“Besok aku akan mati.”
Ular mendesis.
“Darimana kamu tahu takdirmu orangtua?”
“Aku baru saja terbangun dari mimpiku yang menggambarkan aku akan mati besok karena bunuh diri dengan dahan-dahanku yang tiba-tiba menjadi sebuah besi yang bergeririgi tajam,” ujarnya sendu dengan nada tidak bersemangat.
Ular tertawa, dan ini pertamakalinya aku tahu kalau pohon pun ternyata bisa bermimpi dan dia percaya mimpinya tersebut bisa menjadi nyata.
“Jangan bercanda!. Kamu hanyalah sebuah pohon, dan sebuah pohon tidak akan pernah bisa bunuh diri.”
Tentu saja, aku sepakat dengan apa yang dikatakan ular, bagaimana mungkin sebuah pohon bunuh diri jika untuk merontokkan kulitnya saja dia membutuhkan lumut dan cacing-cacing. Namun, si pohon tua tidak bergeming.
“Aku akan mati besok.”
Ular kembali mendesis dan beranjak kembali ke tempat tidurnya, menganggap kata-kata pohon tua tadi hanyalah igauan konyol yang keluar dari pohon yang sudah bosan hidup.
“Baiklah,” aku membuka percakapan yang sudah terhenti oleh kesunyian sekitar belasan menit lalu. Aku berniat mengacuhkan ucapan pohon tua sepertiapa yang ular lakukan. Tapi, rasa penasaran membuatku tidak tenang dengan kesunyian yang tidak biasa dari pohon tua yang biasanya cerewet dengan kisah-kisah yang telah dilaluinya.
“Apa yang membuatmu yakin nyawamu akan berakhir besok orangtua?.”