Kamu menawarkan diri membacakan buku dongeng untukku, aku tawarkan telinga untukmu karena aku buta aksara. Anehnya kamu mematikan lampu sebelum membacakannya untukku. Kamu duduk di tepi dipan ini, membuka buku dongeng dan bersiap memulainya. Kupikir kamu tak sadar mematikan lampu, kuberanjak dan hendak menyalakannya. Tapi kemudian kamu matikan kembali. Aku yasudahlah.
Dan kamu mulai bercerita tentang kisah cinta sejati, suatu hal yang membuatku iri. Kamu genggam tanganku, mungkin kamu menyadari reaksiku. Kamu bercerita seolah cinta sejati memang nyata, meskipun ujian melanda hendak memisahkan tapi cinta sejati tak terpisahkan. Kali ini kamu mendekapku. Kamu juga iri dengan mereka?
Aku menebak happy ending akan menjadi penutup dongeng, mungkin karena aku berekspektasi. Mungkin karena aku tak sabar.
“Aku ingin menjadi Putri dalam dongeng” berucap aku,
Kamu berlaga kaget “Aku tak mengatakannya padamu?”
“Apa?”
“Kamu tak boleh mengatakan itu,”
Kegelapan mengantarkanku pada negeri dongeng, menempati posisi Putri, atau lebih tepatnya menggantikan. Tempat yang asing, baru kukenal tadi dari ceritamu. Dan aku tak mengerti selanjutnya apa, karena aku buta aksara tak dapat membaca narasi.
Hai?! Meskipun buta aksara, aku tak buta mimik wajah. Itu sebabnya kamu padamkan lampu, awalnya kupikir kamu hebat menghafal setiap ceritanya. Itu pula sebabnya ending dongeng karanganmu ini hanya selembar kosong. Ah, jadi begitu.
Pangeran dalam cerita tak menengokku, ia tak mengenali aku. Setau dia Putri yang menjadi kekasihnya telah menghilang. Tapi kamu, juga tak menengokku rupanya. Kamu sengaja menukar aku dengan Putri yang sedang kau dekap itu. Tawamu terdengar sampai ke sini. Ah, jadi begitu.
***
Menahun tak terbilang kumenanti kamu berubah pikiran, tapi nyatanya buku dongeng ini tak pernah kamu sentuh lagi.