Mohon tunggu...
Jarot Doso
Jarot Doso Mohon Tunggu... lainnya -

Lahir di Sragen, Jawa Tengah. Setamat SMA Muhammadiyah 1 (Muhi) Yogyakarta, kuliah di Fisipol UGM. Pernah bekerja sebagai wartawan dan staf ahli DPR . Silakan mengutip atau memperbanyak tulisan saya, dengan menyebutkan penulis serta sumbernya. Terimakasih.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi dan Kuasa Uang

2 Mei 2010   19:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:27 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasilnya, orang-orang pun seolah tak peduli lagi memilih atau masuk partai apa, yang penting dengan uangnya ia bisa menjadi anggota legislatif, kepala daerah, atau presiden. Dalam kondisi ini, partai hanya menjadi kendaraan politik bagi para kandidat dan sekadar menjalankan fungsi sebagai broker politik atau makelar jabatan.

Implikasinya, setelah meraih posisi yang diinginkan, seorang pejabat publik kerap tidak lagi peduli kepada ideologi atau platform partai pendukungnya. Bahkan mereka tidak segan-segan menyeberang ke partai berbeda. Toh sebagai pejabat yang tengah berkuasa atau incumbent, jika ia ingin maju lagi dalam kompetisi politik berikutnya, bisa saja mendompleng partai lainnya. Syarat merangkul partai lain ini pun relatif mudah: cukup menyediakan “mahar” sekian miliar.

Maka, yang memenuhi benak pejabat tadi ialah: bagaimana memaksimalkan potensi kedudukannya demi mengembalikan modal, seraya menyiapkan dana “mahar” untuk maju pada periode mendatang. Bahkan, seperti saudagar, ia bukan saja mengupayakan kembali modal dan bisa menabung “mahar”, melainkan bisa pula meraih laba dari modal yang ditanamnya. Janji-janji kepada konstituen, atau komitmen ideologis, pada akhirnya hanya menjadi instrumen untuk berkuasa belaka.

Kiranya inilah yang menjelaskan, mengapa muncul fenomena korupsi berjamaah para politisi di daerah. Juga maraknya korupsi para kepala daerah dan begitu dominannya kuasa uang dalam proses politik di lembaga legislatif di tingkat pusat. Sebab, ketika ideologi tidak ada lagi atau tak dijadikan acuan, yang mengedepan ialah urusan perut belaka: pragmatisme dan egoisme pribadi. Sikap politisi atau pejabat politik pun tergantung kepentingan pribadinya, atau siapa yang bisa membayarnya, bukan apa ideologinya atau siapa pemilihnya.

Dalam konteks ini, sejatinya masih lebih terhormat sikap politisi tempo doeloe –yang secara naif sering ngotot memperjuangkan ideologinya— daripada para politisi yang acuannya hanya uang atau vested interest (kepentingan pribadi) sesaat. Sebab, yang pertama lebih tegas posisioningnya dan tak bisa dibeli, sedangkan yang kedua bisa disebut melacurkan diri, dan karena itu, bisa dibeli oleh siapapun asal berkantong tebal.

Back to Ideology Guna mengatasi persoalan di atas, salah satu solusi yang bisa ditawarkan ialah: partai-partai memiliki urgensi untuk melakukan reideologisasi ke dalam internal kader atau organnya masing-masing. Namun, agar tak mengulang kesalahan era Orde Lama, hendaknya reideologisasi tidak lagi menyoal posisi Pancasila.

Pancasila sebagai ideologi negara sudah final, seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Sedangkan Pembukaan UUD 1945 adalah prinsip dasar bernegara yang tak bisa kita ubah. Mengubah Pembukaan UUD 1945, yang memuat suasana batin proklamasi 17 Agustus 1945, sama saja hendak merobohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sebagai implikasinya, mestinya juga tidak ada lagi partai yang mempolitisasi Pancasila, misalnya dengan mengklaim seolah-olah hanya kelompoknya sendiri yang akan mempertahankan Pancasila, namun dengan maksud tersembunyi hendak menyerang partai lain sebagai kurang atau tidak Pancasilais. Klaim-klaim demikian tidak relevan lagi jika diletakkan dalam konteks bahwa Pancasila sebagai ideologi bersama sudah bersifat final dan diterima oleh semua kelompok.

Karena itu, reideologisasi idealnya hanya bermain pada tataran sejauhmana partai-partai akan mengimplementasikan tujuan negara sesuai visi dan misi masing-masing. Dalam posisi ini, ideologi partai hanyalah aksentuasi salah satu atau semua aspek tujuan bernegara dilihat dari sudut visi dan misi partai. Dengan kata lain, kompetisi antarpartai adalah dalam level implementasi Pancasila.

Pancasila sendiri harus didudukkan sebagai ideologi negara yang berfungsi sebagai pemersatu atau –meminjam istilah Cak Nur (Nurcholish Madjid) – common denominator (titik temu) di antara ideologi partai yang beragam. Mengklaim Pancasila sebagai hanya milik partai tertentu justru mereduksi posisi Pancasila sebagai ideologi pemersatu ini.

Selayaknya hanya TNI, Polri, aparat birokrasi, dan lembaga-lembaga negara yang tidak partisan, yang secara etis bisa mengklaim berideologi Pancasila. Sedangkan jika partai-partai melakukan klaim atas Pancasila, dikhawatirkan sekadar melakukan politisasi atas Pancasila. Seperti PKI pernah merebut kata “rakyat” dan Masyumi merebut kata “umat”: dua kata yang sebetulnya milik bersama seluruh bangsa. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun