Mohon tunggu...
Cerpen

Cerpen/ Mimpi Pohon Tua /

5 Agustus 2016   07:52 Diperbarui: 5 Agustus 2016   08:16 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dia kemudian menunjuk satu titik besar yang tergantung di langit. Titik tersebut merupakan titik terindah yang bahkan karena keindahannya, beberapa orang melakukan pemujaan berlebihan padanya tanpa memperhatikan betapa banyaknya bopeng dan guratan kusam yang menjalar di seluruh bagian tubuhnya, orang-orang di tempatku memanggilnya bulan atau terkadang jika mereka sedang dibuai cinta, mereka memanggilnya dewi malam. Meskipun keindahan dan cahaya terangnya hanyalah pinjaman cahaya matahari, bintang-bintang pemilik cahaya yang berada di belakangnya terlihat tidak berarti apa-apa selain sebagai penghias keindahannya di atas langit. Seakan, bulanlah tokoh utama dalam panggung langit ciptaan tuhan. Sesuatu yang mungkin menimbulkan sedikit rasa iri di hati sesuatu yang bukan apa-apa.

Pohon tua mendesah, kemudian diam, hanyut dalam pikirannya. Aku mencerna perkataannya dengan seksama mencoba mencari komentar yang tepat. Tapi, meski tidak terungkapkan, aku mengerti dan memahami maksud perkataannya. Sesuatu yang wajar, akupun terkadang merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakannya. Hidup di tengah-tengah sekumpulan wajah yang sama namun tidak memiliki sesuatu yang bisa ditonjolkan, aku membuatmu terkadang membenci dirimu sendiri dan kemudian mulai menyalahkan keadaan. Tapi, apa yang bisa dilakukan selain menerimanya karena keadaan tersebut, terkadang adalah sesuatu yang tidak bisa diubah sekuat apapun mencoba mengubahnya. 

“Aku mengerti orangtua. Tapi apa yang bisa kita lakukan. Itu adalah sesuatu yang seperti tidak bisa diubah bagaimanapun caranya.”

“Ya, aku tahu”

Pohon tua mengangguk.

“Aku hanya ingin mengungkapkan apa yang ada di dalam hatiku saja sebelum aku mati besok pagi” katanya sendu.

“Sudahlah orangtua!”

Tiba-tibaterdengar teriakan ular yang sedari tadi aku yakin hanya pura-pura tidur dan ikut mendengarkan curahan hati pohon tua.

“jangan pernah keluarkan lagi kata-kata kamu akan mati besok itu. Lebih baik sekarang kamu menceritakan kisah masa lalumu seperti biasanya. Aku akan dengan senang hati mendengarkan untuk yang kesekian kalinya. Kamu tahu, apapun yang terjadi, dahan-dahanmu berubah menjadi besi bergerigi misalnya, jangan pernah mencoba mengarahkannya ke tubuhmu yang lebih kuat dari baja itu. Jangan sampai sebuah pohon yang telah berulang kali selamat dan bertahan hidup dari berbagai macam angin topan ganas, mati konyol melalui dahannya sendiri. Tapi, jangan lupa apa yang aku katakan tadi. Dahanmu tidak kan pernah bisa berubah menjadi besi bergerigi”

Pohon tua besar diam, mencoba menyerap kata-kata ular yang membujuknya untuk menghapuskan pikiran konyol yang berasal dari mimpinya, kemudian berkata pelan.

“Aku akan mati besok”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun