Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 85/PUU-XX/2022 menjadi babak baru dalam penyelesaian sengketa pemilu dan pilkada di Indonesia. Putusan ini berawal dari permohonan uji materi yang diajukan Perludem terkait Pasal 157 ayat (1), (2), dan ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (selanjutnya disebut UU Pilkada). Jika sebelumnya pemilihan umum dibedakan dengan pemilihan kepala daerah melalui Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013, maka kini  pemilu disamakan dengan pilkada.
Setidaknya ada empat dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut MK) memutuskan demikian, yakni: 1). Secara de facto dan de jure, pilkada dan pemilu diselenggarakan lembaga yang sama; 2). Prinsip-prinsip dalam pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 juga diterapkan dalam pilkada; 3). UU yang mengatur lembaga penyelenggara pemilu ini secara normatif tidak membedakan antara penyelenggaraan pemilu dengan pilkada; 4). Secara sumberdaya, menyamakan pemilu dan pilkada lebih efisien karena diselenggarakan oleh lembaga yang sama.
Dengan mempersamakan pilkada dan pemilu, maka merujuk Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, MK menjadi satu-satunya lembaga penyelesaian sengketa hasil pemilu dan pilkada. Secara otomatis, keberadaan Badan Peradilan Khusus Pilkada yang sebelumnya diamanatkan Pasal 157 UU Pilkada menjadi tidak relevan lagi.
Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu
Sayangnya, proses penyelesaian sengketa pemilu di MK sendiri masih menyisakan beragam persoalan. Permasalahan utama adalah apakah MK hanya sebatas mengadili permasalahan perhitungan suara atau dapat terlibat lebih jauh dalam mengadili bahwa hasil pemilu tersebut diperoleh melalui proses pemilu yang konstitusional? Memang jika diruntut sejarah pembentukan MK di berbagai negara, fungsi awal dan utama MK pada umumnya adalah sebagai lembaga judicial review UU terhadap konstitusi. Bahkan menurut risalah sidang penyusunan UUD 1945 di BPUPKI, ide yang sama juga disuarakan Muhammad Yamin, yakni MK merupakan lembaga penguji UU terhadap UUD.
Demikian juga ketika sidang pembahasan perubahan UUD 1945 (1999-2002), MK pada awalnya diusulkan untuk memiliki tiga kewenangan yakni hak uji materil undang-undang, memberikan putusan terkait sengketa kewenangan antarlembaga tinggi negara dan menjalankan kewenangan lain yang diberikan UU. Kewenangan MK untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu kemudian lahir dari kewenangan ketiga. Walau pada akhirnya UUD NRI Tahun 1945 mengatur kewenangan MK untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu (Refly Harun, 2017).
Pemilihan frasa 'perselisihan hasil pemilihan umum' dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 juga masih menyisakan beragam penafsiran. Tak sedikit yang menafsirkan bahwa frasa perselisihan hasil pemilihan umum lebih spesifik dari masalah pemilu, perkara pemilu maupun sengketa pemilu. Berdasarkan penafsiran tersebut, maka MK tidak perlu mengadili terlalu jauh proses pemilu, tetapi hanya pada perselisihan perhitungan suara.
Dengan keberadaannya sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution), seharusnya setiap kewenangan MK, termasuk kewenangan menyelesaikan 'perselisihan hasil pemilihan umum' harus dimaknai dalam kerangka menjaga dan menegakkan konstitusi.Â
Dalam konteks pemilu, maka MK  harus  menjaga dan menegakkan pemilu yang konstitusional. Pemilu yang konstitusional adalah pemilu yang dilandasi nilai-nilai yang tercantum dalam UUD NRI Tahun 1945, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Namun dalam praktiknya, MK ternyata tidak konsisten. Pada satu sisi,  MK kukuh untuk mengadili sengketa hasil, namun di sisi lain beberapa putusan MK juga berhubungan dengan penyelesaian sengketa proses.
Syarat Ambang Batas Pilkada
Permasalahan lain yang masih perlu dibenahi oleh MK adalah pemberlakuan syarat ambang batas selisih suara dalam mengajukan permohonan sengketa hasil pilkada. Berdasarkan ketentuan Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016, peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan sebagai berikut:Â
Provinsi dengan penduduk di bawah 2.000.000 jiwa, maka ambang batas selisih suara pemohon dengan pemilik suara terbanyak adalah 2 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi. Provinsi dengan jumlah penduduk 2.000.000-6.000.000 jiwa, ambang batas 1,5 persen. Provinsi dengan jumlah penduduk 6.000.000-12.000.000 jiwa, ambang batas 1 persen dan Provinsi dengan penduduk lebih dari 12.000.000 jiwa, maka ambang batasnya adalah 0,5 persen.
Selain itu, Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara dengan ketentuan selisih suara dengan calon pemilik suara terbanyak sebagai berikut: Kabupaten/Kota dengan penduduk di bawah 250.000 jiwa, maka ambang batas selisih suara pemohon dengan pemilik suara terbanyak adalah 2 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk 250.000-500.000 jiwa, ambang batas 1,5 persen. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk 500.000-1.000.000 jiwa, ambang batas 1 persen dan Kabupaten/Kota dengan penduduk lebih dari 1.000.000 jiwa, maka ambang batasnya adalah 0,5 persen.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka MK menjadi lembaga yang sangat urgen di dalam penentuan pemenang Pilkada karena Putusan MK bersifat final dan mengikat. Sayangnya, keberadaan ambang batas tersebut telah mengakibatkan banyak perkara perselisihan hasil pilkada yang bermuara di MK akhirnya kandas.
Padahal, sebagai putusan pengadilan, putusan MK tentu harus dihormati. Namun, hal ini harus menjadi pelajaran kembali dalam memperbaiki mekanisme penyelenggaraan pilkada. Ketentuan selisih suara 0,5 persen -- 2 persen sebagai ambang batas legal standing untuk berperkara PHP di MK merupakan salah satu bentuk pengingkaran terhadap keadilan substansial. Apalagi hal tersebut diatur secara eksplisit di dalam UU.
Simplifikasi Permasalahan Pilkada
Sekali lagi, pengaturan ambang batas selsiih suara merupakan salah satu bentuk simplifikasi permasalahan pilkada dan mempersempit kesempatan bagi warga negara dalam mencari keadilan. Padahal, pelanggaran-pelanggaran yang lebih masif juga sangat berpotensi terjadi dalam pilkada dengan selisih suara yang jauh lebih besar. Maka sangat disayangkan ketika pembuat UU tidak mempertimbangkan hal tersebut.
Syarat ambang batas selisih suara juga akan menjadi bom waktu yang dapat mencederai pemenuhan hak konstitusional warga negara dalam berdemokrasi. Bukan tak mungkin syarat ambang batas ini akan menjadi strategi jitu para peserta pilkada supaya mengusahakan perbedaan suara lebih dari 2 persen. Harapannya tentu supaya perkara tersebut tidak memenuhi syarat formal untuk diajukan ke MK. Oleh karena itu, menjelang pilkada 2024, ketentuan ini harus menjadi perhatian besar pembuat UU. Bagaimanapun, pencarian keadilan tidak boleh dibatasi hanya dengan syarat formalitas seperti itu.
Apresiasi Untuk MK
Kabar baiknya, mulai penyelesaian sengketa hasil Pilkada 2020, MK melakukan berbagai upaya agar keberadaan ambang batas ini tidak sekadar simplifikasi penanganan perkara pilkada. Di satu sisi, MK tetap mematuhi Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016, namun di sisi lain MK tetap memberikan peluang bagi perkara yang tidak memenuhi ambang batas untuk maju sampai ke tahap pembuktian. Dengan demikian, tetap terbuka peluang bagi MK untuk menerapkan mekanisme pelanggaran terstruktur, sistematis dan massif dalam mengadili perkara pilkada.
Penulis berharap, di usia yang 20 tahun, MK tetap konsisten dengan terobosan-terobosan hukum tersebut. Demi kemaslahatan bersama, MK telah beberapa kali 'menabrak' UU bahkan UUD melalui putusan-putusannya. MK juga mengeluarkan beberapa putusan ultrapetita atau bahkan berubah dari negative legislator menjadi positive legistator. Tujuannya jelas, demi keadilan substansial, bukan semata-mata keadilan prosedural.
MK tidak sekadar mengadili dan menghitung perselisihan suara yang didapatkan para peserta Pilkada. Lebih dari itu, MK juga harus memastikan bahwa hasil tersebut diperolah dari proses yang demokratis dan konstitusional. Akhir kata, semoga MK konsisten sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution), bukan sekadar mahkamah kalkulator. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H