Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang diterapkan pemerintah menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Kebijakan ini dinilai sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi banyak pihak yang mempertanyakan keadilan dan dampaknya terhadap perekonomian, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Artikel ini akan membahas alasan kenaikan PPN, dampaknya, serta apakah kebijakan ini mencerminkan prinsip keadilan pajak.
Mengapa PPN Dinaikkan?
Pemerintah beralasan bahwa kenaikan PPN diperlukan untuk meningkatkan penerimaan negara. Pasca pandemi COVID-19 yang menyebabkan defisit anggaran semakin besar. Pajak, sebagai sumber pendapatan utama negara, digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan program sosial lainnya.
Namun, kritik muncul karena PPN adalah jenis pajak regresif, di mana beban pajak tidak memperhitungkan tingkat pendapatan seseorang. Dengan kata lain, PPN dibebankan sama kepada semua orang, baik masyarakat miskin maupun kaya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap daya beli masyarakat kecil.
Dampak Kenaikan PPN
1. Beban Lebih Berat bagi Masyarakat Miskin
  Kenaikan PPN secara langsung meningkatkan harga barang dan jasa. Bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, yang sebagian besar pendapatannya digunakan untuk kebutuhan pokok, kenaikan ini dapat memperburuk beban ekonomi mereka.
2. Menekan Konsumsi
  Dengan meningkatnya harga barang, daya beli masyarakat cenderung menurun. Hal ini dapat berdampak negatif pada konsumsi rumah tangga, yang merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi.
3. Potensi Inflasi
  Kenaikan PPN dapat memicu inflasi, karena produsen dan penjual biasanya akan menaikkan harga untuk menutupi beban pajak tambahan. Jika tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan masyarakat, daya beli akan semakin tertekan.