“Rumah sekarang sepi, ya, Le? Semua orang pergi memilih jalan masing-masing, suka-suka sendiri. Bapak mah dari dulu memang jarang di rumah. Ndilir ae dari satu gendhakan satu ke satunya, lalu satunya lagi, wis tak tahu berapa perempuan. Sekarang rasain lonthe-lonthe itu, pasti kebingungan karena pemasok uangnya sudah di-Nusa Kambangan-kan. Lah Bapak kok ya masih cemburu sama si Kalkun? Hihi, tapi Ibu senang burungnya jongos itu ditembak sama Bapak.”
Berlalu dari kamar utama yang masih menyisakan sedikit kemegahannya di masa lalu, Nyonya Ibu berhenti di depan kamar Sandy.
“Oiya, si Sandy itu kok ya milih tidur di bui, padahal kurang apa Ibu memberinya materi, sampai ngga kurang-kurang Ibu nyuruh kamu gelatakan malam-malam ke brangkas orang. Ya, Le, ya?” Nyonya Ibu bertanya.
Kamar Sandy terbuka lebar namun berpenghalang pita kuning milik polisi. Tirainya banyak sobek dan lubang bekas gigitan tikus, sisa kainnya melambai kian-kemari seakan mengundang siapapun tuk memasuki. Tempat tidur dan isi lemari terburai kesana-sini.
“Duh, anak itu kaliren apa ngga ya?” Nyonya Ibu menatap sedih pada cubic-food yang kosong melompong. “Lah padahal katanya seumur hidup si Sandy itu ngga bisa keluar dari kerangkeng, lah-lah, duh, bagaimana ini, Le?”
Langkah gontai Nyonya Ibu mengantarkannya ke kamar Windy dan Cindy yang berseberangan. Seperti halnya kamar Sandy, kamar dua kakak beradik inipun berhiaskan pita yang sama. Masing-masing kelambunya banyak yang terlepas dari kait dan besinya. Tak berbeda dengan tempat tidur Windy, sprei di kasur Cindy pun nampaknya menahun tak diganti, beragam noda di atasnya telah mengubah corak dan warna asli.
“Windy, anak nakal itu juga ngga mau pulang. Bukan, Le, bukan bui, tapi rehabilitasi karena ngga doyan nasi maunya puyer saja. Orang kok ngga umum. Kecilnya makan nasi, gedenya makan roti, lah itu baru umum. Sakit po piye Windy kuwi?”
Di depan kamar Cindy, Nyonya Ibu nampak tertegun sejenak. Di dinding kamar masih terpajang foto Cindy kecil berseragam bintang-bintang dengan senjata di tangan seperti Tuan Bapak.
“Itu si Cindy waktu TK-nya dulu, Le. Manis dan lucu. Selalu ingin seperti bapaknya. Tapi karena kecewa sama bapak malah jadi begitu, hidung, mata, semua maunya dibuat seperti bapak. Owala Cin, cin, Nduk-genduk cah ayu, jakun sama penis opo yo iso thukul sak karepmu dhewe? Ngga toh? Banyak perempuan yang menginginkan payudara montok, sampai disumpal-sumpal, lah kowe ki kok malah dipapral? Tibak’e yo fatal! Beraninya kamu itu melawan kodrat, Cin?”
Reraungan Nyonya Ibu makin terdengar menggema di tengah kesenyapan yang mencekam. Dukanya tak henti saat menangisi kepergian tragis Cindy. Kelamin yang susah payah ditumbuh-kembangkan melalui operasi demi operasi yang menyakitkan, berakhir di mulut Al Caphone. Entah apa yang dilihat anjing itu pada kelamin baru sang majikan. Tangis Nyonya Ibu mendadak berhenti, seperti tersadar akan sesuatu lalu berkeliling mencarinya.
“Eh, iya, mana si Dar? Kok ngga pulang-pulang? Apa takut barangkali ya setelah bocorin rahasia keluarga Ibu ke si Mar. Huh, ngga taunya si Dar itupun tak ubahnya para pembantu kebanyakan, ngga bisa ngerem mulutnya. Diam, manut, patuh, ngga taunya anak itu sudah tahu sejak awal kalau dirinya sengaja dititipkan kemari oleh ibunya sendiri. Cah opo kuwi?”