"Iya ayah."
Demikianlah kemudian dua insan bapak dan anak itu kembali melanjutkan aktifitasnya. Hingga waktu sore telah mewarnai semesta Desa Ngalam.
Ki Jagabaya saat ini sedang duduk beralaskan tikar di bawah naungan bayang pepohonan di halaman rumahnya. Sedangkan di ujung lain tikar itu empat anak duduk menghadap ke arah orang tua itu, tiga bocah lelaki dan seorang bocah perempuan.
Anak-anak ini menceritakan pengalaman mereka di Desa Turi Agung. Mereka membicarakan apa saja yang dilakukan saat menjalani beradu kemahiran silat dengan lawan mereka masing-masing. Ki Jagabaya pun sesekali mengomentari dan memberi masukan kepada murid-muridnya itu.
Kali ini mereka tidak berlatih menggerakkan pukulan dan tendangan. Mereka hanya membahas peluang dan kekurangan masing-masing saat menghadapi lawan.
Demikianlah waktu pun terus bergeser. Sampai akhirnya tiba di suatu hari di mana Widura dan teman-temannya berlatih bersama di tepian sungai.
Saat sedang duduk-duduk beristirahat, Ratri berkata, "Aku sudah bertemu Ki Rana dan minta ijin mau belajar baca tulis pada beliau. Aku juga sudah berkata kalau aku akan mengajak teman. Dan beliau mengijinkan."
"Bagus lah," sahut Widura yang kemudian bertanya ke Sogol dan Murti, "Terus, bagaimana dengan kalian? Apakah memang nggak ingin ikut berguru baca tulis bareng kita?"
Pada kesempatan sebelumnya, Widura sudah menawarkan ajakan belajar baca tulis ini kepada dua teman lelakinya itu.
"Aku nggak ikut kali ini. Aku ingin menekuni pembuatan kerajinan seperti ayahku," jawab Sogol.
"Aku kali ini juga nggak ikut," jawab Murti kemudian.