Mohon tunggu...
Jasmansyah, M.Pd
Jasmansyah, M.Pd Mohon Tunggu... -

Jasmansyah, M.Pd., seorang guru Bahasa Inggris di SMAN 1 Cibadak Sukabumi (RSBI), Dosen di beberapa perguruan Tinggi di Sukabumi, Penulis, Blogger, dll. Sekarang sebagai: Ketua DPD IGI Sukabumi Jawa Barat, Ketua MGMP Bhs. Inggris SMA Kab. Sukabumi Jabar. Website: http://jasmansyah.co.cc, Email: jasmansyah@yahoo.co.id. \r\nhttp://igisukabumi.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi Merarik (Menikah) dalam Adat Sasak Lombok dalam Perspektif Gender

29 Januari 2015   23:07 Diperbarui: 4 April 2017   16:13 4436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam wikipedia Indonesia[6] disebutkan bahwa Pernikahan atau nikah artinya adalah terkumpul dan menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan, sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islam. Kata zawaj digunakan dalam al-Quran artinya adalah pasangan yang dalam penggunaannya pula juga dapat diartikan sebagai pernikahan. Allah SWT. menjadikan manusia itu saling berpasangan, menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina.

  1. 1. Pengertian Perkawinan Dalam Hukum Islam

Islam secara detail mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT yang dalam fiqh menjadi komponen dalam ibadah baik sosial maupun individual, mukaiyadah (terikat oleh syarat dan rukun) maupun muthloqah (teknik operasionalnya tidak terikat oleh syarat dan rukun tertentu). Syariat islam juga mengatur hubungan antara sesama manusia dalam bentuk mua'syarah (pergaulan) maupun mu'amalah (hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup). Selain itu juga diatur hubungan dan tatacara keluarga, yang dirumuskan dalam komponen munakahat. Dalam Islam masalah perkawinan atau pernikahan menjadi tema khusus dalam kitab-kitab fiqh klasik di bawah judul fiqh munakahat (fiqh pernikahan). Berkaitan dengan hukum Islam yang mengatur tentang perkawinan didasari pada firman Allah SWT yang menyatakan bahwa segala sesuatu diciptakan secara berpasang-pasangan (Adz Dzariyat : 49), manusia diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian dijadikan berbangsa-bangsa agar saling mengenal (Al-Hujurat : 13), perintah kawin kepada laki-laki dan perempuan yang belum kawin (Ar Rum : 21), sampai kepada masalah-masalah seperti poligami (An-Nisa' : 23), talak/cerai (Ath Talaq, Al Baqarah : 229-231), dan sebagainya. Perkawinan menurut hukum Islam dalam Kompilasi Hukum Islam Inpres Nomor 1 Tahun 1991[7] adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (dalam Nina Nurmila)[8]. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954[9]. Untuk memenuhi ketentuan di atas setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatatat nikah, perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pengawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama, Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

  1. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian
  2. Hilangnya akta nikah
  3. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan
  4. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan;
  5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
  6. Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
  1. 2. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan

Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tertuang dalam BAB I Pasal 1 sampai dengan Pasal 5. Dalam pasal 1 disebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam pasal 2 disebutkan Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Tiap-tiap perkawinan dicatat untuk peraturan perundang-undangan yang berlaku. Azas dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Berkaitan dengan pemberian ijin seorang suami untuk beristeri lebih dari satu, pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut di atas, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan dimaksud dalam hal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

  1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
  2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
  3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan

  1. C. Merarik dalam Budaya Sasak
    1. 1. Pengertian Kebudayaan

Secara sistematis dan ilmiah, definisi kebudayaan dirumuskan pertamakali oleh E.B Tylor dalam bukunya Primitive Culture (1871), bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. R.Linton (The cultural background of personality) mendefinisikan kebudayaan sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku, yang unsur pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu. C. Kluchhohn dan W.H.Kelly merumuskan kebudayaan sebagai pola hidup yang tercipta dalam sejarah, yang eksplisit, implisit, rasional, irrasional dan nonrasional, yang terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan beberapa inti dari pengertian kebudayaan[10], bahwa kebudayaan itu:

  1. Terdapat antara umat manusia sangat beranekaragam.
  2. Didapat dan diteruskan secara sosial dengan pelajaran,
  3. Terjabarkan dari komponen biologi, psikologis dan sosiologi dari eksistensi manusia.
  4. Berstruktur.

Kebudayaan dapat dianalisa ke dalam unsur seperti item, traits, trait complexes, cultural activities, dan cultural universal[11]. Dengan mengambil sari dari berbagai kerangka tentang unsur-unsur kebudayaan universal yang disusun para antropolog, terdapat tujuh unsur kebudayaan sebagai cultural universal yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia, yaitu :

  1. Bahasa
  2. Sistem Pengetahuan
  3. Organisasi Sosial
  4. Sistem peralatan hidup dan teknologi
  5. Sistem mata pencaharian hidup
  6. Sistem religi
  7. Kesenian[12]

Terkait dengan fungsinya, kebudayaan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu (1) kebudayaan eksplisit yang mencakup beberapa aspek, yaitu kognisi, motivasi, sikap dan pola hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya dan (2) kebudayaan implisit merupakan landasan perilaku manusia yang mencakup kepercayaan (belief), norma dan nilai (Krech, dkk, 1962). Untuk lebih membedakannya, kebudayaan eksplisit itu terdiri atas perilaku umum yang dikenal dan dapat diamati secara langsung dalam bentuk perilaku. Berdasarkan kebudayaan implisit, perilaku itu nyata dapat dijelaskan, dan sebaliknya, perilaku itu mencerminkan kebudayaan implisit, seperti misalnya, seseorang begitu murah hati untuk membantu tetangga-tetangga yang dapat ditafsirkan sebagai pengalaman dari nilai-nilai sosial atau altruistik. Kepercayaan suatu masyarakat, mencakup semua aspek kognisi yakni meliputi ide, pengetahuan, tahayul, mitos dan legenda yang menjadi milik sebagian besar anggota masyarakat. Selanjutnya, nilai budaya merupakan kepercayaan terpenting yang dimiliki anggota masyarakat, golongan  atau bahkan di lingkungan organisasi sehingga ada rujukan tentang apa yang sebaiknya dilakukan. Kebudayaan merupakan a way of  life, atau cara hidup”(Bathal, 1981). Itulah sebabnya kebudayaan digunakan untuk menjawab tantangan dan pewarisannya berlangsung melalui proses. Karena kebudayaan merupakan “cara atau jalan hidup” dan mengisi kehidupan manusia, maka jelaslah bahwa kebudayaan merupakan seperangkat cara yang lazim oleh sekelompok individu untuk memecahkan masalah, yang merupakan hasil interaksinya dengan lingkungan fisikal dan sosial di sekitarnya. Kebudayaan merupakan sebuah puncak kreativitas manusia yang diwariskannya dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya, sehingga kebudayaan sebagai sebuah sistem, yang mengandung unsur-unsur yang amat kompleks mencakup kepercayaan, adat, norma dan nilai itu, berfungsi untuk mengendalikan perilaku, menuntun kemampuan memproduksi material, menjadi pedoman kehidupan spiritual dan menjadi medium bagi pengungkapan kepercayaan, moralitas, pengetahuan, seni, pelaksanaan pendidikan dan hukum. Setiap kebudayaan merupakan sebuah konfigurasi dan sebuah sistem nilai dengan penonjolan aspek tertentu, dan nilai pada hakikatnya adalah konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal yang harus mereka anggap amat berharga dan harus dijunjung tinggi. Sementara itu, nilai dan etika dapat bersumber dari kepercayaan agama. Kebudayaan daerah adalah suatu kebudayaan yang lahir asli dari daerah yang bersangkutan disumbangkan oleh anggota masyarakat etnis tertentu dan menjadi panutan warga masyarakat dalam sebuah teritorial, yang secara fisik cukup jelas dengan tujuan yang khas, yaitu untuk memecahkan masalah sesuai dengan kondisi lingkungannya.

  1. D. Tradisi Merarik : Percampuran hukum Islam dan Budaya Lokal Sasak-Lombok

Islam secara teologis, merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiyah dan transenden. Sedangkan dari aspek sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Dialektika Islam dengan realitas kehidupan sejatinya merupakan realitas yang terus menerus menyertai agama ini sepanjang sejarahnya. Sejak awal kelahirannya, Islam tumbuh dan berkembang dalam suatu kondisi yang tidak hampa budaya. Realitas kehidupan ini –diakui atau tidak—memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengantarkan Islam menuju perkembangannya yang aktual sehingga sampai pada suatu peradaban yang mewakili dan diakui okeh masyarakat dunia. Aktualisasi Islam dalam lintasan sejarah telah menjadikan Islam tidak dapat dilepaskan dari aspek lokalitas, mulai dari budaya Arab, Persi, Turki, India sampai Melayu. Masing-masing dengan karakteristiknya sendiri, tapi sekaligus mencerminkan nilai-nilai ketauhidan sebagai suatu unity sebagai benang merah yang mengikat secara kokoh satu sama lain. Islam sejarah yang beragam tapi satu ini merupakan penerjemahan Islam universal ke dalam realitas kehidupan umat manusia. Relasi antara Islam sebagai agama dengan adat dan budaya lokal  sangat jelas dalam kajian antropologi agama. Dalam perspektif ini diyakini, bahwa agama merupakan penjelmaan dari sistem budaya.[13] Berdasarkan teori ini, Islam sebagai agama samawi dianggap merupakan penjelmaan dari sistem budaya suatu masyarakat Muslim. Anggapan ini kemudian dikembangkan pada aspek-aspek ajaran Islam, termasuk aspek hukumnya. Para pakar antropologi dan sosiologi mendekati hukum Islam sebagai sebuah institusi kebudayaan Muslim. Pada konteks sekarang, pengkajian hukum dengan pendekatan sosiologis dan antrologis sudah dikembangkan oleh para ahli hukum Islam yang peduli terhadap nasib syari’ah. Dalam pandangan mereka, jika syari’ah tidak didekati secara sosio-historis, maka yang terjadi adalah pembakuan terhadap norma syariah yang sejatinya bersifat dinamis dan mengakomodasi perubahan masyarakat.[14] Islam sebagai agama, kebudayaan dan peradaban besar dunia sudah sejak awal masuk ke Indonesia pada abad ke-7 dan terus berkembang hingga kini. Ia telah memberi sumbangsih terhadap keanekaragaman kebudayaan nusantara. Islam tidak saja hadir dalam tradisi agung [great tradition] bahkan memperkaya pluralitas dengan islamisasi kebudaya andan pribumisasi Islam yang pada gilirannya banyak melahirkan tradisi-tardisi kecil [little tradition] Islam. Berbagai warna Islam –-dari Aceh, Melayu, Jawa, Sunda, Sasak, Bugis, dan lainnya—riuh rendah memberi corak tertentu keragaman, yang akibatnya dapat berwajah ambigu. Ambiguitas atau juga disebut ambivalensi adalah fungsi agama yang sudah diterima secara umum dari sudut pandang sosiologis. Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan suku Sasak. Seseorang baru dianggap sebagai warga penuh dari suatu masyarakat apabila ia telah berkeluarga. Dengan demikian ia akan memperoleh hak-hak dan kewajiban baik sebagai warga kelompok kerabat atau pun sebagai warga masyarakat. Sebagaimana perkawinan menurut Islam dikonsepsikan sebagai jalan mendapatkan kehidupan berpasang-pasangan, tenteram dan damai (mawaddah wa rahmat) sekaligus sebagai sarana pelanjutan generasi (mendapatkan keturunan), maka perkawinan bagi masyarakat Sasak juga memiliki makna yang sangat luas, bahkan menurut orang Sasak, perkawinan bukan hanya mempersatukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan saja, tetapi sekaligus mengandung arti untuk mempersatukan hubungan dua keluarga besar, yaitu kerabat pihak laki-laki dan kerabat pihak perempuan[15]. Berdasarkan tujuan besar tersebut, maka terdapat tiga macam perkawinan dalam masyarakat suku Sasak Lombok, yaitu: (1) perkawinan antara seorang pria dengan seorang perempuan dalam satu kadang waris yang disebut perkawinan betempuh pisa’ (misan dengan misan/cross cousin); (2) perkawinan antara pria dan perempuan yang mempunyai hubungan kadang jari (ikatan keluarga) disebut perkawinan sambung uwat benang (untuk memperkuat hubungan kekeluargaan); dan (3) perkawinan antara pihak laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan perkadangan (kekerabatan) disebut perkawinan pegaluh gumi (memperluas daerah/wilayah).[16] Dengan demikian, maka semakin jelas bahwa tujuan perkawinan menurut adat Sasak adalah untuk melanjutkan keturunan (penerus generasi), memperkokoh ikatan kekerabatan dan memperluas hubungan kekeluargaan. Selanjutnya, apabila membahas perkawinan suku Sasak, tidak bisa tidak membicarakan merari’, yaitu melarikan anak gadis untuk dijadikan istri. Merari’ sebagai ritual memulai perkawinan merupakan fenomena yang sangat unik, dan mungkin hanya dapat ditemui di masyarakat Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Begitu mendarah dagingnya tradisi ini dalam masyarakat, sehingga apabila ada orang yang ingin mengetahui status pernikahan seseorang, orang tersebut cukup bertanya apakah yang bersangkutan telah merari’ atau belum. Oleh karenanya tepat jika dikatakan bahwa merari’ merupakan hal yang sangat penting dalam perkawinan Sasak. Bahkan, meminta anak perempuan secara langsung kepada ayahnya untuk dinikahi tidak ada bedanya dengan meminta seekor ayam.

  1. E. Merariq dan Latar Sejarah Tradisinya

Dalam adat Sasak pernikahan sering disebut dengan merari’. Secara etimologis kata merari’ diambil dari kata “lari”, berlari. Merari’an berarti melai’ang artinya melarikan. Kawin lari, adalah sistem adat penikahan yang masih diterapkan di Lombok. Kawin lari dalam bahasa Sasak disebut merari’.[17] Secara terminologis, merari’ mengandung dua arti. Pertama, lari. Ini adalah arti yang sebenarnya. Kedua, keseluruhan pelaksanaan perkawinan menurut adat Sasak. Pelarian merupakan tindakan nyata untuk membebaskan gadis dari ikatan orang tua serta keluarganya.[18]. Berdasarkan informasi dari nara sumber tentang sejarah munculnya tradisi kawin lari (merari’) di pulau Lombok, paling tidak ada dua pandangan yang mengemuka, yaitu: Pertama, orisinalitas merari’. Kawin lari (merari’) dianggap sebagai budaya produk lokal dan merupakan ritual asli (genuine) dan leluhur masyarakat Sasak yang sudah dipraktikkan oleh masyarakat-sebelum datangnya kolonial Bali maupun kolonial Belanda. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak yang dipelopori oleh tokoh tokoh adat, di antaranya adalah H.Lalu Azhar, mantan wagub NTB dan kini ketua Masyarakat Adat Sasak (MAS); dan peneliti Belanda, Nieuwenhuyzen mendukung pandangan ini. Menurut Nieuwenhuyzen, sebagaimana dikutip Tim Depdikbud, banyak adat Sasak yang memiliki persamaan dengan adat suku Bali, tetapi kebiasaan atau adat, khususnya perkawinan Sasak, adalah adat Sasak yang sebenarnya.[19] Kedua, akulturasi merari’. Kawin lari (merari’) dianggap budaya produk impor dan bukan asli (ungenuine) dari leluhur masyarakat Sasak serta tidak dipraktikkan masyarakat sebelum datangnya kolonial Bali. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak dan dipelopori oleh tokoh agama, Pada tahun 1955 di Bengkel Lombok Barat,Tuan Guru Haji Saleh Hambali menghapus, kawin lari (merari’) karena dianggap manifestasi hinduisme Bali dan tidak sesuai dengan Islam. Hal yang sama dapat dijumpai di desa yang menjadi basis kegiatan Islam di Lombok, seperti Pancor, Kelayu, dan lain-lain. Menurut John Ryan Bartholomew, praktik kawin lari dipinjam dari budaya Bali. Analisis antropologis historis yang dilakukan Clifford Geertz dalam bukunya Internal Convention in Bali (1973), Hildred Geertz dalam, tulisannya An Anthropology of Religion and Magic (1975), dan James Boon dalam bukunya, The Anthropological Romance of Bali (1977), seperti dikutip Bartolomew,[20] memperkuat pandangan akulturasi budaya Bali dan Lombok dalam merari’. Solichin Salam menegaskan bahwa praktik kawin lari di Lombok merupakan pengaruh dari tradisi kasta dalam budaya Hindu Bali. Berdasarkan kedua argumen tentang sejarah kawin lari (merari’) di atas, tampak bahwa paham akulturasi merari’ memiliki tingkat akurasi lebih valid. Dalam konteks ini penulis lebih condong kepada pendapat kedua, yakni merari’ ini dilatarbelakangi oleh pengaruh adat hindu-Bali. Sebagai bagian dari rekayasa sosial budaya hindu-Bali terhadap suku Sasak, dalam suku Sasak dikenal adanya strata sosial yang disebut triwangsa. Strata sosial ini sudah jelas sama dengan pola hindu-Bali. Tradisi merari’ ini merupakan bagian dari kebudayaan. Kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Lombok tidak bisa lepas dari dikotomi kebudayaan nusantara. Ada dua aliran utama yang mempengaruhi kebudayaan nusantara, yaitu tradisi kebudayaan Jawa yang dipengaruhl oleh filsafat Hindu-Budha dan tradisi kebudayaan Islam. Kedua aliran kebudayaan itu Nampak jelas pada kebudayaan orang Lombok. Golongan pertama, di pusat-pusat kota Mataram dan Cakranegara, terdapat masyarakat orang Bali, penganut ajaran Hindu-Bali sebagai sinkretis Hindu-Budha.[21] Golongan kedua, sebagian besar dari penduduk Lombok, beragama Islam dan peri-kehidupan serta tatanan sosial budayanya dipengaruhi oleh agama tersebut. Mereka sebagian besar adalah orang Sasak.[22] Merari’ sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku pada suku Sasak di Lombok ini memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi masyarkat Sasak, merari’ berarti mempertahankan harga diri dan menggambarkan sikap kejantanan seorang pria Sasak, karena ia berhasil mengambil [melarikan] seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada isi lain, bagi orang tua gadis yang dilarikan juga cenderung enggan, kalau tidak dikatakan gengsi, untuk memberikan anaknya begitu saja jika diminta secara biasa [konvensional], karena mereka beranggapan bahwa anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga, jika diminta secara biasa, maka dianggap seperti meminta barang yang tidak berharga. Ada ungkapan yang biasa diucapkan dalam bahasa Sasak: Ara’m ngendeng anak manok baen [seperti meminta anak ayam saja].  Jadi dalam konteks ini, merari’ dipahami sebagai sebuah cara untuk melakukan prosesi pernikahan, di samping cara untuk keluar dari konflik.[23]

  1. F. Prinsip Dasar Tradisi Merari’

Upacara pernikahan merupakan satu siklus hidup yang kaya akan makna dan biasa dirayakan oleh hampir seluruh umat manusia, tak terkecuali juga di wilayah-wilayah Nusantara. Pun begitu dengan proses-proses menjelang berlangsungnya upacara akad nikah itu sendiri. Adakalanya, untuk beberapa kebudayaan, terutama di wilayah Nusantara, proses menuju terlaksananya sebuah perkawinan tidaklah sedatar yang dibayangkan, melainkan harus melewati beberapa tahapan yang begitu rumit namun sarat akan makna filosofis berdasarkan kearifan lokal dari daerah masing-masing. Bedasarkan penelitian M. Nur Yasin setidaknya ada empat prinsip dasar yang terkandung dalam praktik kawin lari (merari) di pulau Lombok.[24] Pertama, prestise keluarga perempuan. Kawin lari (merari’) dipahami dan diyakini sebagai bentuk kehormatan atas harkat dan martabat keluarga perempuan. Atas dasar keyakinan ini, seorang gadis yang dilarikan sama sekali tidak dianggap sebagai sebuah wanprestasi (pelanggaran sepihak) oleh keluarga lelaki atas keluarga perempuan, tetapi justru dianggap sebagai prestasi keluarga perempuan. Seorang gadis yang dilarikan merasa dianggap memiliki keistimewaan tertentu, sehingga menarik hati lelaki. Ada anggapan yang mengakar kuat dalam struktur memori dan mental masyarakat tertentu di Lombok bahwa dengan dilarikan berarti anak gadisnya memiliki nilai tawar ekonomis yang tinggi. Konsekuensinya, keluarga perempuan merasa terhina jika perkawinan gadisnya tidak dengan kawin lari (merari’). Kedua, superioritas, lelaki, inferioritas perempuan. Satu hal yang tak bisa dihindarkan dari sebuah kawin lari (merari’) adalah seseorang lelaki tampak sangat kuat, menguasai, dan mampu menjinakkan kondisi sosial psikologis calon istri.Terlepas apakah dilakukan atas dasar suka sama suka dan telah direncanakan sebelumnya maupun belum direncana-kan sebelumnya, kawin lari (merari’) tetap memberikan legitimasi yang kuat atas superioritas lelaki. Pada sisi lain menggambarkan sikap inferioritas, yakni ketidakberdayaan kaum perempuan atas segala tindakan yang dialaminya. Kesemarakan kawin lari (merari’) memperoleh kontribusi yang besar dari sikap sikap yang muncul dari kaum perempuan berupa rasa pasrah atau,bahkan menikmati suasana inferioritas tersebut. Ketiga, egalitarianisme. Terjadinya kawin lari (merari’) menimbulkan rasa kebersamaan (egalitarian) di kalangan seluruh keluarga perempuan. Tidak hanya bapak, ibu, kakak, dan adik sang gadis, tetapi paman, bibi, dan seluruh sanak saudara dan handai taulan ikut terdorong sentimen keluarganya untuk ikut menuntaskan keberlanjutan kawin lari (merari’). Kebersamaan melibatkan komunitas besar masyarakat di lingkungan setempat. Proses penuntasan kawin lari (merari’) tidak selalu berakhir dengan dilakukannya pernikahan, melainkan adakalanya berakhir dengan tidak terjadi pernikahan, karena tidak ada kesepakatan antara pihak keluarga calon suami dengan keluarga calon istri. Berbagai ritual, seperti mesejah, mbaitwah, sorongserah, dan sebagainya merupakan bukti konkrit kuatnya kebersamaan di antara keluarga dan komponen masyarakat. Keempat, komersial. Terjadinya kawin lari hampir selalu berlanjut ke proses tawar menawar pisuke. Proses nego berkaitan dengan besaran pisuke yang biasanya dilakukan dalam acara mbait wali[25] sangat kental dengan nuansa bisnis. Apapun alasannya, pertimbangan-pertimbangan dari aspek ekonomi yang paling kuat dan dominan sepanjang acara mbait wali. Ada indikasi kuat bahwa orang tua telah merasa telah membesarkan anak gadisnya sejak kecil hingga dewasa. Untuk semua usaha tersebut telah menghabiskan dana yang tidak sedikit. Sebagai akibatnya muncul sikap dari orang tua yang ingin agar biaya membesarkan anak gadisnya tersebut memperoleh ganti dari calon menantunya[26]. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan tingkat sosial anak dan orang tua semakin tinggi pula nilai tawar sang gadis. Sebaliknya, semakin rendah tingkat sosial dan tingkat pendidikan anak serta orang tua semakin rendah pula nilai ekonomis yang ditawarkan. Komersialisasi kawin lari tampak kuat dan tertuntut untuk selalu dilaksanakan apabila suami istri yang menikah sama sama berasal dari suku Sasak. Jika salah satu di antara calon suami istri berasal dari luar suku Sasak, ada kecenderungan bahwa tuntutan dilaksanakannya komersialisasi agak melemah. Hal ini terjadi karena ternyata ada dialog peradaban, adat, dan budaya antara nilai nilai yang dipegangi masyarakat Sasak dengan nilai nilai yang dipegangi oleh masyarakat luar Sasak. Kontak dialogis budaya dan peradaban yang kemudian menghasilkan kompromi tersebut sama sekali tidak menggambarkan inferioritas budaya Sasak, tetapi justru sebaliknya, budaya dan peradaban Sasak memiliki kesiapan untuk berdampingan dengan budaya dan peradaban luar Sasak. Sikap ini menunjukkan adanya keterbukaan masyarakat Sasak bahwa mulai kebaikan dan kebenaran dari manapun asal dan datangnya bisa dipahami dan bahkan diimplementasikan oleh masyarakat Sasak.

  1. G. Sisi Positif Tradisi Merari’

Sikap “heroik” (kepahlawanan) merupakan salah satu alasan mengapa tradisi melarikan (melaian) dipertahankan dalam perkawinan dengan kekuatan adat di Lombok. Sikap demikian menurut masyarakat Lombok merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan apabila berkeinginan untuk membina rumah tangga dengan calon mempelai perempuan yang sudah diidam-idamkan. Dari sisi spirit “heroisme” tersebut sesungguhnya memiliki relevansi yang sangat erat dengan ajaran Islam. Islam senantiasa mengajarkan agar dua pihak yang ingin menikah hendaklah didasari oleh perasaan yang kuat untuk saling memiliki. Hanya saja perasaan tersebut tidak harus ditunjukkan dengan cara melarikan gadis sebagai calon isteri. Bandingkan dengan beberapa ayat atau hadis yang berkaitan dengan anjuran menikah. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa: “Manistatha’a min kum al-ba’at fa al-yatazawwaj” (Barang siapa yang telah mampu untuk menunai-kan nafkah kepada calon isterinya, maka hendaklah menikah).[27] Mampu di sini diartikan mampu lahir maupun bathin, maka hendaklah mengajak calon isterinya menikah dengan cara yang diajarkan oleh Islam, yakni calon mempelai perempuan). Dalam Qs. al-Nisa (4): 4 disebutkan bahwa: ”Berikanlah  maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” Ayat ini dapat pula dianggap sebagai tanda kesiapan seorang calon suami untuk menikahi seorang perempuan. Sekali lagi kesiapan atau keberanian untuk menikah daiam Islam harus dilakukan dengan sikap yang mencerminkan kesiapan mental maupun material, bukan sikap berani melarikan anak perempuan orang lain hanya karena merasa mampu melarikan perempuan tanpa sepengetahuan keluarganya. Tradisi adat Sasak Lombok ini sebenarnya sudah banyak yang paralel dengan ajaran Islam, seperti soal pisuke dan nyongkolan.  Pisuke[28] sesuai dengan namanya tidak boleh ada unsur pemaksaan, tetapi harus ada kerelaan keluarga kedua belah pihak. Menurut Muslihun[29] Pemberian pisuka (bisa uang atau barang) sebagai sebuah tradisi dalam adat Sasak merupakan suatu keniscayaan dalam sebuah perkawinan. Penyerahan pisuka ini bahkan termasuk salah satu tahapan yang harus dilaksanakan dalam proses terlaksananya sebuah perkawinan dalam budaya Sasak Demikian juga.acara nyongkolan[30] merupakan sarana pengumuman dan silaturrahmi sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad  SAW. Hanya saja dalam kasus tertentu terjadi penyelewenagn oleh oknum  pada  acara nyongkolan yang  menyebabkan terjadinya perkelaian, mabuk-mabukan dengan minuman keras dan meninggalkan sholat, maka perilaku inilah yang perlu dihindari dalam praktek nyongkolan. Singkatnya, orang Sasak lah yang banyak melanggar aturan/adat Sasak itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari substansi buku yang ditulis oleh Gde Suparman.[14] Saat ini ada beberapa parktek adat yang telah mengalami metamorfosa dan perubahan paradigma di masyarakat Sasak tentang perspektif merari’ ini setelah mendalami ajaran agama Islam dan fenomena perkawinan adat lain di Indonesia seperti yang terjadi di Jawa dan Pulau Sumbawa. Perubahan ini memang tidak bisa secara sekaligus, tetapi secara bertahap, dan dimulai oleh warga Sasak yang berpendidikan dan memiliki pengalaman di daerah lain.

  1. H. Tahapan-tahapan dalam Proses Merarik/Menikah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun