"Perkenalkan, saya adalah bu Yuni, selanjutnya kalian akan belajar bersama ibu di sini," kata seorang wanita muda di hadapan enam orang anak di dalam suatu ruangan sederhana.
Yuni adalah wanita yang sedang galau menanti kehadiran buah dari 5 tahun pernikahannya. Ia sangat ingin segera menjadi seorang ibu. Demi mengobati rasa galaunya ia membantu sebuah lembaga non-profit yang kebetulan menyewa sebuah rumah untuk sekretariat di kampungnya. Lembaga itu mengadakan bimbingan belajar gratis bagi anak-anak yang kurang mampu di lingkungan itu sebagai satu dari sejumlah programnya.
Beberapa bulan yang lalu Yuni menawarkan sedikit waktu dan tenaganya menjadi guru pembimbing. Keinginannya memiliki anak yang masih belum terjawab langit membuat ia berani mengajukan diri kepada pemimpin lembaga. Harapannya semoga dengan mendermakan waktu dan tenaganya pintu langit akan sedikit lebih terbuka. Sang pemimpin lembaga tentu menyambut baik keinginan Yuni. Ketika pimpinan lembaga itu menawarkan sejumlah honor, Yuni menolak dengan halus. Yuni meniatkan aktifitasnya sebagai sebentuk sedekah. Maka setelah itu Yuni mulai rutin beraktifitas di lembaga itu di sela aktifitas hariannya.
Saat ini Yuni sedang menghadap empat anak laki-laki dan dua anak perempuan. Mereka baru saja memulai tahun ajaran di kelas enam. Nama mereka adalah Samsul, Dwi, Hendro, Mamad, Ifa, dan Livi. Walau Yuni sudah mengetahui nama-nama mereka dari data milik lembaga, ia tetap menanyakan nama anak-anak itu secara langsung agar terbangun kedekatan.
Satu demi satu Yuni meminta mereka bercerita tentang keluarga, kesenangan, harapan, dan keinginan mereka setelah sekolah dasar maupun saat mereka dewasa nanti. Secara umum enam anak ini berasal dari keluarga yang terbatas secara ekonomi, namun untunglah mereka masih memiliki harapan-harapan. Keterbatasan kondisi ekonomi keluarga mereka ternyata tidak sampai membatasi harapan yang ada di benak mereka. Tapi di hari pertama pertemuan itu, Yuni menyadari bahwa Samsul memiliki kecenderungan lebih pendiam dibandingkan teman-temannya.
Tibalah kini pada pertemuan berikutnya. Masing-masing anak telah menghadap buku tugasnya.
"Livi, tolong bacakan paragraf pertama," Yuni menjatuhkan perintah.
Livi segera membaca teks bacaan di hadapannya. Sementara Livi membaca, yang lain menyimak, tapi mulut mereka tampak tersenyum-senyum kecil. Yuni merasa aneh dengan hal itu, apa yang membuat mereka tersenyum? Tapi anehnya mengapa hanya Samsul saja yang tidak tersenyum? Ia malah terlihat grogi menurut penilaian Yuni.
"Bagus, sekarang giliran Samsul membaca lanjutannya," ucap Yuni setelah Livi tuntas membaca. Pilihan itu muncul seolah secara refleks saja.
"Wah, kalau Samsul jangan ditunjuk, bu Yuni. Ia anak lemot," kata Hendro blak-blakan sambil tertawa. Tertawa Hendro lalu diikuti oleh yang lain.
Yuni sedikit terhenyak mendengar kata-kata itu. Ia membisu sejenak sembari mencerna maksud ucapan Hendro. Di antara enam anak itu, Hendro memang yang terlihat paling ditakuti. Jadi wajar bila ia langsung ceplas-ceplos mengutarakan isi benaknya. Sedangkan Samsul terlihat kikuk tak tahu harus berbuat apa.