Sengatan sinar mentari seakan suda menjadi sahabat setiaku. Menunggu lampu meyala menjadi merah dan menelusuri satu per satu kendaraan sudah menjadi rutinitasku. Bernyayi dengan kecrekan yang terbuat dari kayu dan tutup botol, berharap belas kasihan dari pada pengendara. Kini hari sudah mulai sore, saatnya aku tuk pulang, jika tak mau kena marah ayah lagi. Sebelum itu, aku akan menghitung hasil jerih payahku hari ini. "16,17,18,19,20!" ya, tepat dua puluh ribu, ini menurun dari hasilku kemarin yaitu 25ribu.
"Yah, Nima pulang..."
Kulihat ayah sedang santai berbaring di ranjang kapuknya. Aku berpikir, bukankah ayah sang pencari nafkah? tapi mengapa kerjanya hanya berfoya-foya tanpa bekerja dan hanya bersantai seharian. Sedangkan uang tabungan yang selama ini kukumpulkan dengan jerih payahku diambilnya begitu saja hanya untuk berjudi, miris hatiku sebenarnya.
Ayah terbangun! aku harus cepat-cepat pergi ke kamar agar uang hasil mengamenku ini tak diambilnya lagi.
"Hey! ayah tahu! pasti kamu mau kabur, cepat mana uangnya!" tagihnya.
"Ayah jangan ambil, ini uang tabungan Nima buat sekolah yah..." aku memelas, berharap belas kasihan darinya.
"Nggak bisa! Cepat! kasih ayah uangnya!" dengan terpaksa aku memberikannya pada ayah.
"Masa cuma 20 ribu! Bisa apa uang segini!" makinya.
Ayah hampir saja melayangkan pukulannya untuk yang kedua kalinya, namun aku sigap dan langsung menagkis pukulan ayah.
"Ayah nggak pernah tau gimana teriknya jalanan yah! ayah cuma bisa tiduran santai di rumah, ayah nggak pernah rasain gimana irinya aku kalau ngeliat teman-teman semua pergi sekolah, ayah juga nggak pernah rasain tamparan dari orangtua ayah sendiri yang nggak pernah sayang sama anaknya, tapi malah jadi momok buat anaknya, ayah nggak pernah rasain itu semua kan?" ujarku sambil terisak.
Seetika ayah yang hampir melayangkan pukulannya lagi luluh. Ia menangis. Memelukku hangat, aku rindu ini semua, aku masih ingat saat aku berusia tiga tahun, ayah dan ibu menggendongku di tempat yang sama. Kini itu terulang, hanya saja tanpa ibu disisiku. Terimakasih Tuhan, Kau kembalikan ayahku menjadi seperti ayah yang kuimpikan. Ayah yang menyayangiku, seperti dulu.