Pernikahan menjadi impian tiap sejoli untuk memantapkan hati dan komitmen. Dan norma yang sudah dikenal masyarakat banyak adalah pria yang mengambil langkah awal. Dan sikap wanitanya "menunggu untuk dinikahi".
Alam semesta punya selera humor yang sangat tinggi, penuh komedi dan tragedi, dan kadang munculnya bersamaan.
Orang yang kuat, akan balik mentertawakan semesta. Orang yang lemah, akan pasrah, lalu menjadi pribadi yang penuh keluh kesah. Menjadi pribadi yang kuat tidak pernah mudah. Kerikil mungkin masih bisa dipijak, tapi impian seperti tebing. Tidak cukup hanya jalan.
Tebing harus didaki, dengan mengingat ada resiko yang besar, yaitu jatuh. Rasanya jatuh? Ya sakit. Semakin sakit jika tebing yang sudah didaki semakin tinggi.
Justine Ann memiliki impian untuk bisa menikah dengan kekasihnya, Ivan Jester Chavez. Diajaknya Justine untuk mendaki tebing mereka bersama-sama. Ivan berjanji untuk menemaninya dalam pendakian. Tampaknya tebing ini mudah untuk dipanjat, mungkin karena dalam pengaruh halusinasi cinta. Justine tidak sadar, bahwa tebing itu sangat terjal dan resiko jatuhnya tinggi.
Justine ingin bisa bekerja di sebuah kapal pesiar bersama Ivan. Tapi, keinginannya pupus karena ketidaksetujuan Ivan. Ivan pun kemudian melamar Justine dan mengungkapkan bahwa ia akan naik kapal pesiar dulu, kemudian akan menikahinya setelah kapal tersebut kembali.
Dirinya tengah mabuk cinta, Justine pun setuju.
"Aku tunggu saat kontrak kau habis, hampir tak ada yang terjadi dalam hidup ini selain menunggumu,"
Adalah tulisan Justine yang ia post di Facebooknya. dari berita terupdate
*
Dirinya sabar menunggu Ivan. Ivan sudah ada di atas, 70% tebing sudah didaki bersama-sama. Ivan memulai kembali pendakiannya untuk menancapkan piton dan hanger di puncak tebing. Justine sudah sangat percaya dengan kekasihnya, sehingga ia menunggu Ivan dengan sabar.
Semakin lama Ivan semakin tinggi, Justine mulai gemetar, tapi cengkeramannya masih kuat. Staminanya datang dari ekspektasi tinggi di mana akhirnya mereka bisa mencapai puncak, berdua.
Sangat romantis.
Ivan mulai semakin sulit terlihat, Justine hanya bisa melihat bayangan hitam orang memanjat karena cahaya sinar matahari yang mengurangi kualitas pandangnya. Peluh berkumpul di dahi Justine, lalu turun ke pipi. Disekanya peluh agar tidak masuk mata. Justine mulai merasakan lelah, tapi pendiriannya masih kuat. Ia masih percaya Ivan akan sampai di puncak, lalu giliran Justine yang menyusuri pendakiannya.
Namun,
Talinya tak kunjung tegang, padahal Ivan sudah tak terlihat. "Apakah ada masalah?" Pikir Justine. "Apakah talinya kurang cukup, atau tidak ada celah yang bisa dipatok untuk talinya? Justine mencoba menarik-narik talinya, menguji ketegangan. Dan ya, talinya sudah tegang, tandanya sudah aman menopang tubuhnya.
Tangannya menggenggam tali tersebut, dan Justine dengan semangat mulai mengangkat tubuhnya, dengan senyuman. Akhirnya, ia akan sampai di puncak bersama kekasihnya. Impiannya mendaki tebing tersebut dapat tercapai. Pikir Justine.
Ada satu celah yang sulit ia gapai, sehingga satu tangannya bertumpu pada tali.
Lalu Justine tergelincir, tali yang dipegangnya melorot jatuh. Horor tampak di wajahnya, ketika ia berusaha bergelayutan terombang ambing dan terbentur dinding tebing berkali-kali. Ia berusaha menggapai celah-celah yang bisa ia lihat dengan susah payah.
Satu ayunan,
Hampir dapat!
Sekali lagi,
Masih kurang!
Hup!
Dengan sekuat tenaga ia mencengkeram celah setelah ayunan ketiga. Dan akhirnya berhasil berpijak pada tebing tersebut.
Sambil terengah-engah, Ia meneriakkan nama Ivan. Penglihatannya  masih kabur akibat adrenaline, peluh dan matahari. Sambil menyebut nama kekasihnya lagi, Ia melihat ke atas, namun tidak ada bayangan.
Sekali lagi ia berteriak pelan.
Muncul bayangan Ivan.
Justine berteriak, "Ivan, tolong..."
Lalu muncul bayangan kedua. Justine tidak mengenali siapa pemilik bayangan itu. Tapi bisa terlihat adalah figur seperti perempuan, dengan rambut panjang yang diikat. Kedua bayangan itu seperti menunduk, melihat sesuatu ke bawah. Lalu berdiri tegap, terlihat samar tangan Ivan merangkul sosok tadi... Lalu menghilang.
Justine bingung, syok, dirinya sudah hampir mati, dan kekasihnya yang ia percayai menghilang bersama sosok yang tak dikenalinya itu. Entah apa yang sedang mereka lakukan. Faktanya, ia sendirian, bergelantungan, berkeringatan, lelah, sedih, di tebing impiannya.
Justine kacau, pemandangan di bawah begitu menggiurkan. Ingin rasanya ia melompat saja. Hatinya remuk.
Orang yang ia percaya dan cintai meninggalkannya dia begitu saja, padahal pendakiannya hampir selesai.
Justine berpikir apa yang salah dengan dirinya?
Apa yang membuat dirinya ditinggal oleh kekasihnya?
Justine hancur, bersama impiannya.
Tapi...
Justine mulai turun, dengan perlahan. Ia tidak lagi ada niatan untuk menyelesaikan panjatannya itu. Bahkan sama sekali tidak memikirkan lagi apa yang harus dia panjat. Ia hanya ingin menjauh dari tebing itu. Turun ke dasar, jalan berbalik, tanpa menoleh kembali.
Tebing itu tetap berdiri kokoh, sekuat apa pun keinginan Justine agar tebing itu hancur.
Justine membiarkan tebing itu tetap ada seperti itu, bersama tali, piton dan hanger miliknya dan kekasihnya. Sebagai pengingat, perjuangan yang pernah ia lalui bersama orang yang mengkhianatinya. Untuk memori sekaligus pembelajaran. Bahwa semesta punya rasa humor yang sangat tinggi.
*
Justine - "Ketika hal-hal seperti ini terjadi dalam hidup, kita merasa seperti segala sesuatu di sekitar kita runtuh. Rasa sakit itu, tantangan yang membuat segalanya menjadi pertanyaan, apa yang telah kita perjuangkan sia-sia,"
Justine berbadan dua ketika mengetahui perselingkuhan Ivan. Ia seperti hanya menunggu diselingkuhi kekasihnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H