Mohon tunggu...
Puisi Pilihan

Mamaku

8 Mei 2016   14:00 Diperbarui: 8 Mei 2016   14:45 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jadilah pintar. 

Jadilah presiden”

Dia terus bernyanyi seperti itu tanpa mempedulikan aku sama sekali. Yakin dia tidak akan melakukan apapun padaku, aku melanjutkan makanku yang tertunda. Dia terus menyanyikan lagu ini hingga aku telah menyelesaikan setengah dari nasiku. Aku sengaja menyisakan setengah dengan niat untuk  diberikan kepadanya. Jadi, setelah meneguk air minum, aku pergi beranjak meninggalkannya. Tanpa kata aku pergi. Namun, aku sempat berpaling, ingin melihat apa yang akan dilakukannya. Aku menduga dia akan terus bernyanyi. Tapi, dugaanku salah. Dia berhenti bernyanyi dan menatapku dengan pandangan mata yang sama seperti saat pertama kali kita bertemu tadi. Hangat dan tidak bisa aku mengerti. Pandangan mata tersebut terus menghantuiku sampai membuatku tidak bisa tidur nyenyak memikirkannya.

Karena hal itu, keesokan harinya, aku kembali sengaja datang pagi-pagi berharap dia masih ada di sana. Dan harapanku terkabul. Dia berada disana. Aku tidak tahu di mana dia tidur semalam. Apa dia tidur di bangku itu, atau pergi ke suatu tempat yang lebih nyaman. Aku tidak tahu. Yang jelas, dia telah berada di sana pagi itu. Seakan dia mengerti kalau aku akan datang untuk melihat pandangan matanya.

“Cepatlah besar anakku. 

Jadilah pintar. 

Jadilah presiden”

Dia kembali bernyanyi dengan pandangan mata yang sama. Lembut, sejuk ,seakan sebentar lagi hujan akan menepis hawa panas yang menghampiri dalam satu bulan terakhir. 

Aku mendekat ke arahnya. Duduk di sampingnya, dan tidak berkata apapun hingga siang hari datang. Dalam kediamanku, dia terus saja bernyanyi, berbicara dengan boneka kesayangannya, dan terkadang tertawa menatapku sembari memeluk erat bonekanya. Terkadang dia menghentikan celotehannya dan diam membisu, membelai anak khayalannya tersebut dalam diam. Di saat aku memperhatikannya, bermacam-macam pikiran berkecamuk di dalam diriku. Siapa wanita gila ini, mengapa dia bisa berada di sini?. Ada apa dengan boneka itu?. Dugaanku dia pasti telah kehilangan anaknya, dan itu sangat menyakitkan sehingga dia tidak mau menerima kenyataan tersebut. Entah anaknya mati, atau diambil oranglain, atau mungkin sebelum lahir sudah tidak bernyawa, aku merasakan sejumput rasa iri yang semakin lama semakin besar. Betapa beruntungnya memiliki seorang yang sangat menyayangimu sehingga ketika kamu mati, dia sangat terluka. 

Tepat, saat aku ingin meranjak dari bangku rapuh ini. Berniat meninggalkannya karena rasa iri yang muncul di hatiku semakin besar.Dia berhenti membelai bonekanya. Dengan suatu gerakan cepat, dia mengarahkan pandangannya ke arahku. Lalu tertawa, kemudian tersenyum, dan tertawa lagi. Perasaan takut saat pertama kali bertemu dengannya kembali muncul. Aku langsung bangkit dari dudukku, dan berniat mengambil langkah pertama untuk pergi meninggalkan wanita gila ini sendirian. Dan ketika aku mengambil langkah kedua, aku mendengar suara nyanyiannya di belakangku.

“Cepatlah besar anakku”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun