Mohon tunggu...
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pembelajar tak kunjung pintar. Percaya bahwa kacamata adalah salah satu alat menutupi kebodohan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar Agama Lewat Matematika

6 Juli 2015   18:58 Diperbarui: 6 Juli 2015   18:58 1161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Matematika, sering dianggap sebagai ilmu yang tidak ada keterkaitannya dengan agama, ilmu yang tidak membahas bahkan jadi jaminan surga-neraka, dan yang lebih penting adalah tidak menjadi pitakon kubur, karena tak mungkin nanti munkar nakir tanya "hai kamu, iya kamuuuu. pi er kuadrat rumus apa?" 

 

Menurut sudjiwo tedjo, matematika itu ilmu logika, kesepakatan/ijma', dan konsisten. Karena era sekarang ini lagi marak pendekatan cocokologi, maka saya akan mencocok-cocokkan agama dengan matematika. Pokoknya yang penting cocok.

 

Saya sepakat dengan mas cepi sabre yang pernah bilang bahwa agama itu jalan kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri. Perbedaan kebenaran dan jalan menuju kebenaran harus dipahami terlebih dahulu sebelum beragama. Sederhananya begini kalau dilihat dari matematika, angka sepuluh adalah hasil dari 5+5 (sesuai logika,  demikian konsep angka 5 dan tanda penjumlahan "+" telah disepakati terlebih dulu, sekaligus harus "konsisten" sampai kiamat). Anggap saja 10 adalah kebenaran, dan 5+5 adalah jalan untuk menuju kebenaran (angka 10).

 

Selanjutnya, untuk memperoleh angka sepuluh, dalam matematika tidak hanya dengan cara 5+5, tapi bisa dengan jalan 2+8, 6+4, 7+3, berikut cara pengurangan atau perkalian, dan seterusnya, silahkan diqiyaskan sendiri, dan saya jamin sampai kiamat tidak akan selesai orang yang menulis berbagai cara untuk mendapatkan angka sepuluh, belum lagi ditambahi koma, desimal, dan nol yang tak terhingga, ini gegara ada angka nol yang ditemukan di arab sana, dahulu kala. 

 

Jika agama dilihat dari hal seperti demikian, yakni jalan menuju kebenaran, maka semua orang akan menyadari bahwa semua berproses untuk menuju kebenaran, dan toleransi akan lebih dari sekedar konsep, tetapi juga pemahaman bahwa semua yang menuju kebenaran adalah benar, meskipun caranya tidak sama dengan kita. Sekali lagi yang benar itu jalan menuju kebenarannya, meskipun tujuannya tidak sesuai dengan konsep kebenaran kita. 

 

Setidaknya, dengan pemahaman seperti demikian meminimalisir adanya kekerasan atas nama agama, penyegelan masjid, penutupan gereja, pembantaian atas nama jihad, bahkan sampai perang antar agama. Memang iya di dalam alquran menyatakan "agama yang benar menurut allah adalah islam" (ali imran; 19), namun pertanyaannya adalah apakah kita bisa menjadi islam 100% menurut allah?. Allah itu kan Tuhannya orang banyak, bukan hanya tuhannya orang tertentu saja. Nanti ndak malah seperti kisah Ibrahim yang berdoa untuk diberikan rejeki yang melimpah dan barakah bagi orang yang beriman saja, tapi ia dimarah-marah sama Allah, bahwa orang tidak beriman (kafir) pun diberi rejeki tersebut. (al-baqarah: 126). Kita (manusia) itu terbatas, jadi tak mungkin bisa mencapai sesuatu yang Tak Terbatas, kalau mendekati iya bisa, tapi jika sama persis, tidak bisa.

 

Pembaca yang budiman, sekian dari saya, jika salah memang itu sifat kekurangan saya, jika benar semata dari Tuhan yang maha Entah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun