Mohon tunggu...
Zahra El Fajr
Zahra El Fajr Mohon Tunggu... Penulis - a melancholist

Teacher | Fiksiana Enthusiast | Membaca puisi di Podcast Konstelasi Puisi (https://spoti.fi/2WZw7oQ) | Instagram/Twitter : zahraelfajr | e-mail: zahraelfajr@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Pisahkan Saja Kalau Bisa

12 September 2016   11:52 Diperbarui: 31 Maret 2020   00:53 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senin, aku rindu. Selasa, juga rindu, Rabu sampai Senin lagi ya tetap rindu. Seringkali rindu membuatku nekat demi menemui Disa. Tak terbilang sudah berapa kali aku melanggar batas kenekatanku. Sabtu, selepas pulang sekolah aku segera bergegas menuju kota kecilnya. Aku tak menghubungi Disa sebelumnya karena kutahu kapanpun Disa akan siap ditemui aku, lagi aku pernah mengatakan "Seminggu sekali kuusahakan menemui kamu," dan tabiatku bukan lelaki yang suka ingkar janji. Kutelpon Disa, ketika tiba di kotanya.

Disa bersamaku, kugandeng tangannya, sembari berjalan menyusuri jalanan. Kami berhenti di pinggir jalan, memesan nasi goreng untuk kami makan malam itu. 

"Selalunya dadakan, kenapa nggak bilang dulu kalau mau ke sini," katanya,

Disa adalah perempuan yang sangat menyenangkan, aku senang berada di sampingnya (dan di depannya karena saat itu kami sedang berhadapan). 

"Nggak sempet, keburu rindu banget." jawabku,

"Ah kau ini."

"Nanti, kita bakal sibuk sama kehidupan masing-masing, itu makanya sekarang aku bela-belain nemuin kamu, selagi bisa. Aku mau kamu nggak lupa sama masa-masa ini."

Aku menggeledah tas Disa, terdorong oleh penasaran dengan isinya. Apasih isi tas perempuan? Disa tak melarangku. Tak kutemukan banyak benda aneh di tasnya karena Disa memang orang yang sangat sederhana, dan tentu saja tipeku. Kutemukan pulpen merah di tasnya dengan antusias,

"Pulpen itu kubeli karena ingat kau suka warna merah." dia berkata, aku tertawa renyah.

"Dan kenapa kita makan nasi goreng di sini itu karena nasi gorengnya pun merah, warna kesukaanmu" timpalnya, seraya tertawa aku meraih telapak tangannya dan mencoret-coret di atasnya. Hobiku menggambar, apapun. Dan aku sedikit ingin pamer padanya.

"Sebenarnya aku membawa kertas kalau kau ingin lebih leluasa, Saka" ujar Disa, meskipun mengatakan itu, tak terbaca sama sekali keberatan di wajahnya.

"Tidak, aku mau di sini saja, ah"

Ia pasrah, sembari tangan kanannya melanjutkan menyuapkan nasi goreng. Kalau kamu bilang gaya pacaran kami aneh, memang, aku sepakat dengan itu karena memangnya kenapa? Begitulah ia, beginilah aku, kutemukan Disa sangat berbeda dengan perempuan kebanyakan. Ia bisa mengimbangiku di segala pembahasan. Ia bisa menenangkanku, kala emosiku membara. Disa selalu cantik dan aku selalu tampan. Hahaha tidak.

Pulpen merah direbutnya, gantian ia mencoret-coret tanganku dengan sangat berantakan. Selera seninya sangat tak berkelas, tapi kubiarkan saja asal ia bahagia. Telapak tangan kami sama penuhnya dengan coretan, mungkin kami ingin mengekspresikan bahwa hati kami pun sama-sama dipenuhi oleh rindu, tak ada celah tanpa coretan (rindu). Tapi mengucapkannya dengan perkataan terlalu klasik.

Disa adalah perempuan tercantik yang memilih dirinya agak tomboy, entah bagaimana tapi aku suka Disa berpenampilan seperti apapun. Saat keluar dari kedai nasi goreng tadi, kami berpapasan dengan bencong yang sedang ngamen keliling, spontan Disa mengumpat "Anjir! Bencong! Ya nggak sih?" ia ketakutan, ia berniat berlindung di dekatku. Meskipun ia berlaga tomboy, sebenarnya ia masih perempuan. Kudorong Disa ke arah bencong itu saat kami sangat berpapasan, "Nggak takut ko nggak takut!" latah dalam kepanikan, menjadi bahan hiburanku menertawainya. Disa memukul pelan kepalaku "Pacar sableng" umpatnya. Masih dengan sisa tawa, kubiarkan ia berjalan di depanku. Aku senang memandangnya dari arah mana pun. 

Malamnya kuantar ia sampai gerbang asramanya, menenangkan ia dengan "Aku nginep di rumah temen ko," ia mengangguk. Menatapku bisu, sampai melambaikan tangan seraya memasuki halaman asramanya, akhirnya. Handphoneku low batt, dan subuh besok harus langsung pulan karena ada acara wajib di sekolah. Malam ini aku menginap di masjid terdekat. 

Sebelum subuh, beruntung handphoneku masih bisa menelpon Disa, kusuruh ia menemuiku di depan pagar. Tak lama ia datang, 

"Sini," ucapku. Ia mendekat ke pagar,

Kudekap disa sebisanya karena terhalang pagar yang belum dibuka petugas keamanan.

"Aku pamit pulang,"

"Hati-hati ya,"

"Jangan bilang hati-hati,"

"Harus, kita nggak pernah tahu bisa ketemu lagi atau enggak, jadi bilang hati-hati itu, perlu"

"Aku hati-hati karena kamu"

Aku pergi, sebelum fajar mengembang. Berjalan ke ujung, ke perempatan jalan menunggu bis menuju kotaku. Menggambar kenangan baru di memoriku bersama Disa. Saved.

***

Berbulan-bulan tak menelpon Disa, kutelpon ia di akhir pekan. 

"Kamu sudah makan?"

"Sudah, tapi bukan nasi goreng merah lagi seperti waktu itu," jawabnya,

"Hahaha apa yang belum?"

"Belum ketemu bencong lagi hahaha"

"Kuliahnya gimana? Lancar?"

"Lancar, akhir pekan nggak pernah pulang malem lagi,"

"Kuliahku lancar, BAB yang enggak lancar"

"Rindu tuh," katanya

"Sembelit,"

"Hahahaha"

"Aku pernah bilang kenapa waktu dulu aku bela-belain ketemu kamu, aku bilang aku mau kalau nanti kita jauhan, kamu nggak akan lupa masa-masa itu dan sekarang, aku senang karena rencanaku sepertinya berhasil."

Disa ngambek karena ia akhirnya tahu aku nginep di masjid, dan bahkan diusir karena dikira mencurigakan. Sampai kayak ngegembel di jalanan. Pernah pula nemuin Disa ketika sedang sakit, tapi kubohongi Disa yang menyadari badanku panas tak seperti biasanya. Entah bagaimana, tapi saat itu aku adalah remaja yang sedang jatuh cinta. Dan aku menikmati setiap kenangan, kenekatan demi Disa tanpa penyesalan.

Disa diam, tak menjawab. Kuterka ia sedang memikirkan hendak mengatakan apa, karena kebanyakan perempuan akan berpikir dulu sebelum mengatakan sesuatu, itu yang kutahu.

"Disa, aku tahu kamu mau bilang apa"

"Hmm, memangnya apa?"

"Kamu mau bilang kalau kamu semakin cinta aku kan?"

"Ngarep"

"Hahaha"

"Saka, aku nggak cuma mau bilang begitu, tapi aku memang merasakan begitu. Kuharap cukup transference karena tanpa dikode pun Saka kan peka. Hahaha."

Hati Disa dan Saka membisikkan kalimat serupa: "Pisahkan saja kalau bisa,"

Bandung, 11-12 September 2016

Zahra,

*merindu rasanya jatuh cintrong*

Cerpen lainnya:

Kartu

Tetesan Langit yang Angkuh

Apa Kabarku Baik Setelah Ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun