Semakin lama Ivan semakin tinggi, Justine mulai gemetar, tapi cengkeramannya masih kuat. Staminanya datang dari ekspektasi tinggi di mana akhirnya mereka bisa mencapai puncak, berdua.
Sangat romantis.
Ivan mulai semakin sulit terlihat, Justine hanya bisa melihat bayangan hitam orang memanjat karena cahaya sinar matahari yang mengurangi kualitas pandangnya. Peluh berkumpul di dahi Justine, lalu turun ke pipi. Disekanya peluh agar tidak masuk mata. Justine mulai merasakan lelah, tapi pendiriannya masih kuat. Ia masih percaya Ivan akan sampai di puncak, lalu giliran Justine yang menyusuri pendakiannya.
Namun,
Talinya tak kunjung tegang, padahal Ivan sudah tak terlihat. "Apakah ada masalah?" Pikir Justine. "Apakah talinya kurang cukup, atau tidak ada celah yang bisa dipatok untuk talinya? Justine mencoba menarik-narik talinya, menguji ketegangan. Dan ya, talinya sudah tegang, tandanya sudah aman menopang tubuhnya.
Tangannya menggenggam tali tersebut, dan Justine dengan semangat mulai mengangkat tubuhnya, dengan senyuman. Akhirnya, ia akan sampai di puncak bersama kekasihnya. Impiannya mendaki tebing tersebut dapat tercapai. Pikir Justine.
Ada satu celah yang sulit ia gapai, sehingga satu tangannya bertumpu pada tali.
Lalu Justine tergelincir, tali yang dipegangnya melorot jatuh. Horor tampak di wajahnya, ketika ia berusaha bergelayutan terombang ambing dan terbentur dinding tebing berkali-kali. Ia berusaha menggapai celah-celah yang bisa ia lihat dengan susah payah.
Satu ayunan,
Hampir dapat!
Sekali lagi,