Mohon tunggu...
Jarang Makan
Jarang Makan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penggemar content manajemen, pengembangan diri, dan fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Meniti Jalanan Setapak 15

6 Januari 2025   16:46 Diperbarui: 6 Januari 2025   16:46 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana pasar masih semarak. Beragam pengunjung meramaikan nuansa, ada yang tua atau muda, jaka atau dara, bersendiri atau berkeluarga.

Nada tembang mengalun di sela riuh penawaran harga. Seorang bapak menjajakan suara. Ia didampingi seorang anak gadis dan siter di tangannya. Sebuah mangkuk meringkuk di hadapannya. Terisi beberapa keping uang logam berharga di dasarnya.

Widura dan Ratri melangkah menyeruak jajaran pengunjung. Mendekati sebuah lapak penjaja kain yang merupakan milik ayah Ratri, Ki Purnomo.

"Ayah, aku mendapatkan hadiah medali dari arena ketangkasan bela diri silat," ucap Ratri sambil menunjukkan medali miliknya.

"Hahaha. Anak Ayah yang satu ini memang hebat. Coba sini Ayah lihat medalinya," jawab Ki Purnomo sambil tersenyum lebar.

Ki Purnomo pun mengamati medali yang terbuat dari perunggu tersebut. Setelah manggut-manggut, ia tersenyum.

"Ayah, aku pengen tahu di medali itu ada tulisan apa saja? Aku dan Widura penasaran dengan apa yang tertulis di situ," ucap Ratri.

"Ini hanya tulisan nama desa ini dan peringatan festival desa," jawab Ki Purnomo.

"Ooo," gumam Ratri dan Widura nyaris berbarengan.

"Tapi ngomong-ngomong, walau Ratri kelak jadi mahir dalam bela diri, Ayah nggak ingin menjadikan Ratri sebagai pengawal Ayah di saat pergi berdagang," ucap Ki Purnomo.

"Tapi setidaknya Ratri boleh ikut Ayah bepergian sesekali, kan?" saut Ratri.

"Itu bisa Ayah pertimbangkan," jawab Ki Purnomo.

"Oh iya Ayah, tadi waktu kami berjalan kemari, kami ada ide ingin belajar membaca dan menulis," Ratri berucap sambil sekilas menoleh ke Widura, "Bagaimana Ayah? Ayah bisa mengajari kami?"

Di Kerajaan Semala di saat ini tidak semua orang bisa membaca dan menulis. Hanya kaum bangsawan, pejabat, pujangga, sebagian pedagang, dan sebagian kecil rakyat biasa yang mengenali aksara.

"Kalian ingin bisa baca tulis?" tanya Ki Purnomo.

Widura dan Ratri berbarengan mengangguk.

"Itu bagus. Tapi Ayah tidak bisa mengajari kalian. Namun mungkin Ki Rana bisa jadi guru kalian. Untuk persoalan ini, nanti saja kita bicarakan lagi," ucap Ki Purnomo.

Ratri pun senang mendengar janji ayahnya. Setelah menitipkan medali dan bingkisan hadiah, Ratri dan Widura kembali minta ijin kembali ke arena ketangkasan bela diri silat. Namun sebelum menuju arena, mereka membeli sekantong makanan, jajanan, dan minuman untuk mereka dan teman-teman yang lain.

"Ratri, Ki Rana itu siapa?" Widura bertanya saat berada di lapak penjual makanan.

"Ki Rana itu seorang tokoh tua di Desa Pandan Asri. Kata Ayah beliau dulunya seorang pejabat kadipaten," jawab Ratri.

Widura bergumam sambil manggut-manggut.

Sementara Widura dan Ratri masih berada di sekitaran pasar, Sogol dan dua anak lainnya berada di arena ketangkasan memanah mencari-cari keberadaan Pangga. Sepupu Wira yang satu ini memang seorang pemanah yang baik. Saat tiga anak ini menemukan Pangga, ia sudah memenangkan beberapa putaran adu memanah.

Di arena memanah tidak ada pertandingan resmi. Setiap orang hanya memberi sejumlah uang untuk mengambil giliran memanah sasaran. Arena memanah jadi seru karena ada sebagian orang yang melakukan taruhan.

Pangga beberapa kali menerima tantangan dari orang lain, dan sebagiannya ia menangkan. Bahkan ada beberapa orang yang meminta dia jadi gacoan demi mendapatkan keuntungan taruhan.

Tiga anak dan seorang pemuda ini lalu mencari tempat berteduh di bawah pohon. Sambil berbincang, mereka mengamati keramaian yang ada di seputaran tanah lapang Desa Turi Agung. Dalam ruang pandang mereka, selain adu ketangkasan bela diri dan memanah, ada lingkaran permainan yang lainnya. Beberapa kerumunan itu membentuk arena adu ayam, aduan merpati, dan permainan lainnya. Menurut penjelasan Pangga, arena yang diselenggarakan desa hanya adu silat dan arena memanah, sedangkan lainnya muncul karena nebeng memanfaatkan keramaian.

"Bukankah kalian harusnya berlima? Mana yang dua anak lainnya?" tanya Pangga.

"Widura diajak Ratri menitipkan medali dan bingkisan ke ayahnya," jawab Sogol.

"Ayahnya Ratri ikut ke desa ini?" tanya Pangga.

"Iya Kak. Ayahnya Ratri berjualan kain. Bukan cuma ayahnya Ratri, Ayahku juga ikut berjualan di acara ini," jawab Sogol.

"Oh begitu. Lalu jualan apa Ayah kamu?" Pangga bertanya ke Sogol.

"Ayah jualan perkakas dari bambu buatannya sendiri," jawab Sogol.

Sosok Widura dan Ratri lalu muncul dari keramaian. Murti melambaikan tangan memanggil kedua temannya itu.

Mereka semua duduk santai menikmati makanan yang baru dibeli Widura dan Ratri. Sambil merasakan teduhnya rerimbunan daun pepohonan yang banyak berdiri di sekeliling tanah lapang, mereka saling berbagi cerita.

Saat berbincang santai inilah Widura dan teman-temannya mengenal Wira dengan lebih baik. Awalnya Wira adalah anak seorang petani. Namun setelah itu ayah Wira juga menekuni perdagangan benda-benda dari logam. Wira adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Semua kakak Wira adalah perempuan, karena inilah ayah Wira meminta Pangga yang merupakan keponakannya, untuk tinggal bersamanya demi membantu ia mengolah kebun dan sawah.

Seruan dimulainya adu ketangkasan yang diikuti Widura pun terdengar. Rombongan itu lalu bangkit menuju arena. Satu per satu penonton berdatangan, tapi tidak seramai yang sebelumnya. Ini karena sebagian besar rombongan peserta sudah banyak yang pulang.

Putaran ini menyisakan empat peserta, dan Widura adalah salah satunya. Tidak terlalu lama, pengundian telah dilakukan, dan setiap peserta sudah mendapatkan lawan. Kali ini Widura mendapat giliran tampil lebih dahulu.

Wasit telah membuka pertandingan. Widura dan lawannya mulai bergerak saling memancing serangan. Berbagai jenis pukulan dan tendangan saling dilontarkan.

Di suatu kesempatan Widura berhasil mendaratkan sikutan ke tubuh lawannya. Pada kesempatan berikutnya, lawan Widura sukses membuat Widura terpelanting. Hingga pada akhirnya Widura harus mengakui keunggulan lawannya. Ini karena di benturan-benturan berikutnya Widura gagal memasukkan serangan telak, sedangkan lawannya bisa mengumpulkan nilai dari serangan yang lebih mantap.

Walau mengalami kekalahan, Widura yang kecewa tidak terlalu larut dalam emosinya. Ini karena lawan Widura menunjukkan sikap bersahabat dan mengajak dia bersalaman. Tapi meski begitu, Widura masih saja menekuk wajahnya saat ia melangkah ke tepi arena. Bagaimanapun juga ini adalah sebuah kekalahan, rasa kecewa tetap ada.

Di tepian arena, Sogol dan lainnya menyambut Widura dengan tepukan tangan dan senyuman. Rupanya mereka masih berusaha menghibur temannya.

"Widura, kamu tidak perlu terlalu bersedih, bukankah ini pertandingan silat yang kita ikuti pertama kali. Kamu malah sudah sampai putaran keempat melebihi kita semua. Bukankah kata guru yang terpenting kita cari pengalaman," Ratri coba menghibur.

"Betul itu. Apa lagi kamu berhasil membalaskan kekalahanku," timpal Murti.

Menyadari teman-temannya berusaha menyenangkan hatinya, Widura pun tersenyum sebagai balasannya. Benar juga, ini sudah lumayan sebagai pengalaman pertama.

Setelah menggosokkan minyak pereda nyeri di anggota badannya, Widura menonton pertandingan selanjutnya bersama yang lain hingga usai. Selain mengalami sendiri, dengan mengamati pertandingan mereka mendapatkan pengetahuan seputar strategi dalam bela diri. Lagi-lagi Widura memahami ucapan gurunya, memang dengan mengikuti pertandingan dapat mengumpulkan pengetahuan lebih banyak daripada hanya berlatih sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun