Jangan memutuskan pendapat saat kamu tak benar sadar, misalnya saat aku bertanya “Bagaimana kalau kita akhirnya berpisah?” kamu dengan cerobohnya menjawab “Kita tidak akan pernah terpisah,” kamu pasti tak sadar bahwa saat aku juga tak sadar, aku terkadang menagih janji itu. Ah, tunggu, memangnya kapan kamu berjanji? Lagi, barangkali aku sedang tak sadar.
Di duniaku, yang sempat kamu jajah, kamu menempati kedudukan tertinggi sebagai laki-laki. Selayaknya penjajah, kamu selalu bisa melakukan apa saja. Selayaknya yang dijajah, apakah aku suka dijajah?
Beralih dari penjajah dan tanah jajahan, ini aku dan kamu. Kita, di dunia yang kita ciptakan, hujan terjadi bahkan tak menjanjikan. Satu tahun sekali, itu sudah paling banyak. Benar mahal terjadi, mungkin pertanda harus diwanti-wanti. Sebagai genangan, aku hanya menunggu diairi oleh hujan yang hendak berkunjung. Aku melengkung di permukaan dan ah ya sangat menyedihkan. Sementara di hujan selalu membawa tabiat penjajah. Hmm, aku agak sensitif dengan penjajah.
*
“Aku membutuhkanmu,” rupanya kamu datang, ah lututku sudah sangat lemas menantimu menahun tak terbayang.
Aku selalu ada di sana kala kamu butuhkan, pernahkah kamu kesusahan mencariku? Hanya kamu yang kesusahan aku cari, karena aku benar tak berdaya meskipun bumi bergravitasi, nyatanya aku selalu di bawah sana. Terinjak dan untuk diinjak.
Saat kamu hanya menyapa “Hai” padaku bahkan dengan berbisik pun, aku akan padamu.
**
Gersang, selalu musimnya. Kubilang setahun sekali itu terlalu mahal, ini sudah bertahun lamanya. Ah, mungkin satu abad? Perempuan selalu dekat dengan kata setia, memang. Hujan lain ingin meneduhkanku dengan embunnya, selalu kutolak. Sekarat sampai ujung kerongkongan dengan naifnya kutolak semua mereka. Aku menunggu yang kata mereka tak pasti. Apa iya?
***
Kamu tak akan datang kah? Kamu tak beri tahu aku akan datang lagi atau sudah berhenti untuk mengunjungiku, maka aku terus menunggu kamu. Biar, tak apa. Aku jago menunggu.