Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Artikel Utama

Di Sebuah Kawasan

20 Mei 2015   15:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:37 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Si Herderdog mendengus kesal. Pertanyaan barusan terasa sangat menyikat ulu hati. Sudah jelas najis, kok masih ditanya suci. Alih-alih menjawab, Herderdog itu malah melolong. Tapi tak semerdu lolongan Seline Dion. Mungkin kebanyakan bohong.

"Heh, kalau begitu, anda pastilah orang sok suci?" teman si Herderdog namanya Sergeant Stubby ikut bertanya, dengan seringai curiga yang menonjok relung manusia. Tangannya menyodorkan sesobek kertas kecil, menagih retribusi.

Seketika wajah Udik si manusia itu mengapas. Rahangnya mengeras. Sebisa mungkin dia ingin menghindari dusta. Karena manusia telah diajarkan norma dan agama. Itu yang membedakannya dengan para binatang. Suka atau tidak suka para binatang yang kini tengah berkuasa itu mendengarnya. Kalau mau protes, silahkan layangkan surat kepada Tuhan.

Udik si manusia terdiam. Walau bukan orang suci namun dia enggan dikatakan sok suci. Padahal, ya, dalam hatinya berteriak mengakui adakalanya dia memang sok dalam banyak hal. Dia pernah merasa sok jagoan, sok pintar, sok kuat, sok wibawa, pokoknya semua sok-sokan dia pernah lakukannya. Lalu mengapa kalau dia sok suci? Jadi bagaimana ini? Tanpa pikir panjang, si Udik menyodorkan sekian lembar mata uang dan sekerat daging segar yang sangat disukai punggawa para binatang. Korupsi. Pungli. Agar dia mendapat akses masuk kawasan ini.

Jauh di relungnya Udik dihantui penasaran mengapa dipersulit sekedar memasuki sebuah kawasan. Apakah karena tampangnya serupa teroris? Mungkinkah salah mengenakan pelindung kepala? Perlahan Udik meraba kupluk bulat putih yang menutupi rambutnya. Atau karena surai panjang di dagu? Eeiih, itu Simba si singa juga bersurai dan mereka tampak bebas melenggang dalam kawasan. Jadi??

"Oi, regulasi macam apa ini? Aku sudah bayar retribusi. Lagipula, ada apa dengan manusia sok suci? Aku bukan orang sok suci. Aku anak negeri ini. Negeri yang berpuluh tahun nyaman dalam belitan ular korupsi!" mungkin tersengat bisa Scorta si scorpio, tahu-tahu Udik si manusia itu seperti tengah beretorika.

"Ya, sudah, masuk-masuk deh," mengalahlah Sergeant Stubby setelah diam-diam menelan sogokan. Suap memang selalu mustajab bahkan di kerajaan para binatang. Udik si manusia pun takjub. Hal seperti ini tak pernah dia dapati selama kurun waktu hidupnya di pedalaman yang tak terjamah. Tak salah dia mendengar saran para pengunjung kedai.

"Ngomong-ngomong, yang sok suci itu macam manakah, Bung?" tanya si Udik, pasrah saat pergelangannya ditato. Sebuah tera ungu terbaca: "Bukan orang sok suci. Passed."

"Silahkan masuk saja dan tanyakan kepada ramai dalam kawasan," serempak, Herderdog dan Stubby menolak memberikan penjelasan.

Hm, pintar juga penjaga ini. Loh, Herderdog bukannya memang pintar toh? Kalau tak pintar bagaimana mamalia karnivora itu bisa menggiring dan mengatur domba? Dasar manusia yang bodoh. Dan bukankah sudah jelas bila ramai orang dalam kawasan ini akan memiliki jawaban karena mereka sudah dapat dipastikan bukanlah orang-orang yang sok suci alias bukan orang-orang yang berlagak suci alias lagi orang-orang yang jujur pada dirinya sendiri, pada keluarga, anak dan istri, tetangga, juga pada Tuhannya Yang Maha Suci lagi Maha Mengetahui.

Di dalam kawasan Udik si manusia gunung itu disambut laiknya pengiran. Di sana dia menemukan para penghuninya yang unik dan menarik. Ada beberapa manusia lelaki yang tampak kebingungan seperti dirinya. Bertampang kelingsutan dan malu-malu. Mereka ini pasti orang-orang sok suci yang memaksa masuk lantas terjebak di kawasan ini dengan alasan tak pasti. Batin Udik asal menerka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun