Mohon tunggu...
Jarot Doso
Jarot Doso Mohon Tunggu... lainnya -

Lahir di Sragen, Jawa Tengah. Setamat SMA Muhammadiyah 1 (Muhi) Yogyakarta, kuliah di Fisipol UGM. Pernah bekerja sebagai wartawan dan staf ahli DPR . Silakan mengutip atau memperbanyak tulisan saya, dengan menyebutkan penulis serta sumbernya. Terimakasih.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi dan Kuasa Uang

2 Mei 2010   19:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:27 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_131664" align="alignleft" width="297" caption="(foto: matanews.com)"][/caption]

APAKAH praktik demokrasi yang didominasi kuasa uang kita biarkan begini terus? “Tidak”, jawab teman saya, “cepat atau lambat harus diubah.” Tapi, mungkinkah praktik seperti ini dibenahi? “Masih mungkin, tapi tidak sekarang. Butuh minimal segenerasi setelah kita,” jawab kawan lainnya. Inilah sepenggal obrolan beberapa rekan mantan aktivis mahasiswa yang kini bekerja sebagai staf ahli di DPR.

Obrolan itu menggambarkan, betapa risaunya kami melihat praktik berdemokrasi di negeri ini yang sangat ditentukan arahnya oleh kuasa uang. Tampaknya jika zaman Orde Lama berlaku slogan politik adalah panglima, dan era Orde Baru ekonomi sebagai panglima, maka sejak reformasi slogannya: uang sebagai panglima.

Dan sedihnya, fenomena itu berlaku sejak tingkat kampung hingga pusat. Di daerah saya di Jawa Tengah, untuk menjadi modin (semacam penghulu) yang dipilih Badan Perwakilan Desa (BPD) saja butuh sekitar Rp 100 juta. Dana ini untuk menyogok para anggota BPD dan menyumbang kas RT (Rukun Tetangga) di seantero desa itu. Jika ingin maju sebagai kepala desa perlu setidaknya setengah milyar rupiah, antara lain guna memuluskan proses administrasi, membayar tim sukses, dan dibagikan kepada calon pemilih.

Ini berlanjut terus, sampai ke kabupaten dan provinsi. Walhasil bisa dibuat hipotesis: kian tinggi jabatan publik diperebutkan, makin tinggi pula uang yang dibutuhkan buat meraihnya. Untuk membiayai kampanye caleg hingga terpilih sebagai anggota DPR saja minimal butuh Rp 2 milyar. Ongkos ini semakin tinggi untuk jabatan eksekutif, seperti walikota atau bupati. Untuk memenangkan pemilihan kepala daerah di salah satu kabupaten di Jawa Tengah, misalnya, perlu Rp 100 milyar. Belum lagi untuk menjadi gubernur atau presiden. Proses bargaining politik di DPR atau DPRD juga tak lepas dari belitan kuasa uang.

Mungkinkah proses yang sangat “beruang” tadi menjamin munculnya pemimpin atau pejabat publik yang konsisten berkhidmat pada kepentingan rakyat? Saya sendiri, jujur saja, ragu. Apalagi fakta menjawabnya: Siapa pun yang berkuasa, rakyat cenderung menuai kecewa. Janji-janji tak pernah ditepati, dan politik sekadar arena politicking demi meraih konsesi sesaat semata.

Apa yang salah, sehingga demokratisasi justru berimplikasi pada begitu hegemoniknya kuasa uang? Apa pula yang bisa dilakukan untuk membenahinya?

Deideologisasi Orde Baru

Terlepas apa pun ideologinya, ada yang patut dikagumi pada tokoh politik tempo doeloe atau era Orde Lama. Mereka rata-rata sederhana kehidupannya, tapi amat heroik memperjuangkan kepentingan rakyat, sesuai frame ideologinya masing-masing. Meski komitmen ideologis ini kadang terasa berlebihan, karena menyentuh pula upaya mengajukan dasar negara alternatif, sehingga berakibat proses politik buntu dan mengancam integrasi bangsa.

Fenomena over-ideologi itu mendorong adanya upaya deparpolisasi pada masa akhir Soekarno dan berlanjut deideologisasi pada era Soeharto. Deideologisasi menjadikan aspek ideologi seakan tidak penting lagi bagi suatu kekuatan politik atau parpol. Apalagi fungsi partai juga dibonsai sedemikian rupa, sehingga tidak berdaya. Tak mengherankan jika partai atau organisasi politik pada era Orde Baru hanya menarik bagi kaum oportunis yang bersedia didikte oleh penguasa.

Ironisnya, setelah reformasi dan kita masuk era demokratis, ternyata tidak ada proses reideologisasi yang serius dilakukan oleh jajaran partai-partai politik. Hanya satu dua partai kecil yang justru terlihat bersungguh-sungguh menggarap aspek pendidikan ideologi ini. Karena itu, tak mengherankan pula, jika dalam situasi vakum ideologi ini, yang muncul akhirnya ialah gejala pragmatisme yang bermuara pada dominannya kuasa uang tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun