Mohon tunggu...
Janu Kuki
Janu Kuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ketua RT Tandingan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

SOLUSI ALTERNATIF ANTISIPASI KEBAKARAN HUTAN

13 November 2015   10:49 Diperbarui: 13 November 2015   11:56 2147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ramai diberitakan kebakaran hutan dan dampak yang diakibatkan beberapa waktu lalu, banyak sekali bermunculan solusi mengatasi kebakaran hutan dan asap. Semuanya merupakan solusi yang muncul setelah terjadi kebakaran, bukan solusi tentang bagaimana supaya hutan tidak terbakar (baca : dibakar).

Beberapa waktu lalu, saya bertemu dan mengobrol soal kebakaran hutan dan dampaknya dengan seorang mantan Kakanwil Departemen Transmigrasi era tahun 80an, Pak HMP Simatupang namanya. Rupanya beliau ini memiliki suatu solusi alternatif untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan, yang mana telah saya tuliskan sebagai berikut :

------------------------------------------------------------------------------------------------------

A S A P 
oleh HMP Simatupang 

Beberapa bulan belakangan sejak September 2014 hingga saat ini Indonesia kembali mengalami kebakaran hutan. Kebakaran hutan dapat terjadi secara alamiah atau akibat kegiatan manusia. Kebakaran hutan secara alami banyak dipicu oleh petir, lelehan lahar gunung api, dan dalam kondisi musim kering yang panjang gesekan antara pepohonan juga dapat menimbulkan percikan api. Kebakaran hutan juga dapat terjadi akibat kegiatan manusia antara lain dalam rangka membuka lahan untuk perkebunan atau karena kelalaian; tidak mematikan api unggun atau membuang puntung rokok yang masih menyala.

Di Indonesia, 99% kejadian kebakaran hutan disebabkan oleh aktivitas manusia baik sengaja maupun tidak sengaja. Hanya 1% diantaranya yang terjadi secara alamiah. Pembukaan lahan untuk perkebunan menjadi pemicu kebakaran hutan, karena mempunyai efek menguntungkan yaitu cepat dan menciptakan area yang subur pada lahan bekas terbakar.

Namun sesungguhnya kebakaran hutan membuat dampak yang buruk pada kehidupan manusia dan alam. Kebakaran hutan menyebabkan kematian dan kerusakan properti dan infrastruktur. Tak sedikit juga meminta korban jiwa manusia. Bahkan kebakaran besar tak jarang harus dilakukan evakuasi permukiman penduduk. Kebakaran hutan merupakan bencana bagi keanekaragaman hayati. Tak terhitung berapa jumlah spesies tumbuhan dan plasma nutfah yang hilang. Akibat rusaknya vegetasi menyebabkan hutan tidak bisa menjalankan fungsi ekologisnya secara maksimal. Kebakaran hutan juga menyebabkan hilangnya habitat bagi satwa liar penghuni hutan. Kebakaran hutan banyak melepaskan emisi karbon ke atmosfer. Karbon yang seharusnya tersimpan dalam biomassa hutan dilepaskan dengan tiba-tiba. Apalagi bila terjadi di tanah gambut, dimana lapisan tanah gambut yang kedalamannya bisa mencapai 10 meter ikut terbakar. Pengaruh pelepasan emisi ini ikut andil memperburuk perubahan iklim, meningkatkan suhu rata-rata permukaan bumi. 

Asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan berdampak langsung pada gangguan kesehatan, khususnya gangguan saluran pernapasan. Asap mengandung sejumlah gas dan partikel kimia yang menggangu pernapasan seperti seperti sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), formaldehid, akrelein, benzen, nitrogen oksida (NOx) dan ozon (O3).

Di penghujung abad 20 dunia pernah dikejutkan dengan bencana kebakaran hutan. Pada tahun 1997-1998 ketika bencana el nino melanda, bumi kita kehilangan hutan seluas 25 juta hektar akibat kebakaran. Peristiwa ini berdampak langsung pada ekosistem global dengan naiknya emisi karbon dan hilangnya keanekaragaman hayati. Kebarakan hutan saat itu dianggap sebagai bencana lingkungan terbesar sepanjang abad. Dalam bencana tersebut Indonesia mengalami kehilangan hutan paling luas. Diperkirakan sekitar 9,7 juta hektar hutan Indonesia hangus terbakar. Kerugian yang diderita akibat bencana ini hampir mencapai US$ 10 miliar.

Kebakaran hutan di Indonesia telah terjadi sejak lama. Berikut ini data kebakaran hutan yang terjadi dalam kurun waktu 1980 s/d 2005 di Indonesia :

  • 1982 dan 1983 : 3,6 juta hektaree
  • 1987 : 49.323 hektaree
  • 1991 : 118.881 hektaree  
  • 1994 : 161.798 hektaree
  • 1997dan 1998         : 9,8 juta hektaree
  • 1999 : 44.090 hektaree
  • 2000 : 8.255 hektaree
  • 2001 : 14.351 hektaree
  • 2002 : 36.691 hektaree
  • 2003 : 3.745 hektaree
  • 2004 : 13.991 hektaree
  • 2005 : 13.328 hektaree

Tahun 2015 luas hutan dan lahan terbakar diperkirakan mencapai 1, 7 juta hektaree.

(Data: sebelum 1997 dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) dan Canadian International Development Agency (CIDA) - Collaborative Environmental Project in Indonesia (CEPI). Data 1997/1998 dari Asian Development Bank (ADB) . Data 1999-2005 berasal dari Departemen Kehutanan Indonesia)

Kebakaran hutan di Indonesia tahun ini diyakini akan mencatat rekor sebagai yang terparah dalam sejarah. Penyebabnya adalah fenomena el Nino yang membuat kondisi cuaca mengering dan memperpanjang kemarau. Kebakaran hutan menyebakan kabut asap yang melanda Sumatera dan Kalimantan dan diyakini akan menjadi yang terpanjang dalam sejarah. Ribuan orang dilaporkan terkena infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) sejak kabut asap menggelayut di langit Sumatera dan Kalimantan. ISPA sejatinya disebabkan oleh infeksi virus, bukan oleh kabut asap. Tapi polusi udara yang parah, ditambah dengan melemahnya sistem kekebalan tubuh bisa mengakibatkan gangguan pernafasan. ISPA selama ini banyak menjangkiti anak-anak dan kaum manula. Kabut asap juga berpotensi mengakibatkan gangguan pernafasan dan penyakit paru kronik yang dapat menyebabkan kematian. Saat ini dikabarkan kabut asap akibat kebakaran hutan sudah menyebabkan korban meninggal dunia sebanyak 12 jiwa di Sumatera dan kalimantan.

Total nilai kerugian akibat bencana asap di tahun 2015 belum bisa dihitung. Namun, berdasarkan data BNPB, kerugian akibat kebakaran di Indonesia yang terbesar terjadi pada tahun 1997, yaitu mencapai 2,45 miliar dollar AS. Saat ini, untuk Jambi saja kerugian diperkirakan Rp 2,6 triliun akibat pencemaran udara yang timbul oleh kabut asap, dampak ekologis, ekonomi, kerusakan tidak ternilai, dan biaya pemulihan lingkungan. Nilai kerugian itu belum termasuk kerugian sektor ekonomi, pariwisata, dan potensi yang hilang dari lumpuhnya penerbangan. Kerugian yang terjadi di Provinsi Riau akibat kabut asap juga tidak ternilai. Luas lahan yang terbakar saat ini sudah mencapai 3.200 ha. Tahun 2014, luas areal yang terbakar lebih dari 60.000 ha dan penderita ISPA lebih dari 60.000 orang. Lebih dari sepekan, anak sekolah di Pekanbaru, Pelalawan, Bengkalis, Kuantan Singingi, dan Indragiri Hulu diliburkan. Menurut Kepala BNPB kerugian akibat kebakaran lahan dan hutan serta bencana asap di Riau tahun 2014, berdasarkan kajian Bank Dunia, mencapai Rp 20 triliun.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam mengatasi kebakaran hutan dan kabut asap. Penggunaan pesawat water bombing, pesawat hujan buatan serta pengerahan aparat mulai dari pihak militer hingga PNS telah dilakukan dalam upaya memadamkan titik api. Beberapa negara juga terlibat membantu upaya pemadaman, Singapura, Malaysia dan Australia, bahkan Jepang memberikan bantuan berupa fire extinguisher yang merupakan bahan kimia foam agent untuk mematikan api. Namun hingga saat ini berbagai upaya yang dilakukan tidak membuahkan hasil yang signifikan.

KAJIAN PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN

Beberapa tahun yang lalu, saat menjadi Kepala Kantor Wilayah Departemen Transmigrasi di Kalimantan Timur (Kaltim), pada tahun 1982 – 1983 terjadi kebakaran hutan yang besar di Kaltim yang meluas hingga area pemukiman penduduk transmigran. Puluhan ribu rumah terbakar, lahan perkebunan dan pertanian milik transmigran rusak dan menyebakan kerugian moral dan material pada para transmigran. Kanwil Departemen Transmigrasi Kaltim saat itu telah melakukan survey dan upaya-upaya penanganan kebakaran hutan serta berusaha meminimalisir dampak yang ditimbulkan. Secara jujur harus diakui upaya penanganan kebakaran hutan tersebut tidak menghasilkan solusi yang tepat, dan hingga saat ini kebakaran hutan masih tetap terjadi dan masih tetap sulit diatasi.

Berdasarkan survey dan penelitian yang dilakukan Kanwil Dept. Transmigrasi Kaltim saat itu telah diinventarisir penyebab kebakaran hutan :

  • Bahwa harus diakui ada perusahaan perkebunan yang membuka lahan dengan cara membakar hutan, yang mana sesungguhnya kegiatan ini sebenarnya diatur dengan UU dan peraturan-peraturan daerah.
  • Kebiasaan penduduk setempat yang membuka lahan untuk bercocok tanam setiap musimnya dengan cara membakar sebagian lahan hutan

Dari sini diketahui bahwa membuka lahan perkebunan baik oleh perusahaan maupun oleh penduduk perorangan dengan membakar hutan merupakan cara yang paling dipilih karena cepat dan berbiaya murah. Namun sayangnya mereka belum atau tidak memahami bahwa cara ini menciptakan potensi perluasan titik api ke area lain karena faktor angin, cuaca kering dan lain-lainnya sehingga menyebabkan kebakarannya menjadi tidak terkendali.

Dengan aturan dan pengendalian yang ketat sekalipun upaya penanganan kebakaran hutan tetap akan sulit diatasi. Masih sangat memungkinkan terjadi perluasan area hutan yang terbakar karena ada yang diluar dari faktor kemampuan manusia seperti : arah angin, kondisi cuaca yang mengalami perubahan iklim (dapat merubah trend musim pembukaan lahan untuk berkebun) dan kondisi hutannya itu sendiri; --dalam beberapa kasus pemadaman kebakaran, api yang mati hanya pada bagian atas, sementara api yang berada pada rongga-rongga bawah pepohonan belum padam dan berpotensi membesar kembali--.

Disamping itu upaya pemadaman kebakaran dan penanggulangan atas kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk penanggulangan kebakaran hutan tersebut.

Seperti kejadian kebakaran pada umumnya, secara teoritis kebakaran hutan terjadi karena ada interaksi antara keberadaan bahan bakar (kayu pepohonan, perdu, daun,..), oksigen dan panas (api  yang dihasilkan dari adanya petir dan gesekan daun kering adan api karena ulah manusia; membakar pohon, api unggun, puntung rokok menyala) pada kondisi tertentu. Bila ketiga unsur tersebut ada secara bersamaan dan telah mencapai kondisi tertentu, misalnya kondisi membakar hutan untuk membuka lahan, maka kebakaran akan terjadi. Oleh karena itu prinsip untuk menanggulangi kebakaran hutan adalah dengan memutus salah satu unsur tersebut.

Artinya apabila mencegah kebakaran hutan harus dengan memutus salah satu dari ketiga unsur maka tidak mengkin memutus oksigen yang jelas-jelas dihasilkan alam, memutus panas (api) juga tidak mungkin, karena tidak semua api yang membakar lahan adalah karena manusia, dalam hal menghasilkan api, alam juga berperan secara alamiah. Di Indonesia sendiri peristiwa alam yang menyebabkan kebakaran hutan, misalnya karena petir/ gesekan daun kering hanya sebanyak 1% dari seluruh kasus kebakaran hutan, hal ini karena kondisi Indonesia yang berada pada area tropis yang hutannya lembab. Jadi yang paling memungkinkan adalah dengan memutus bahan bakarnya yaitu kayu pepohonan, perdu dan daun yang ada di hutan.

Selama ini pembakaran hutan yang dilakukan untuk membuka perkebunan adalah cara yang cepat dan murah. Jangankan petani perorangan, perusahaan perkebunan pun kerap melakukan hal yang sama. Maka dari itu untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan harus ada perubahan filosofi cara pandang dan pola pikir pada masyarakat. Harus ada pendekatan ekonomi. Kayu pohon, belukar, perdu, ilalang dan daun yang mudah terbakar tidak lagi dibakar tetapi diolah menjadi bahan industri sehingga memiliki nilai ekonomi.

Kayu pohon, belukar, perdu, ilalang dan daun liar di hutan pernah diteliti memiliki kandungan cellulosa. Cellulosa merupakan karbohidrat utama yang disintesis oleh tanaman dan menempati hampir 60% komponen penyusun struktur tumbuhan kayu. Dalam dunia industri cellulosa dapat digunakan sebagai bahan baku kertas, tekstil (serat, rayon) dan industri bahan penyerap. Cellulosa bahkan dapat digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan propelan atau bahan peledak.

Sebagai upaya pencegahan ‘membakar hutan’ untuk membuka perkebunan, Pemerintah perlu melakukan pendekatan ekonomi dengan memberikan nilai ekonomi terhadap kayu pohon, belukar, perdu, ilalang dan daun yang mengandung cellulosa tersebut. Caranya adalah dengan membeli kayu pohon, belukar, perdu, ilalang dan daun untuk dimanfaatkan sebgai bahan baku industri berbasis cellulosa. Untuk terlaksananya kegiatan ini, Pemerintah juga membantu para pembuka lahan tersebut dengan ketersediaan perlengkapan (alat potong) dan segala ekuipmen untuk pengemasan (packing) dalam bentuk kubus padat. Selain itu Pemerintah juga membangun industri-industri yang menggunakan bahan baku cellulosa yang tidak jauh dari hutan. Untuk terlaksananya pemikiran ini perlu ada Political Will dari Pemerintah dengan mendanai kegiatan ini dari APBN/ APBD. Berapapun biaya dan upaya yangg dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan pasti feasible dibandingkan biaya financial dan kerugian lainnya akibat kebakaran.

Secara ringkas konsep atau pemikiran mengenai kebakaran hutan dan penanggulangan asap ini adalah sebagai berikut :

  1. Oleh Pemerintah/ Presiden harus dicanangkan 'Political Will' pemerintah bahwa ke depan dalam mengatasi asap harus dilakukan melalui budaya mencegah kebakaran ketimbang mengatasi kebakaran
  2. Upaya pencegahan kebakaran seluruhnya dilakukan melalui pendekatan ekonomi.
  3. Frame work pendekatan ekonomi harus dibuat dengan melibarkan semua stake holder yang terkait dengan upaya ini yaitu Kehutanan, Pertanian dan Perindustrian sebagai major stake holder, serta petani; pemda dan swasta sebagai supporting stake holder.
  4. Adapun prinsip pendekatan ekonomi adalah dengan membeli material yang selama ini dibakar atau terbakar oleh petani/penggarap dan atau oleh perkebunan besar  dan perkebunan rakyat, untuk dijadikan bahan dasar industri cellulosa.
  5. Kepada petani/penggarap diberikan bantuan hibah berupa alat dan perlengkapan yg memungkin mereka memotong tanaman perdu, belukar, rumput ilalang dan material lainnya yang selalu terbakar dalam musim kemarau dan peralatan untuk pengepakan/pemadatan tersebut dalam bentuk kubus ( spt Hay, di negara lain ) sehingga mudah menyimpan dan mengangkutnya.
  6. Segera dilakukan konsolidasi para stake holder seperti sektor perindustrian untuk mengkaji dan menyiapkan industri pengolahan bahan yang sudah berbentuk kubus itu. Keterlibatan pemda dan pihak swasta dalam konsolidasi ini sangat diperlukan. Pertanian dan Kehutanan menyiapkan program-program sosialisai kepada para petani/penggarap perkebunan rakyat/ perkebunan besar dan masyarakat sekitar tentang konsep pencegahan kebakaran melalui upaya membeli dan mengola bahan yang mudah terbakar. Program sosialisasi ini harus dilakukan secara masif, sustain dan berskala nasional sehingga seluruh komponen bangsa menyadari bahwa mencegah kebakaran hutan ini merupakan kewajiban kita bersama.
  7. Agar dalam penerapannya tidak terjadi kesalahan disarankan dilakukan uji coba pelaksanannya melalui pilot project di satu propinsi.

Masalah asap yang berkepanjangan ini yang telah membuat jutaan orang menderita sudah sampai pada titik kulminasi sehingga jika kita tidak berani mengambil kebijakan-kebijakan baru dan berfikir ‘out of the box’, tetapi tetap bertumpu pada budaya memadamkan kebakaran sangat dikhawatirkan masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada pemerintah atau bahkan hal-hal lain yang lebih buruk.                                    

Para orang tua kita memberikan pesan kepada kita melalui  sebuah pantun yang cukup terkenal berbunyi sebagai berikut : "SEDIA PAYUNG SEBELUM HUJAN" Dalam hubungan ini adalah sangat bijak jika kita bertumpu kepada nasihat itu dengan melakukan upaya mencegah kebakaran sebelum kebakaran itu datang.

Akhirnya ulasan ini ditutup dengan harapan pemerintah dapat segera mengambil langkah strategis untuk dapat mewujudkannya secara ASAP,,, As Soon As Possible. Semoga.
------------------------------------------------------------------------------------------------------

Memang saat ini Indonesia mulai memasuki musim hujan, titik-titik api di area terbakar akan padam dan orang akan mulai mengalihkan obrolan bukan lagi soal kebakaran hutan, tapi mungkin soal banjir dan longsor. Meski demikian paling tidak selalu ada pemikiran-pemikiran anak bangsa untuk memberikan kontribusi mungkin yang berguna bagi Ibu Pertiwi, pemikiran yang tidak terbatasi oleh musim, tren dan gaya hidup kebanyakan. Solusi alternatif antisipasi kebakaran hutan ini setidaknya menjadi upaya pencegahan terjadinya 'kebakaran jenggot' banyak orang ketika kebakaran hutan terjadi lagi...

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun