hanya sekali memergoki, dan itu tidak otomatis mengatakan aku selalu begitu. Mereka menutupi kenyataan bila aku tidur mendengkur dan dengkuranku seperti lenguhan unta tua. Mereka tidak mengatakan itu bukan? Jangan percaya gadis Amerika yang bersekongkol dengan gadis Jepang kemudian bersatu membual untuk mengelabuimu. Okay?”

“Kalau kau begitu relijius, mengapa tidak Mesir yang kau tuju? Mengapa justru Amerika yang dengan mudah dan senang hati melabelimu teroris?” tanya Josh.

“Pernahkah terpikir olehmu, mengapa?” pancing Jannah.

“Uhm, mungkin karena kau ingin berdakwah di sini?”

“Oh, andai aku dibekali ilmu setinggi itu, tentu dengan senang hati kujalani sebagai daiwati. Tapi aku hanya perempuan biasa dengan ayah luar biasa dan beruntung mendapatkan visa,” Jannah berteka-teki

“So…?” cecar Josh.

“Masa sih ngga tahu?”

“Tell me…” Josh memburu.

“Aku memilih Amerika agar aku bisa berjumpa dengan pria bermata hijau lazuardi…” Jannah pun tertunduk.

“Me…? That lucky guy?” lalu Josh pun tertawa. “Jannah, Jannah, aku yakin, ayahmu sama sekali tidak tahu bila gadis kecilnya ternyata punya sisi nakal yang menggemaskan. You’re smart, beautiful, funny, andoh,hell, yeah, aku kehabisan kata-kata untukmu, Jannah.”

Jannah tak kuasa menahan malu. Berlindung di balik kerudung motif kupu-kupu. Sembunyikan wajahnya yang bersapu merah dadu. Ayah, maafkanku. Aku hanya senang membuatnya tertawa, seperti ia selama ini telah membuatku tertawa. Sungguh ayah, bukan tujuanku mengendurkan kesenjangan.

“Tapi aku tak melihat ada kemungkinan di antara kita, benar kan Jannah? Impossible, yeah, impossible. Itu kata yang tepat, ya kan, Jannah?” parau nada bicara Josh.

Jannah membuang muka, enggan memberikan respon. Seperti yang kau tahu, Josh, tak ada yang tidak mungkin di dunia fana ini. Tapi aku memang harus berjuang keras agar semua ini, apa yang tengah merayapi hatiku, hatimu, tetap menjadi “impossible”. Ada seorang pria yang sangat mencintaiku di tanah air. Berharap banyak dariku. Pria tua yang kesepian dan sangat bergantung padaku. Sungguh kutakkan sanggup melukai hatinya.

“Aku tidak bisa melukai ayahku, Josh. Tidak, setelah apa yang susah payah telah kami lalui. Tidak, setelah apa yang beliau ajarkan kepadaku dan sukses mendoktrin diriku. Tunggu, aku tidak ingin kau berpikir, it’s such weird thing, hmm, bolehlah kau berpikir begitu, karena aku tak boleh menyetir opini siapapun, benar kan? Tapi, this is me, this is who the heck I am, aku dengan segala pola pikir, budaya, yang mungkin kau sebut… primitif? I like you, I adore you, I also respect you a lot, tapi kau begitu jauh dari jangkauan kami…, ya kami, Josh, ini tak hanya tentangku saja, ada ayah yang tak bisa kuabaikan begitu saja hanya demi kesenanganku semata.”

“Okay. Aku tahu, aku tahu maksud perkataanmu. Aku tahu, Jannah. Dan aku pantang pada janji yang aku sendiri tak yakin mampu memenuhi janji itu. Mungkin bersilaturahmi dengan ayahmu adalah ide terbaik untuk mengawali sebuah janji, hmm, seperti apa itu, well, bolehlah kau menyebutnya… janji Josh?”

-o0o-

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun