Di arena memanah tidak ada pertandingan resmi. Setiap orang hanya memberi sejumlah uang untuk mengambil giliran memanah sasaran. Arena memanah jadi seru karena ada sebagian orang yang melakukan taruhan.
Pangga beberapa kali menerima tantangan dari orang lain, dan sebagiannya ia menangkan. Bahkan ada beberapa orang yang meminta dia jadi gacoan demi mendapatkan keuntungan taruhan.
Tiga anak dan seorang pemuda ini lalu mencari tempat berteduh di bawah pohon. Sambil berbincang, mereka mengamati keramaian yang ada di seputaran tanah lapang Desa Turi Agung. Dalam ruang pandang mereka, selain adu ketangkasan bela diri dan memanah, ada lingkaran permainan yang lainnya. Beberapa kerumunan itu membentuk arena adu ayam, aduan merpati, dan permainan lainnya. Menurut penjelasan Pangga, arena yang diselenggarakan desa hanya adu silat dan arena memanah, sedangkan lainnya muncul karena nebeng memanfaatkan keramaian.
"Bukankah kalian harusnya berlima? Mana yang dua anak lainnya?" tanya Pangga.
"Widura diajak Ratri menitipkan medali dan bingkisan ke ayahnya," jawab Sogol.
"Ayahnya Ratri ikut ke desa ini?" tanya Pangga.
"Iya Kak. Ayahnya Ratri berjualan kain. Bukan cuma ayahnya Ratri, Ayahku juga ikut berjualan di acara ini," jawab Sogol.
"Oh begitu. Lalu jualan apa Ayah kamu?" Pangga bertanya ke Sogol.
"Ayah jualan perkakas dari bambu buatannya sendiri," jawab Sogol.
Sosok Widura dan Ratri lalu muncul dari keramaian. Murti melambaikan tangan memanggil kedua temannya itu.
Mereka semua duduk santai menikmati makanan yang baru dibeli Widura dan Ratri. Sambil merasakan teduhnya rerimbunan daun pepohonan yang banyak berdiri di sekeliling tanah lapang, mereka saling berbagi cerita.