“Aha…” Jannah merapikan kerudungnya di seputar dada.
“Mereka banyak bercerita tentangmu…”
“Oh, God! Aku harus memikirkan hukuman untuk para pengkhianat itu…” Jannah mereka-reka jenis pengaduan yang telah didengar Josh. Semangat diskusinya kembali menyala.
“Dan kian dalamlah rasa takjubku kepadamu, Jannah,” Josh mengirimkan ketakjuban itu lewat sorot matanya. “Bagaimana kau bisa melakukan semua itu, sweety?”
“What did I do wrong?” Jannah mulai tak mengerti.
“Mereka bilang, kau selalu bangun tepat jam 3, for God’s sake, Jannah, 3 pagi! Aku mungkin baru pulang dari pub dengan kepala pengar karena etanol, alcohol dan entah apa zat additive lain. But you…,” Josh menggeleng-gelengkan kepalanya. “But you, di jam itu, duduk bersimpuh dalam gelap dan diammu, lalu membaca kitab sucimu, kemudian berkirim surel kepada ayahmu, dan kembali bersimpuh hingga matahari merobek pagi. Aku… aku, sungguh tak mengerti, disiplin macam itu, Dewiku.”
“Dengar Josh. Mereka, Shannon dan Miura, hanya sekali memergoki, dan itu tidak otomatis mengatakan aku selalu begitu. Mereka menutupi kenyataan bila aku tidur mendengkur dan dengkuranku seperti lenguhan unta tua. Mereka tidak mengatakan itu bukan? Jangan percaya gadis Amerika yang bersekongkol dengan gadis Jepang kemudian bersatu membual untuk mengelabuimu. Okay?”
“Kalau kau begitu relijius, mengapa tidak Mesir yang kau tuju? Mengapa justru Amerika yang dengan mudah dan senang hati melabelimu teroris?” tanya Josh.
“Pernahkah terpikir olehmu, mengapa?” pancing Jannah.
“Uhm, mungkin karena kau ingin berdakwah di sini?”
“Oh, andai aku dibekali ilmu setinggi itu, tentu dengan senang hati kujalani sebagai daiwati. Tapi aku hanya perempuan biasa dengan ayah luar biasa dan beruntung mendapatkan visa,” Jannah berteka-teki