Mohon tunggu...
Nur Hidayah
Nur Hidayah Mohon Tunggu... -

Seorang Pengajar Writer and blogger

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Larung

18 November 2017   18:22 Diperbarui: 18 November 2017   18:43 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ombak berlarian mengejar ayunan langkah kakiku, angin berhembus pelan namun begitu terasa menggelitik telinga mengoyak rambutku. Kakiku terus melangkah, mengabaikan ombak dan riaknya. Matahari belum juga kunjung menampakkan senyumnya, entah malu entah enggan. Hanya saja semburat kuning keemasan berbinar-binar dari ufuk timur sana. 

Kakiku belum mau berhenti melangkah, pasir putih dan karang kecil yang menyentuh telapak kakiku tak lagi terasa. Alunan kakiku hanya tertuju pada sebuah bukit dengan karang yang cukup besar.

Aku mulai menaiki bukit kecil di ujung pantai, di tengah-tengahnya terdapat tulisan 'Selamat Datang di Bukit Watugilap'. Persis pada tulisan 'Selamat Datang' berada di tengah-tengah bukit, tak begitu luas memang. Namun tak terlalu sempit, karang-karang yang menjadi batu terhampar di bukit ini. Di sekitar bukit terdapat gazebo untuk duduk sembari beristarahat melihat hamparan laut nan biru dari atas bukit. 

Tak butuh waktu lama untuk sampai di puncak, hanya 5 menit saja sudah sampai di bagian tertinggi bukit ini. Aku tak merasakan lelah, bukit ini masih belum cukup tinggi dibandingkan puncak gunung Merbabu dengan ketinggian 3142 mdpl dan butuh waktu 6-8 jam untuk sampai puncaknya sebelum melewati dua sabana.

Hempasan angin terasa cukup kencang di ketinggian sini. Aku memejamkan mata, sesekali kubuka dan kurentangkan tangan menyibak angin yang datang kemudian pergi. Kupejamkan mata lagi, sesekali ku lihat ombak di bawah yang menghantam karang-karang dibawah bukit sana. Sejenak terbersit, akankah terasa sakit jika tubuhku terhantam ombak atau terhantam karang yang tajam? 

Mungkin jika tubuhku terhantam ombak bahkan terbentur karang tak kan terasa sakit sebab dihempaskan tanpa tahu kemana perginya jauh lebih menyakitkan. Biarlah, kupejamkan mata lagi dan lagi sembari menyibak angin dan mengumpulkan kepingan-kepingan memori yang pernah kulalui.

***

Mereka bilang dimana ada aku pasti ada dia, dimana mereka melihatku layaknya mereka melihat dia. Bahkan senyum kami sama-sama mengembang, kami pun sama-sama tak banyak bicara. Jika mereka melihat kami mereka akan ikut tersenyum, seolah duka tak kami izinkan singgah di ruang hati barang sebentar saja. Mereka bilang kami layaknya Radha dan Krisna pada epos Mahabarata, karena dimana namaku disebutkan pasti mereka akan ingat namanya.

Memang aku Radha dan dia Krisna, meskipun kita bukan seperti pasangan kebanyakan. Namun, hubungan kita cukup unik. Aku bahkan terkadang tidak menganggapnya sebagai pasangan justru dia lebih tepat sebagai guruku. Aku tidak tahu persis kapan Krisna meresmikan hubungan kita. Kita pun tidak pernah merayakan ulang tahun bersama dengan memotong kue dan tiup lilin lengkap dengan hadiahnya. Aku pun hanya mengiyakan dan menyetujui caranya. 

Aku seperti adiknya yang sering merajuk meminta bantuannya atau sekadar meminta ditemani. Aku sering merengek seperti anak kecil yang minta dibelikan permen jika dia mengabaikanku karna kesibukannya.

"Kamu itu harus mandiri Ra" kata Krisna pada waktu itu.

"Kan ada kamu, kamu kan yang bilang sendiri bakal selalu ada buat aku"

"Iya, memang aku selalu ada buat kamu, tapi kamu harus tetep belajar mandiri deh" dia berkata sembari tersenyum mengelus kepalaku.

"Iya, aku bakal belajar mandiri, tapi nanti. Selama bareng kamu aku bakal begini aja dulu" protesku dengan nada bercanda.

Entah apa maksud Krisna menyuruhku mandiri pada waktu itu. Aku mengangggap tak perlu mandiri karena dia memang selalu ada buatku. Menjemputku ketika pulang kerja, atau bahkan sekedar menemaniku ketika aku merasa butuh refreshing dengan penatnya pekerjaanku.

***

Suatu sore saat aku pulang kerja dia tiba-tiba sudah berdiri di depan kantorku, padahal waktu itu aku tidak memintanya untuk menjemput. Aku merasa terkejut, ada angin apa dia tiba-tiba datang tanpa mengatakan terlebih dahulu. Padahal sebelumnya aku sudah bilang akan keluar untuk minum teh bersama Grace teman kerjaku. Senyumnya mengembang, aku tak berprasangka buruk padanya. Pikirku mungkin dia akan memberiku kejutan.

"Lho, itu bukannya Krisna ya Ra?" tanya Grace padaku.

Di sudut depan sana Krisna melambaikan tangan dan mengembangkan senyuman. Aku dan Grace berjalan menghampirinya.

"Kamu kok ada disini?"

"Iya, kan jemput kamu Ra" aku terheran-heran dengan jawabannya. Orang ini memang punya aturan main sendiri, pikirku.

"Tadi aku kan udah bilang mau jalan sama Grace" jawabku sambil mengernyitkan dahi.

"Jalan sama Grace besok aja ya? Aku pengen ngobrol sama kamu" pintanya dengan nada memelas.

"Yaudah Ra, gak papa besok aja kita jalan. Gih sono ngobrol dulu sama Krisna, kayaknya dia bakal ngasih kejutan nih bau-baunya."

"Beneran Grace, gak papa nih? Ih, aku jadi gak enak sama kamu."

"Iya gak papa, santai aja lagi. Kayak sama siapa aja. Have fun yah, bye" Grace berlalu melambaikan tangan pada kami.

Hatiku penuh tanya, tatapan dan seneyumnya begitu penuh makna. Tidak biasanya seperti ini, dia bukan tipe orang yang suka ngasih kejutan begini sepertinya. Aku memasuki mobilnya, sit belt kulilitkan. Aku menatapnya dalam, dia masih dengan senyumnya yang mengembang.

"Ada apa sih? Tumbennya kamu begini. Mau ngasih aku kejutan ya? Aku tak sabar untuk menghujaninya pertanyaan.

"Cuma pengen ngobrol sama kamu Ra, kita cari tempat yang enak yuk dimana ya? Kamu pengennya dimana Ra?"

"Aku udah laper, cari yang deket sini aja deh."

Mobil berhenti di depan Cafe Giggle Box, aku dan Krisna masuk mencari tempat duduk yang cukup nyaman untuk ngobrol. Sambil menunggu pesanan datang kita hanya mengobrol ringan saja, tidak ada obrolan yang tidak seperti biasanya. Dari saku jaket yang dikenakannya, Krisna mengeluarkan sesuatu. Kotak merah kecil. 

Mataku berbinar menunggu kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku begitu terheran-heran akan sikapnya, dia yang tidak biasanya memberikan kejutan tiba-tiba memberiku kejutan.

"Kotak kecil itu pasti cincin, dia akan mengajakku menikah?" gumamku dalam hati dengan wajah yang sudah memerah.

"Ra, ini buat kamu" begitu singkat yang diucapkan Krisna. Tidak ada kalimat 'Will you merry me' seperti kebanyakan pasangan yang lain. Dasar! Dia memang tidak romantis. Aku membuka kotak merah itu, benar cincin emas bermata satu.

"Cincin? Makasih Kris. Tapi maksud dari cincin ini apa? Aku pake cincin ini ya"

"Gak ada maksud apa-apa Ra. Selama kamu masih sayang sama aku, pake cincin itu. Kalau kamu udah gak sayang sama aku, kamu boleh lepas cincin itu. Jadi pake terus ya" senyumnya mengembang dan dia memakaikan cincin di jari manisku.

Aku tak menanyakan bahwa itu tanda dia melamarku atau tidak, karna kata-kata itu tak keluar dari mulutnya. Aku hanya tersenyum, antara bahagia dan heran akan sikapnya. Tak ku pikirkan terlalu dalam. First time, dia memberiku kejutan sudah cukup membuatku bahagia. Dia mengantarkanku pulang. Gerimis malam itu sebagai saksi dan harapan kebahagiaan semoga akan menyertai kita.

***

Beberapa hari terakhir ini Krisna tidak mengabariu bahkan tidak mampir ke kantorku seperti biasanya. Aku tak menyadari bahwa obrolan di Cafe Gigle Box malam itu merupakan pertemuan terakhir kita. Setelah hari itu, dia menghilang bak ditelan bumi. Hebatnya tak ada kabar pun tak ada pesan sama sekali. Nomornya sama sekali tidak dapat ku hubungi, sosial media pun tidak aktif lagi. 

Aku mencoba menghubungi teman dekatnya Danish dia hanya mengatakan Krisna pindah tempat kerja. Sekali waktu aku datang ke kantor Krisna, untuk bertemu dengan Dannish menanyakan kemana perginya. Dannish hanya mengatakan tidak tahu. Dia pun sama, tak dapat menghubungi Krisna.

Ada apa sebenarnya dengannya? Bahkan ketika aku datang kerumahnya tak ada satupun orang berada di rumah. Berkali-kali aku datang, ketika kutanyakan pada tetangga sebelah rumahnya, jawaban mereka sama Krisna dan keluarganya telah pindah beberapa waktu lalu. Mereka pun tidak tahu alamat dan tidak diberi nomor handphonenya.

Krisna, orang itu sebenarnya pergi kemana? Satupun tidak ada yang bisa kuhubungi. Secepat itu dia menghilang. Jadi, inikah maksud dari perkataanmu aku harus mandiri? Jadi ini alasanmu menyuruhku agar belajar mandiri? Ternyata kamu akan meninggalkanku begitu saja bak pecundang, tanpa pesan tanpa kabar.

Malam itu, dan cincin itu bukankah sebagai tanda harapan baru? Aku telah salah mengira, ternyata cincin itu sebagai tanda perpisahan. Hanya saja aku tidak menyadarinya. Menghapus kenangan bersamamu tak semudah menghapus goresan di atas pasir. Dimana kamu yang selalu aku banggakan? Ketika orang lain memuji sikapku, kamulah orang kedua setelah ayahku yang aku banggakan karena telah mengajariku banyak hal. Namun sekarang, kamu bak pecundang untuk sekadar berpaminatan dan mengatakan selamat tinggal saja tidak sempat.

***

Tiga tahun kemudian

Satu tahun, dua tahun, tiga tahun. Ya, sudah tiga tahun kamu menghilang. Dan aku belum bisa menghapus kepingan memori bersamamu. Mungkin inilah saat yang tepat, aku harus merelakan semua memori tentangmu, Krisna. Biarkan Nyi Rara Kidul Ratu Pantai Selatan sebagai saksi bisu  memori tentangmu yang larung bersama riak-riak ombak yang menghantam karang.

Hari ini, bersama sahabat-sahabatku kami berlibur ke Yogyakarta. Aku sengaja meminta pada mereka agar sampai di pantai Indrayanti sebelum matahari terbit. Meskipun mereka memprotes, aku merajuk dan mengatakan ingin menikmati sunrisedi pantai. Kemudian mereka mengiyakan, mungkin karna kasihan melihatku terlalu banyak diam dan melamun. Hanya kami berlima, aku, Grace, Monik, Kinan, dan Bela. Sebelum matahari terbit aku meninggalkan mereka yang masih tertidur di mobil.

Aku menghela nafas begitu panjang, tak terasa sudah cukup lama kupejamkan mata disini dan sinar matahari bak berlian yang menyilaukan memaksa mataku untuk terbuka. Sejenak mataku terbuka, kulangkahkan kakiku. Nafas ku atur dan kutarik dalam-dalam. Ya, inilah saatnya. Saat yang tepat untuk mengikhlaskan bagian dari hidupku. Biar hanyut terseret ombak laut selatan dan hancur menjadi kepingan remah oleh karang yang tajam. Aku sudah lelah dan menyerah. Menunggu tanpa kepastian.

Selain berlibur kedatanganku ke pantai untuk melarung barang berharga pemberian Krisna. Sudah saatnya aku mengiikhlaskannya pergi, sudah saatnya aku membuang cincin yang diberikannya malam itu malam terakhir sekaligus pertemuan terakhir sebelum dia menghilang tanpa sepatah kata pun. Aku harap tak hanya cincin saja yang larung bersama ombak, tapi memori tentangnya pun akan segera terkikis seperti karang yang terkikis air laut. Agar aku bisa melanjutkan hidupku tanpa kenangan tentangnya.

Sebelum ku ayunkan tangan tiba-tiba jantungku seolah berhenti berdetak, darahku mengalir begitu derasnya berdesir hingga keurat-urat nadi. Kotak kecil berisi cincin masih tergenggam ditanganku. Sesorang memegang lenganku begitu kencang. Sentuhan ini rasanya seperti ku kenal. Aroma parfumnya seolah tidak asing di hidungku. Orang yang memegang lenganku kemudian memanggil namaku.

"Jangan Radha!" Suara itu.

Aku menoleh kearah suara itu. Bibirku kelu seketika, tertegun melihat rupa wajah yang samar-samar terpancar cahaya mentari pagi.

***

Semarang, 17 November 2017

@runyahida

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun