Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Artikel Utama

Di Sebuah Kawasan

20 Mei 2015   15:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:37 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hai, Sayang...," tegur seorang manusia perempuan membuyarkan lamunan, kerlingnya menggoyahkan iman.

Glek! Bola jakun itu menenggak liur dalam terowongan leher si Udik. Manusia perempuan itu cantiknya macam artis di televisi. Darah bajingan si manusia gunung sontak meletup-letup. Dia mendelik melihat tangan berkuku merah runcing itu merogoh susu lalu memamerkannya tanpa kehilangan muka.

"Silahkaaan...," tawarnya dengan riang. Entah dengan lubuknya di dalam. Adakah keriangan ataukah kehinaan.

Udik, si manusia gunung ingin segera menyambutnya karena merasa sudah bayar di muka, cash, walau tersedia mesin penggesek berbagai jenis kartu di meja jaruman. Lagipula dengan nalurinya dia sangat tahu kelezatan susu yang bernilai gizi tinggi itu. Tapi tidak. Dia tidak menuruti libido yang melolong sengau. Sumpah mati bukan pula karena nafsu binatangnya meloyo. Mungkin karena dialah sok suci sejati. Udik hanya tertegun. Sekelebat di matanya membayang wajah seorang manusia perempuan yang lain. Yang wajahnya polos. Berpupur tak. Bergincu tak. Bercelak tak. Parfumnya beraroma keringat sedap. Tapi susunya sangat kenyal dan nikmat. Inang! Wajah itu Udik punya inang! Dari manusia perempuan itulah dia terlahir. Tumbuh besar menetek sari tubuhnya. Air susu inang.

Dalam kejap, bukit silicon itu tak menarik lagi. Betapapun fenomenalnya kelezatan yang coba mereka jajakan, para manusia perempuan itu. Oi, belum cukupkah gedung-gedung itu, dari yang kelas teri hingga yang berkolam jaccuzi, hingga harus diadakan kawasan ini? Udik sulit dibuat mengerti.

"Dasar sok suci! Bagaimana manusia macam kau bisa masuk kawasan ini! Manusia sok suci dilarang masuk sini!" manusia perempuan itu menjerit histeris. Lalu meludah. Kemudian meninggalkan si manusia gunung untuk berpindah ke dalam kehangatan setelan safari seorang manusia lelaki yang lain. Yang sosoknya sangat menegaskan dari kalangan terhormat dan berpendidikan tinggi. Namun tidak sok suci seperti dirinya yang udik itu.

"Pengecut! Letoy!"

Ya-ya, aku memang pengecut. Aku terlalu takut pada marka-marka yang sejak jaman purba telah disampaikanNya. Tapi letoy? Si Udik nyaris gila dikatai letoy. Jima? Mengadu jiwa dan raga? Enak saja. Udik tak terima. Kerna dia merasa sudah sangat tahu pakemnya. Paham benar nikmat rasanya. Dan rasa kewalahan saat harus menahan nafsu binatang itu. Tapi yaa, aku memang pengecut seperti kau katakan. Sangat pengecut untuk sekedar menyesap sensasi yang konon super berbeda saat bersama istri yang kau gauli dengan persaksian para malaikat.

"Pergi kau banci! Dasar cemen!"

Udik bergegas pergi. Tapi setiap pintu yang dia sambangi semuanya memasang tariff dan sticker bernada peringatan serupa: "Orang Sok Suci Dilarang Masuk". Ketukan demi ketukannya disambut dengan semua maki. Segala caci.

"Munafik!" teriak salah seorang penghuni yang gagal menjajakan buhul pinggul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun