Mohon tunggu...
Jasmansyah, M.Pd
Jasmansyah, M.Pd Mohon Tunggu... -

Jasmansyah, M.Pd., seorang guru Bahasa Inggris di SMAN 1 Cibadak Sukabumi (RSBI), Dosen di beberapa perguruan Tinggi di Sukabumi, Penulis, Blogger, dll. Sekarang sebagai: Ketua DPD IGI Sukabumi Jawa Barat, Ketua MGMP Bhs. Inggris SMA Kab. Sukabumi Jabar. Website: http://jasmansyah.co.cc, Email: jasmansyah@yahoo.co.id. \r\nhttp://igisukabumi.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi Merarik (Menikah) dalam Adat Sasak Lombok dalam Perspektif Gender

29 Januari 2015   23:07 Diperbarui: 4 April 2017   16:13 4436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Muslihun, M.Ag ditemukan bahwa dalam adat perkawinan Sasak dikenal ada delapan tahapan yang harus dilewati. Pertama, midang (meminang). Termasuk bagian dari midang ini adalah ngujang (ngunjungi pacar di luar rumah), dan bejambe’ atau mereweh (pemberian barang kepada calon perempuan untuk memperkuat hubungan). Kedua, pihak laki-laki harus mencuri (melarikan) penganten perempuan. Hal ini dilakukan untuk menjaga martabat (harga diri) keluarga. Ada tradisi hidup adat Sasak yang beranggapan bahwa “memberikan perempuan kepada laki-laki tanpa proses mencuri itu sama halnya dengan memberikan telur atau seekor ayam”. Ketiga, pihak laki-laki harus melaporkan kejadian kawin lari itu kepada kepala dusun tempat pengantin perempuan tersebut tinggal, yang dikenal dengan istilah selabar (nyelabar). Kemudian utusan laki-laki memberitahukan langsung kepada keluarga pihak perempuan tentang kebenaran terjadinya perkawinan itu yang biasa dikenal dengan mesejati. Agar perkawinan itu bisa terlaksana menurut hukum Islam, keluarga pengantin laki-laki melakukan tradisi mbait wali, yakni permintaan keluarga laki-laki supaya wali dari pihak perempuan menikahkan anaknya dengan cara Islam. Selabar, mesejati dan mbait wali merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, sebab dengan tiga proses ini perkawinan baru dapat dilaksanakan secara Islam. Dalam proses mbait wali ini dilakukan pembicaraan (tawar-menawar) uang pisuka (jaminan) dan mahar (maskawin). Keempat, pelunasan uang jaminan dan mahar. Pihak laki-laki dituntut untuk membayar uang jaminan kepada pihak keluarga perempuan. Jika pihak laki-laki tidak dapat memberikan uang jaminan, dapat dipastikan perkawinan akan gagal. Kelima, setelah pelunasan pembayaran uang jaminan, barulah dilakukan akad nikah dengan cara Islam. Keenam, sorong doe atau sorong serah, yakni acara pesta perkawinan atau resepsi pernikahan pada waktu orang tua si gadis akan kedatangan keluarga besar mempelai laki-laki, yang semua biayanya menjadi tanggung-jawab pihak laki-laki. Ketujuh, nyondolan, yaitu mengantarkan kembali pihak perempuan pada pihak keluarganya. Biasanya dalam acara ini pasangan pengantin diarak keliling kampung dengan berjalan kaki diiringi musik tradisional (gendang belek dan kecimol). Secara lebih sederhana, kedelapan prosesi itu dapat dikelompokkan menjadi empat, yakni proses perkenalan (midang, beberayean atau bekemelean, subandar), lari bersama untuk kawin (melaiang atau merari’, sejati, selabar), dan akad nikah dan proses penyelesaiannya (ngawinang, sorong serah, pembayun, nyongkolan, dan bales nae). Jika dilihat dari acara adat Sasak, prosesi perkawinan tersebut dapat juga dibagi menjadi tiga, yakni adat sebelum perkawinan (midang, ngujang, bejambe’ atau mereweh, dan subandar), adat dalam proses perkawinan (memulang atau melarikan, sejati atau pemberitahuan, pemuput selabar, sorong doe atau sorong serah, dan nyongkol), dan adat setelah perkawinan (bales nae) [31].

  1. I. Tradisi Merari’ dalam Perspektif Gender: Meninggikan atau Menurunkan Derajat Perempuan?

Sikap “heroik” (kepahlawanan) merupakan salah satu alasan mengapa tradisi melarikan (melaian) dipertahankan dalam perkawinan dengan kekuatan adat di Lombok. Sikap demikian menurut masyarakat Lombok merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan apabila berkeinginan untuk membina rumah tangga dengan calon mempelai perempuan yang sudah diidam-idamkan. Dari sisi spirit “heroisme” tersebut sesungguhnya memiliki relevansi yang sangat erat dengan ajaran Islam. Islam senantiasa mengajarkan agar dua pihak yang ingin menikah hendaklah didasari oleh perasaan yang kuat untuk saling memiliki. Hanya saja perasaan tersebut tidak harus ditunjukkan dengan cara melarikan gadis sebagai calon isteri. Bandingkan dengan beberapa ayat atau hadis yang berkaitan dengan anjuran menikah. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa: “Manistatha’a min kum al-ba’at fa al-yatazawwaj” (Barang siapa yang telah mampu untuk menunai-kan nafkah kepada calon isterinya, maka hendaklah menikah)[32]. Mampu di sini diartikan mampu lahir maupun bathin, maka hendaklah mengajak calon isterinya menikah dengan cara yang diajarkan oleh Islam, yakni calon mempelai perempuan). Dalam Qs. al-Nisa (4): 4 disebutkan bahwa: ”Berikanlah  maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” Ayat ini dapat pula dianggap sebagai tanda kesiapan seorang calon suami untuk menikahi seorang perempuan. Sekali lagi kesiapan atau keberanian untuk menikah daiam Islam harus dilakukan dengan sikap yang mencerminkan kesiapan mental maupun material, bukan sikap berani melarikan anak perempuan orang lain hanya karena merasa mampu melarikan perempuan tanpa sepengetahuan keluarganya. Proses kawin lari dalam tradisi masyarakat sasak sebagai perwujudan tingginya posisi peran perempaun dalam masyarakat. Proses pernikahan dengan meminta ijin terlebih dahulu, diyakini oleh masyarakat sasak sebagai bentuk pelecehan terhdapt pihak keluarga perempuan. Karena yang bisa diminta hanya benda/barang, sedangkan menusia (perempuan) harus didapat dengan perjuangan yang keras, bahkan tak sedikit yang menumpahkan darah. Proses ini dipercaya sebagai bagian terpenting untuk menguji komitmen kesungguhan pihak penganten laki-laki kepada sang gadis. Untuk mendapatkan wanita idamannya harus berjuang mati-matian bahkan sampai ke titik darah penghabisan[33]. Tradisi adat Sasak Lombok ini sebenarnya sudah banyak yang paralel dengan ajaran Islam, seperti soal pisuke dan nyongkolan.  Pisuke sesuai dengan namanya tidak boleh ada unsur pemaksaan, tetapi harus ada kerelaan keluarga kedua belah pihak. Pemberian pisuke dalam budaya sasak bukan berarti memperjualbelikan anak perempuan. Namun, pemberian uang/barang pisuke lebih dimaknai sebagai penghargaan atas jerih payah yang dilakukan oleh keluarga sang gadis dalam membesarkan dan mendidiknya selama puluhan tahun, hingga dewasa dan siap dinikahkan. Selain itu, diharapkan dengan adanya tradisi pemberian pisuke akanmengurangi kebiasaan pria untuk melakukan kawin cerai, yang dampak negatifnya banyak tertumpu kepada pihak perempuan. Dengan adanya tradisi tersebut, nantinya bisa menjadi pemikiran dan pertimbangan jika suatu saat sang pria hendak menceraikan istrinya[34]. Demikian juga acara nyongkolan merupakan sarana pengumuman dan silaturrahmi sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw. Hanya saja dalam kasus tertentu terjadi penyelewenagn oleh oknum  pada  acara nyongkolan yang  menyebabkan terjadinya perkelaian, mabuk-mabukan dengan minuman keras dan meninggalkan sholat, maka perilaku inilah yang perlu dihindari dalam praktek nyongkolan. Singkatnya, orang Sasak lah yang banyak melanggar aturan/adat Sasak itu sendiri. Filosofi dari tradisi nyongkolan adalah mengantar kembali pulang mempelai perempuan kepada pihak keluarganya, stelah beberapa hari atau bahkan ada yang sampai 1 bulanan,  yang diiringi oleh ratusan bahkan ribuan masyarakat, termasuk iringan-iringin musik tradisional khas daerah Lombok. Hal ini menujukkan bahwa sang perempuan adalah pihak yang harus dihormati dan dijunjung tinggi kodratnya. Dengan demikian, baik mempelai perempuan maupun pihak keluarganya merasa dihargai dan dihormati, mengingat tradisi ini biasanya diikuti dengan prmohonan maaf dari pihak mempelai laki-laki kepada sang istri dan juga keluarganya. Saat ini ada beberapa parktek adat yang telah mengalami metamorfosa dan perubahan paradigma di masyarakat Sasak tentang perspektif merari’ ini setelah mendalami ajaran agama Islam dan fenomena perkawinan adat lain di Indonesia seperti yang terjadi di Jawa dan Pulau Sumbawa. Perubahan ini memang tidak bisa secara sekaligus, tetapi secara bertahap, dan dimulai oleh warga Sasak yang berpendidikan dan memiliki pengalaman di daerah lain.

BAB III

KESIMPULAN & SARAN

  1. A. Simpulan

Dari uraian yang cukup panjang pada bab I dan II dari makalah ini, penulis akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan, antara lain :

  1. Pernikahan adalah suatu hal yang sangat sakral dan merupakan perintah Allah SWT dan sunnah nabi Muhammad SAW yang harus dilakukan oleh semua orang, jika sudah memenuhi syarat yang ditentukan, baik dalam hukum Islam maupun hukum negara;
  2. Indonesia yang terdiri dari berbagai ragam budaya, etnis, suku, bahasa, agama dll meniscayakan akan adanya praktek tradisi/budaya dalam berbagai rutinitas kehidupan sehari-hari, termauk dalam bidang pernikahan;
  3. Di berbagai daerah di Indonesia, banyak sekali tradisi (khususnya dalam pernikahan) yang terpraktekkan saat prosesi pernikahan berlangsung, yang tentunya memiliki makna dan histori sendiri dalam kehidupan masyarakat;
  4. Dalam konteks Indonesia, proses pernikahan adalah merupakan suatu momen yang sangat strategis untuk mengumpulkan semua keluarga, sahabat, teman untuk mendoaakan keluarga yang sedang berbahagia melihat putra/putrinya yang hendak memulai kehidupan baru;
  5. Praktek tradisi dan budaya sejatinya tidak bertentangan dengan dalil-dalil naqli, dna disesuaikan dengan kondisi dan situasinya;
  6. Dalam masyarakat sasak, tradisi merarik/kawin dengan cara mencuri/melarikan sang gadis dari rumahnya ke rumah keluarga calon calon mempelai pria adalah suatu tradisi yang sudah mengakar dan sudah menjadi kebiasaan serta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku;
  7. Prosesi Merarik dengan serentetan tradisi yang mengiringinya adalah bentuk pelestarian budaya lokal yang menjadi ciri khas suku Sasak-Lombok, sekaligus sebagai penghargaan kepada calon mempelai perempuan dan keluarganya;
  8. Kekurangan dan kelebihan pasti ada dalam berbagai hal, kiranya tradisi ini dapat dipertahankan sebagai bagian dari budaya dan tradisi masyarakat Lombok, sehingga tradisi ini akan terus terwariskan kepada generasi penerus.

Sumber Pustaka

Abdullah Nasikh Ulwan, Perkawinan: Masalah orang muda, orang tua dan negara, Gema Insani Press, Cet. 6 thn. 2000, hlm. 11-12. Bassam Tibbi, Islam and Cultutral Accommodation of Social Change , [San Francisco: Westview Pres, 1991], h. 1 C. Kluckhohn dalam Universal Catagories of  Culture, 1953 Faqihuddin AK, Hadits and Gender Justice: Understanding the Prophetic Traditions. 2007. Cirebon, Fahmina Institute. Fath. Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram, (Mataram: Yayasan Sumurmas Al-Hamidy, 1998), h. 10-11 Gede Suparman, Dulangl, Perkawinan, (Mataram: Lembaga Pembakuan dan Penyebaran Adat Sasak, 1995) dan bukunya, Titi Tata Adat Perkawinan Sasak, Kepembayunan Lan Candrasengkala (Mataram: Lembaga Pembukuan dan Penyebaran Adat Sasak Mataram Lombok, 1988). Harsojo, Pengantar Antropologi, Bandung: Binacipta, 1988, hal. 93 Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Ha Nihayah al-Muqtashid, (Semarang: Usaha Keluarga, tt.), Jilid II, h. 2. John Ryan Bartholemew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 203 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Rineka Cipta, 2009, hal. 165 Muslihun, Pergeseran Pemaknaan Pisuka/Gantiran dalam Budaya Merari'-Sasak Lombok, dalam www.dualmode.kemenag.go.id/acis10/file/dokumen/3.Muslihun.pdf, diakses 25 Mei 2013. Nina Nurmila, Pendidikan Gender, Panduan Perkuliahan pada Prodi S.3 Pendidikan Islam Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2013. Hlm. 83-96. Ringkasan transkrip wawancara penulis dengan tokoh adat sasak, yang juga peneliti dalam bidang ini, yaitu sdr. Musihun, M.Ag, 25 Mei 2013. Purwadarminta, 1976, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. 1976. M. Arief Dj., Perlindungan Perempuan dalam Pernikahan Poligami, Makalah pada diskusi kelas mata kuliah Pend.  Gender, 31 Mei 2013. Hlm. 1 M. Nur Yasin, “Kontekstualisasi Doktrin Tradisional Di Tengah Modernisasi Hukum Nasional: Studi tentang Kawin Lari (Merari’) di Pulau Lombok”, Jurnal Istinbath No. I Vol. IV Desember 2006, h. 73-75. M. Harfin Zuhdi, Ttradisi merari’: Akulturasi Islam dan Budaya Lokal, tersedia dihttp://imsakjakarta.wordpress.com. Tim Departemen Pendidikan  dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Barat (Jakarta: Depdikbud, 1995), h. 33. http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_dalam_Islam http:/www.hukum.unsrat.ac.id/pres/inpres_1_1991.pdf www.kemenag.go.id/file/dokumen/UU2246.pdf Wawancara dengan Lalu Gde Suparman, Budayawan Sasak; hal senada juga dikatakan oleh nara sumber lain, seperti Lalu Agus Fathurrahman [1] Abdullah Nasikh Ulwan, Perkawinan: Masalah orang muda, orang tua dan negara, Gema Insani Press, Cet. 6 thn. 2000, hlm. 11-12. [2] Purwadarminta, 1976, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. 1976. [3] M. Arief Dj., Perlindungan Perempuan dalam Pernikahan Poligami, Makalah pada diskusi kelas mata kuliah Pend.  Gender, 31 Mei 2013. Hlm. 1 [4] John Ryan Bartholemew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 203 [5] Faqihuddin AK, Hadits and Gender Justice: Understanding the Prophetic Traditions. 