Menurut Yasraf Amir Piliang : “ Karakter cyberspace sebagai ruang konstruksi teknologi bersifat artifial, telah menciptakan ruang semiotic yang juga dicirikan oleh sifat artifisalitas, simulasi dan virtualitas. Karena dalam cyberspace tanda tidak lagi merujuk secara simetris atau motivated pada obyek-obyek di dalam realitas, maka terdapat ruang yang luas bagi aneka manipulasi tanda di dalamnya. (Semiotika dan hyper semiotika 2010: 379).
Dalam cyberspace belakangan ini, ketika musim pencapresan tiba, setiap detik tanda tanda itu berkeliaran mengisi ruang cyber yang diproduksi, dicopy, digandakan dan didistribusikan oleh siapa saja dan menyebar secara vertical maupun horisontal. Tidak peduli apakah materi issue yang dibroadcast itu sesuatu yang bersifat novelty, membaharui informasi atau sama sekali taka ada hubungannya dengan situasi actual.
Umberto Eco dalam buku A Theory of Semiotic menerangkan bahwa sebuah tanda adalah segala sesuatu yang dijadikan sebagai subtitusi sesuatu yang lainnya (Amir Piliang 2010: 379).
Dalam real space, tanda (sign) digunakan untuk menyampaikan kebenaran. Seseorang yang punya keinginan untuk makan misalnya, akan menyampaikan maksud itu melalui kata-kata “saya ingin makan”. Begitu pula ribuan peristiwa dan realitas yang terjadi setiap hari, memproduksi tanda yang jumlahnya tak terhitung. Tanda yang cukup penting dan banyak disampaikan dalam minggu-minggu ini adalah mewakili sebuah kebenaran ambisi “aku ingin jadi presiden, pilihlah aku
Sejak peradaban manusia mengenal baca tulis dan Gottenberg menemukan mesin tik, sebuah tanda dapat diantar-lokasikan ke tempat-tempat yang jauh. Muncullah teknologi surat. Kemudian jaman semakin maju muncul pula percetakan, lalu Koran, televise dan internet yang kesemuanya dipakai untuk menyebarkan kebenaran.
Media massa, kemudian tiba-tiba hadir sebagai lembaga permanen yang secara terstruktur dan masif memproduksi informasi, lalu menyebarkan ke segenap penjuru atas dasar niat bahwa informasi sebagai hak azazi manusia. Dahsyatnya media massa membombardir khaayak membuat masyarakat “terkultivasi” dan terhegmoni, yaitu secara diam-diam setuju dengan isi media. Media massa menjadi sumber paling penting bagi masyarakat dalam menentukan sikap dan bertindak.
Ampuhnya media dalam menggiring persepsi, menggoda media massa untuk menyisipkan kepentingannya. Iklan adalah salah satu sisipan yang penting. Maksud saya sisipan yang hampir mendominasi halaman Koran. Lebih lanjut, tidak hanya iklan yang memang secara terus terang memuat sebuah kepentingan (bisnis), tetapi media massa melanjutkan “kemaruknya” menyusupkan ideology dalam setiap detik durasi tayang. Lebih dahsyat lagi, dalam satu dua tahun terakhir ini, pada media massa televise tertentu ideology itu tidak lagi sekedar susupan, tetapi sudah menjadi menu utama. Maka terjadilah kekerasan dalam rumah tangga media massa. Kekerasan itu menimpa korban dalam skala besar. Dua televise yang paling sering saya tonton saat ini menjadi korban KDRTMM itu. Mereka telah ditindas dan diperalat dengan sangat tak beradab oleh para capres. Netralitas kedua televise yang dalam mentansmisikan beritanya menggunakan asset public itu sudah tercabik-cabik.
Mungkin secara obyektif masih logis jika frekwensi dan intensitas pemberitaan kegiatan capres menjajakan janji itu menjadi head line news, karena peristiwa itu menyangkut kepentingan nasional yang harus diketahui rakyat. Namun cara kedua televise itu mengkonstruksi beritanya sungguh patut dicurigai. Atas dasar itulah saya menyoroti bagaimana cara mereka mengkonstruksi peristiwa itu dari sudut pandang ilmu semiotika.
Apakah sebuah kebetulan, setiap nara sumber yang diundang oleh televise O pasti mempunyai analisis – karena mereka mengaku akademisi – bahwa Capres J lebih baik dan Capres P sebaliknya. Begitu pula ketika televise M mengundang nara sumber lainnya pasti punya kesimpulan Capres P lebih baik.
Itu bukan sebuah kebetulan. Itu ulah para pengarah media dalam mencari nara sumber. (Catatan : Nara sumber merupakan garansi atas obyektivitas berita, sebuah berita tanpa nara sumber = hoax). Dengan menampilkan nara sumber, maka sebuah berita memenuhi salah satu syarat kredibelitas informasi.
Ketika seorang reporter televise membacakan berita yang berisi sebuah kebenaran, akan muncul sejumlah tanda yang berperan sangat significant dalam merangkai makna. Tanda itu dapat berupa gambar-gambar, suara, sudut kamera, durasi dan frekwensi tayang, pemilihan nara sumber, waktu tayang, intonasi suara penyiar dan indoktrinasi pewawancara kepada sumber beritanya. Barisan tanda itu akan saling ber-relasi secara pungtuatif dengan persepsi yang lebih dahulu bersemayam dalam diri pemirsa. Padahal obyek tersebut belum tentu mewakili realitas sebenarnya. Jean Baudrillard menyebut obyek hasil rekayasa itu sebagai hyper-realitas, dimana tanda tidak menjadi subtitusi dari yang diwakilinya, melainkan menjadi wakil dirinya sendiri (self-referent).
Arthur Asa Berger dalam buku Sign in Contemporary Culture mengingatkan bahwa “bila tanda dapat digunakan untuk menampilkan kebenaran, maka tanda juga dapat digunakan untuk berbohong atau menipu”. (Amir Piliang 2010: 379). Itulah yang dilakukan media massa. Tipu-tipu alias manipulasi itu menjadi proyek baru di industry kreatif yang sangat mendatangkan keuntungan karena sangat dimudahkan oleh teknologi telekomunikasi, computer dan internet.
Saya ingatkan kepada para Capres maupun Cawapres, sebagai public figure, tiap detik dalam 24 jam sehari Anda berada dalam pengawasan masyarakat. Apa yang Anda lakukan dan ucapkan akan direkam utuh. Rekaman itu, dapat dengan mudah diedit, dan dimanipulasi, dipadukan dengan file-file lainya yang mungkin sebenarnya tidak relevan. Info yang sudah mengalami reduksi akut itu, lalu disebarkan di televise sebelah anda. Cilakanya, atau sialnya, masyarakat kita yang dari sononya memang suka menggossif, juga mampu membuat berita. Bahan baku yang tidak orisinil hasil konstruksi media massa tadi ditambah-tambahi sesuai pesan udelnya lalu disebarkan di jagat social media. Komunitas pegiat socmed ini menjadi sumber informasi alternative. Ketika televisi hanya menampilkan Capres naik sepeda dalam rangka menjual “citra “sederhana, agar rakyat mau ditipu, maka socmed menampilkan Capres yang sama sedang naik jet pribadi. Emosi rakyat menjadi galaw. “ternyata pahlawanku yang sederhana naik sepeda itu, mau juga naik private jet. “…..Ha..ha..ha..ha…”. Kutipukau kawan.
Saat ini, menurut dugaan saya handset smartphone yang beredar di tangan masyarakat tidak lebih kecil jumlahnya dari Daftar Calon Pemilih. Penyebaran informasi yang menjalar secara horizontal, langsung ke dalam genggaman konstituen itu sangat efektif membentuk citra anda. Smartphone adalah benda paling akrab dengan manusia saat ini (melebihi keakraban dengan pasangan), benda itu pula yang akan menjadi penasihat utama calon pemilih dalam menentukan Presidennya.
Twitter @jarijarikarim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H