"Yang dicari jangan kayak tadi bapak lakukan inventarisasi, pencegahannya, Pak. Ini Kementerian Agama bangsat, Pak, semuanya, Pak!" ~ Arteria Dahlan, Anggota DPR Fraksi PDI-P
Ucapan Arteria pada rapat Komisi III DPR tersebut menjadi sebuah peristiwa yang sangat heboh. Banyak yang anggap ucapannya tidak mewakili sifat kehormatan anggota DPR. Penggunaan kata 'bangsat' dirasa tidak pantas diucapkan oleh seorang wakil rakyat. Karena mayoritas menganggap kata tersebut sebagai makian. Sehingga melanggar kode etik.
Tapi, benarkah demikian?
Arteria menggunakan kata 'bangsat' untuk mengomentari sikap kemenag, yang terkesan menyalahkan publik karena mudah tertipu giuran promo jasa travel abal. Kemenag di sini, disamakan persepsinya dengan Arteria, yaitu oknum.
Menarik, karena jika dalam pengertian Bahasa Indonesianya, Arteria memberikan gambaran untuk sikap kemenag tersebut. Pilihan katanya adalah 'bangsat', dan itu sebenarnya tepat.
Kenapa tepat?Â
Mari kita telusuri pengertian 'bangsat' pada Bahasa Indonesia.
Menurut KBBI: bangsat1/bang*sat/ n 1 kepinding; kutu busuk;2 cak orang yang bertabiat jahat (terutama yang suka mencuri, mencopet, dan sebagainya):dasar anak -- , menjadi -- juga
Lihat pengertian kedua, 'bangsat' adalah orang yang bertabiat jahat. Belum jelas asal muasalnya kata tersebut, bisa jadi serapan, bisa jadi mengambil dari sifat kutu kasur/kepinding yang menjengkelkan. Diam-diam gigit, lalu muncul banyak bentol di permukaan kulit, bau serangga ini pun tak sedap. Bahkan bisa sampe alergi, menjengkelkan.
Arteria menganggap kemenag sama sekali tidak ada itikad baik untuk membantu penyelesaian kasus travel umrah bodong. Ada kesan pembiaran. Bahkan membuat kebijakan yang 'nanggung'.
Sikap kemenag dilihatnya sebagai sikap yang menjengkelkan, seperti kutu bangsat. Arteria hanya sekedar menggunakan kata benda daripada keterangan sifat.
Kenapa milih kata tersebut? Itu hanya Arteria yang tahu.
Tapi bisa kita lihat seperti ini.
Contoh:
Lebih suka bilang "Minta nasidong!" atau "Minta beras yang udah dimasak dengan cara ditanak atau dikukus dong!"
Hm?
Bahasa Indonesia memang rumit. Saking rumitnya, kita sudah terbiasa berucap seirit dan semudah mungkin, yang penting pesannya sampai.
"Apakah kamu mau makan?" bisa sangat disederhanakan menjadi "Makan?" dengan tambahan intonasi seperti menawari.
Inilah yang jadi persoalannya. Diskursus. Dalam konteks ini, penggunaan kata 'bangsat' yang sudah terlanjur dipahami sebagai umpatan.
Karena sebagian orang kita senang sekali debat ngalor ngidul, akhirnya peristiwa ini malah mengalihkan fokus. Awalnya membahas soal ijin travel umrah abal, malah jadi berbicara etika. Belum lagi cocokologinya, mengkaitkan Arteria dengan fraksinya, berujung ke generalisasi; "Oh, dari PDI-P, pantes!" Terus lanjut ke retaliasi dari pihak yang tidak suka digeneralisasi. Fokusnya makin menyimpang.
Arteria mengkritik dengan tambahan kata 'bangsat', kemenag baper. Sesederhana itu.
Karena, jika hendak bawa-bawa sikap kehormatan DPR, sepertinya ini tidak lebih darurat daripada sikap-sikap DPR soal kebijakan yang lebih tidak terhormat.
Kesimpulan, jika kita melihat persoalan ini dari sudut pandang yang berbeda, ucapan Arteria bukan cuma sekedar makian, tapi memang penggunaannya tepat. Tapi akan jadi merembet ke hal yang semakin tidak penting jika menyeret soal kode etik. Seharusnya ada yang lebih diprioritaskan ketimbang 'makian' tersebut.
Tapi toh, peristiwanya tetap heboh dan bikin publik tersita perhatiannya. Pintar main momentum.
Bahasa Indonesia itu kaya, puitis dan rumit, meski bisa disederhanakan. Itu yang seringkali bikin orang-orang kita sendiri mudah salah paham (faktor mudah baper berpengaruh juga sih). Tendensi mudah salah paham bisa dilihat dari intensitas klarifikasi seperti "Maksudnya?"Â
Tantang saja diri sendiri untuk berbicara bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam obrolan kasual. Pasti kaku :p
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H