2007. Cirebon, Fahmina Institute. [6] http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_dalam_Islam [7]http:/www.hukum.unsrat.ac.id/pres/inpres_1_1991.pdf [8] Pendidikan Gender, Panduan Perkuliahan pada Prodi S.3 Pendidikan Islam Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2013. Hlm. 83-96. [9] www.kemenag.go.id/file/dokumen/UU2246.pdf [10] Harsojo, Pengantar Antropologi, Bandung: Binacipta, 1988, hal. 93 [11] C. Kluckhohn dalam Universal Catagories of  Culture, 1953 [12] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Rineka Cipta, 2009, hal. 165 [13] Bassam Tibbi, Islam and Cultutral Accommodation of Social Change , [San Francisco: Westview Pres, 1991], h. 1 [14] Aziz al- Azmeh [ed.], Islamic Law: Social and Historical Contexts, [tp., 1988], h. viii. [15] M. Harfin Zuhdi, Ttradisi merari’: akulturasi islam dan budaya lokal, tersedian dihttp://imsakjakarta.wordpress.com. [16] Wawancara dengan Lalu Gde Suparman, Budayawan Sasak; hal senada juga dikatakan oleh nara sumber lain, seperti Lalu Agus Fathurrahman [17] Solichin Salam, Lombok Pulau Perawan: Sejaroh dan Masa Depannya (Jakarta: Kuning Mas, 1992), h. 22. [18] Tim Departemen Pendidikan  dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Barat (Jakarta: Depdikbud, 1995), h. 33. [19] Ibid, h. 11 [20] John Ryan Bartholemew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 203. [21] Fath. Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram, (Mataram: Yayasan Sumurmas Al-Hamidy, 1998), h. 10-11 [22] Ibid. [23] Keluar dari konflik, biasanya dipahami dalam konteks ketika orang tua wanita menghalangi keinginan antara seorang laki-laki dan wanita yang ingin melakukan perkawinan. Wawancara dengan Husni Muaz, dan Idrus Abdullah, dosen Universitas Mataram Mataram. [24] M. Nur Yasin, “Kontekstualisasi Doktrin Tradisional Di Tengah Modernisasi Hukum Nasional: Studi tentang Kawin Lari (Merari’) di Pulau Lombok”, Jurnal Istinbath No. I Vol. IV Desember 2006, h. 73-75. [25] Proses meminta ijin kepada wali nikah oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan, dalam hal ini orang tua/wali nikah dari sang calon mempelai. [26] Wawancara dengan ibu rumah tangga, Ms. Tika yang memiiki anak perempuan yang sudah menikah, wawancara by phone 22 Mei 2013. [27]Gde Suparman, Dulangl, Perkawinan, (Mataram: Lembaga Pembakuan dan Penyebaran Adat Sasak, 1995) dan bukunya, Titi Tata Adat Perkawinan Sasak, Kepembayunan Lan Candrasengkala (Mataram: Lembaga Pembukuan dan Penyebaran Adat Sasak Mataram Lombok, 1988). [28]Uang atau Barang  yang diberikan pihak keluarga laki-laki kepada perempuan sebelum proses akad, sebagai bagian dari penghargaan keluarga mempelai laki-laki kepada keluarga perempuan yang sudah dengan susah payah mendidik dan membesarkannya sampai aqil baliq dan menikah. [29]Muslihun, Pergeseran Pemaknaan Pisuka/Gantiran dalam Budaya Merari'-Sasak Lombok, dalam www.dualmode.kemenag.go.id/acis10/file/dokumen/3.Muslihun.pdf, diakses 25 Mei 2013. [30]Tradisi mengantar mempelai perempaun kepada pihak keluarga setelah beberapa saat dilarikan ke rumah pihak keluarga mempelai laki-laki. Tradisi ini biasanya melibatkan banyak orang (ratusan hingga ribuan orang) yang menggunakan pakaian adat sasak Lombok, sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan pihak keluarga mempelai laki-laki kepada keluarga mempelai perempuan, sekaligus diikuti dengan tradisi minta maaf pengantin laki-laki dan juga pengantin perempuan atas dosa dan kesalahannya selama ini, khususnya saat mencari / melarikan mempelai perempaun. Tradisi ini juga biasanya diiringi dengan musik-musik dan tarian tradisional khas sasak-Lombok. [31] Muslihun, Pergeseran Pemaknaan Pisuka/Gantiran dalam Budaya Merari'-Sasak Lombok, dalam www.dualmode.kemenag.go.id/acis10/file/dokumen/3.Muslihun.pdf, diakses 25 Mei 2013. [32] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Ha Nihayah al-Muqtashid, (Semarang: Usaha Keluarga, tt.), Jilid II, h. 2.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun