Itu bukan sebuah kebetulan. Itu ulah para pengarah media dalam mencari nara sumber. (Catatan : Nara sumber merupakan garansi atas obyektivitas berita, sebuah berita tanpa nara sumber = hoax). Dengan menampilkan nara sumber, maka sebuah berita memenuhi salah satu syarat kredibelitas informasi.
Ketika seorang reporter televise membacakan berita yang berisi sebuah kebenaran, akan muncul sejumlah tanda yang berperan sangat significant dalam merangkai makna. Tanda itu dapat berupa gambar-gambar, suara, sudut kamera, durasi dan frekwensi tayang, pemilihan nara sumber, waktu tayang, intonasi suara penyiar dan indoktrinasi pewawancara kepada sumber beritanya. Barisan tanda itu akan saling ber-relasi secara pungtuatif dengan persepsi yang lebih dahulu bersemayam dalam diri pemirsa. Padahal obyek tersebut belum tentu mewakili realitas sebenarnya. Jean Baudrillard menyebut obyek hasil rekayasa itu sebagai hyper-realitas, dimana tanda tidak menjadi subtitusi dari yang diwakilinya, melainkan menjadi wakil dirinya sendiri (self-referent).
Arthur Asa Berger dalam buku Sign in Contemporary Culture mengingatkan bahwa “bila tanda dapat digunakan untuk menampilkan kebenaran, maka tanda juga dapat digunakan untuk berbohong atau menipu”. (Amir Piliang 2010: 379). Itulah yang dilakukan media massa. Tipu-tipu alias manipulasi itu menjadi proyek baru di industry kreatif yang sangat mendatangkan keuntungan karena sangat dimudahkan oleh teknologi telekomunikasi, computer dan internet.
Saya ingatkan kepada para Capres maupun Cawapres, sebagai public figure, tiap detik dalam 24 jam sehari Anda berada dalam pengawasan masyarakat. Apa yang Anda lakukan dan ucapkan akan direkam utuh. Rekaman itu, dapat dengan mudah diedit, dan dimanipulasi, dipadukan dengan file-file lainya yang mungkin sebenarnya tidak relevan. Info yang sudah mengalami reduksi akut itu, lalu disebarkan di televise sebelah anda. Cilakanya, atau sialnya, masyarakat kita yang dari sononya memang suka menggossif, juga mampu membuat berita. Bahan baku yang tidak orisinil hasil konstruksi media massa tadi ditambah-tambahi sesuai pesan udelnya lalu disebarkan di jagat social media. Komunitas pegiat socmed ini menjadi sumber informasi alternative. Ketika televisi hanya menampilkan Capres naik sepeda dalam rangka menjual “citra “sederhana, agar rakyat mau ditipu, maka socmed menampilkan Capres yang sama sedang naik jet pribadi. Emosi rakyat menjadi galaw. “ternyata pahlawanku yang sederhana naik sepeda itu, mau juga naik private jet. “…..Ha..ha..ha..ha…”. Kutipukau kawan.
Saat ini, menurut dugaan saya handset smartphone yang beredar di tangan masyarakat tidak lebih kecil jumlahnya dari Daftar Calon Pemilih. Penyebaran informasi yang menjalar secara horizontal, langsung ke dalam genggaman konstituen itu sangat efektif membentuk citra anda. Smartphone adalah benda paling akrab dengan manusia saat ini (melebihi keakraban dengan pasangan), benda itu pula yang akan menjadi penasihat utama calon pemilih dalam menentukan Presidennya.
Twitter @jarijarikarim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H