Seseorang yang dilukai, biasanya hanya bisa menampakkan kesedihannya agar mendapat simpati dari yang lain, bahwa siapa kah di antara kalian yang waras. Meskipun terkadang, kita melupakan bahwa menyorot posisi yang bersalah, kita tidak pernah tahu siapa yang lebih terluka kan? Atau siapa yang sebenarnya terluka?
Kamu tentu saja merasa yang paling dilukai, Dia juga bilang begitu. Tapi menariknya Dia bilang “Apakah melukai itu pekerjaan yang menyenangkan? Aku juga menahan ‘tak tega-ku’ tahu!” Ah ya, yang memiliki kekuatan biasanya yang menang. Meskipun Kamu bertingkah lemah, Kamu hanya memenangkannya sesaat.
Awalnya kupikir akhirnya adalah Kamu terluka tapi hanya pada awalnya, seterusnya akan ada perpisahan yang Kamu syukuri. Awalnya kukira Dia hanya akan menyesal dan tak akan kembali, ternyata perkiraanku yang pertama benarlah terjadi, sementara perkiraanku yang kedua, meleset; Dia kembali. Kembali untuk menampakkan penyesalannya pada Kamu. Kembali untuk merebut Kamu kembali.
Sudah cukup bahagia aku mengakhirinya begitu; Kamu dan Dia akan membuat jalan baru masing-masing. Lalu muncul quotes semacam; “Ada seseorang yang kisahnya hanya cukuplah menjadi kenangan di ingatanmu,” artinya selesai sudah kisahnya.
Kemudian aku membaca abu-abu di pikiran Kamu, yang awalnya hitam tegas. Ah, kamu goyah dengan usaha Dia. Aku tak membaca pikiran Dia lagi karena sejak awal aku tahu warnanya Merah, ya, menggambarkan luka.
Hari itu aku hanya berdua dengan Kamu,
“Aku tak pernah melihatmu sebahagia jika bersama Dia, jujur saja,”
“Iya, aku merasa begitu. “ Kamu senang. Kamu setuju.
“Tapi aku juga tak pernah melihatmu seluka jika bersama Dia,” Kamu diam. Kamu setuju.
Sejak itu Kamu mulai menjadi jahat, luka yang membuatmu begini. Kamu sulit memaafkan, itu juga karena luka. Kamu mungkin hanya ingin menjadi kuat, tak dilukai. Tapi Dia datang padaku, berubah pikiran
“Jahat sekali, Kamu tak seperti dulu, seperti yang Kamu kenalkan padaku.” Dia pergi.
Kamu menjadi lemah kembali, karena ditinggalkan kedua kalinya kamu merasa ditinggalkan se-bumi. “Dimana aku bisa belajar memaafkan?” Kamu bertanya dengan getir. Kini ada, perkara perpisahannya adalah lelah memaafkan.
Rasanya sekarang impas, awalnya Dia yang menanggung rasa bersalah, kemudian keadaan yang sama menimpa Kamu. Kalau Dia, sudah menebusnya. Kalau Kamu, menanggung selamanya karena benar-benar ingin mengakhirinya.
Pernahkah kalian menghadapi situasi semacam ini? Saat menganggapnya sepele, tak lama itu pun akan menimpa kita. Seakan siklusnya memang begitu.
Zahra, yang rindu Fiksiana
12 Maret, 2017
Bandung
Puisi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H