Aku hanya bisa memandang dengan tatapan iri. Ketika mereka semua bergembira dengan seragam merah putih dan tas juga sepatu yang nampak masih mengkilat. Memandang dari balik gubuk yang seakan penjara bagiku ini. Jika penjara disebut jeruji besi, mungkin ini bisa kusebut jeruji kayu. Akupun tak pernah tau sampai kapan aku harus mendekam di tempat yang mengerikan ini. Oh ya? apa kaliaan punya ayah? Ya! akupun juga punya ayah. Tapi setahuku ayah itu lembut dan penuh kasih sayang, tapi mengapa ayahku ini beda dari ayah-ayah biasa?
Aku masih terus termenung, membayangkan jika nanti aku bisa bersekolah.
"Hey anak malas! kerja sana! jangan cuma santai-santai saja!" gertaknya.
Sontak aku terkaget "Iya ayah, Nima kerja sekarang. Ayah, Nima mau sekolah kayak teman-teman, tolong ayah, ini permintaan terakhir Nima" ujarku.
"Tidak! Makan saja susah! masih mikirin sekolah kamu!, Kamu itu benar-benar cuma jadi benalu saja disini, karena kamu semua uang untuk judi ayah lenyap! karena kebutuhan-kebutuhan yang ayah harus beli buat kamu!" hardiknya.
Aku sangat sakit mendengar pernyataan tadi. Rasanya aku ingin keluar dari penjara ini, tapi aku tak tahu dimana harus tinggal. "Nima nggak akan mau kerja lagi sebelum ayah kabulin permintaan Nima untuk sekolah" aku hanya keukeh pada keinginanku.
"Masih untung kamu ayah masih bisa merawat kamu! kalau begitu maunya, pergi saja sana! ayah tidak pernah butuh anak malas dan menyusahkan seperti kamu!" ayah terus memakiku.
"Pokoknya Nima nggak mau ngamen lagi sebelum ayah kabulin permintaan Nima!" nada bicaraku mungkin menantang, pak!!! ayah melayangkan tamparannya kearah pipiku. Sehingga pipiku terasa berdenyut dan ada bekas memerah.
"Ayah jahat!" pekikku.
Aku hanya terdiam, dan kemudian berlari keluar kamar menuju teras gubukku, berisi dua bangku kayu yang sudah melapuk. Bekas tamparan itu masih terus terasa menyakitkan di kanan pipiku. Aku hanya bisa menangis sembari terus mengusap pipi kananku. "Ayah macam apa ini?" batinku. "Ah..., andai ibu ada disini, itu semua takkan terjadi"
Aku harus segera pergi mengamen, kalau tidak, ayah akan melayangkan pukulannya lagi kepadaku. "Ni, kok pipinya biru lebam gitu?" tanya bi Sita. "Iya, terbentur bi" jawbaku sembari tersenyum. "Rasanya nggak mungkin terbentur sampai lebam kayak gitu" bi Sita heran. "Pasti kerjaan ayahmu ya?" ujar bi Sita. Aku mengangguk pelan. "Tapi jangan kasih tau siapa-siapa ya bi, nanti ayah marah" ucapku. "Iya, kasian ya kamu Nima, mau tinggal sama bibi aja?" tawar bi Sita. "Nima nggak mau ngerepotin bibi, ayah juga pasti marah, oh ya bi, Nima ngamen dulu ya" aku berpamit. "Pergilah..., Hati-hati ya!" bibi mengingatkanku. "Sip!" aku mengacungkan jari jempolku.
Sengatan sinar mentari seakan suda menjadi sahabat setiaku. Menunggu lampu meyala menjadi merah dan menelusuri satu per satu kendaraan sudah menjadi rutinitasku. Bernyayi dengan kecrekan yang terbuat dari kayu dan tutup botol, berharap belas kasihan dari pada pengendara. Kini hari sudah mulai sore, saatnya aku tuk pulang, jika tak mau kena marah ayah lagi. Sebelum itu, aku akan menghitung hasil jerih payahku hari ini. "16,17,18,19,20!" ya, tepat dua puluh ribu, ini menurun dari hasilku kemarin yaitu 25ribu.
"Yah, Nima pulang..."
Kulihat ayah sedang santai berbaring di ranjang kapuknya. Aku berpikir, bukankah ayah sang pencari nafkah? tapi mengapa kerjanya hanya berfoya-foya tanpa bekerja dan hanya bersantai seharian. Sedangkan uang tabungan yang selama ini kukumpulkan dengan jerih payahku diambilnya begitu saja hanya untuk berjudi, miris hatiku sebenarnya.
Ayah terbangun! aku harus cepat-cepat pergi ke kamar agar uang hasil mengamenku ini tak diambilnya lagi.
"Hey! ayah tahu! pasti kamu mau kabur, cepat mana uangnya!" tagihnya.
"Ayah jangan ambil, ini uang tabungan Nima buat sekolah yah..." aku memelas, berharap belas kasihan darinya.
"Nggak bisa! Cepat! kasih ayah uangnya!" dengan terpaksa aku memberikannya pada ayah.
"Masa cuma 20 ribu! Bisa apa uang segini!" makinya.
Ayah hampir saja melayangkan pukulannya untuk yang kedua kalinya, namun aku sigap dan langsung menagkis pukulan ayah.
"Ayah nggak pernah tau gimana teriknya jalanan yah! ayah cuma bisa tiduran santai di rumah, ayah nggak pernah rasain gimana irinya aku kalau ngeliat teman-teman semua pergi sekolah, ayah juga nggak pernah rasain tamparan dari orangtua ayah sendiri yang nggak pernah sayang sama anaknya, tapi malah jadi momok buat anaknya, ayah nggak pernah rasain itu semua kan?" ujarku sambil terisak.
Seetika ayah yang hampir melayangkan pukulannya lagi luluh. Ia menangis. Memelukku hangat, aku rindu ini semua, aku masih ingat saat aku berusia tiga tahun, ayah dan ibu menggendongku di tempat yang sama. Kini itu terulang, hanya saja tanpa ibu disisiku. Terimakasih Tuhan, Kau kembalikan ayahku menjadi seperti ayah yang kuimpikan. Ayah yang menyayangiku, seperti dulu.
Ayah... aku cinta ayah sekeras apapun ayah memukulku...
Tapi kini ayah telah berubah untukku, terimakasih ayah... :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H