Mohon tunggu...
Januari Sihotang
Januari Sihotang Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Hukum/Konten Kreator

Peminat kajian hukum dan politik ketatanegaraan serta penikmat karya sastra

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator

23 Juli 2023   15:57 Diperbarui: 23 Juli 2023   16:10 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Provinsi dengan penduduk di bawah 2.000.000 jiwa, maka ambang batas selisih suara pemohon dengan pemilik suara terbanyak adalah 2 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi. Provinsi dengan jumlah penduduk 2.000.000-6.000.000 jiwa, ambang batas 1,5 persen. Provinsi dengan jumlah penduduk 6.000.000-12.000.000 jiwa, ambang batas 1 persen dan Provinsi dengan penduduk lebih dari 12.000.000 jiwa, maka ambang batasnya adalah 0,5 persen.

Selain itu, Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara dengan ketentuan selisih suara dengan calon pemilik suara terbanyak sebagai berikut: Kabupaten/Kota dengan penduduk di bawah 250.000 jiwa, maka ambang batas selisih suara pemohon dengan pemilik suara terbanyak adalah 2 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk 250.000-500.000 jiwa, ambang batas 1,5 persen. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk 500.000-1.000.000 jiwa, ambang batas 1 persen dan Kabupaten/Kota dengan penduduk lebih dari 1.000.000 jiwa, maka ambang batasnya adalah 0,5 persen.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka MK menjadi lembaga yang sangat urgen di dalam penentuan pemenang Pilkada karena Putusan MK bersifat final dan mengikat. Sayangnya, keberadaan ambang batas tersebut telah mengakibatkan banyak perkara perselisihan hasil pilkada yang bermuara di MK akhirnya kandas.

Padahal, sebagai putusan pengadilan, putusan MK tentu harus dihormati. Namun, hal ini harus menjadi pelajaran kembali dalam memperbaiki mekanisme penyelenggaraan pilkada. Ketentuan selisih suara 0,5 persen -- 2 persen sebagai ambang batas legal standing untuk berperkara PHP di MK merupakan salah satu bentuk pengingkaran terhadap keadilan substansial. Apalagi hal tersebut diatur secara eksplisit di dalam UU.

Simplifikasi Permasalahan Pilkada

Sekali lagi, pengaturan ambang batas selsiih suara merupakan salah satu bentuk simplifikasi permasalahan pilkada dan mempersempit kesempatan bagi warga negara dalam mencari keadilan. Padahal, pelanggaran-pelanggaran yang lebih masif juga sangat berpotensi terjadi dalam pilkada dengan selisih suara yang jauh lebih besar. Maka sangat disayangkan ketika pembuat UU tidak mempertimbangkan hal tersebut.

Syarat ambang batas selisih suara juga akan menjadi bom waktu yang dapat mencederai pemenuhan hak konstitusional warga negara dalam berdemokrasi. Bukan tak mungkin syarat ambang batas ini akan menjadi strategi jitu para peserta pilkada supaya mengusahakan perbedaan suara lebih dari 2 persen. Harapannya tentu supaya perkara tersebut tidak memenuhi syarat formal untuk diajukan ke MK. Oleh karena itu, menjelang pilkada 2024, ketentuan ini harus menjadi perhatian besar pembuat UU. Bagaimanapun, pencarian keadilan tidak boleh dibatasi hanya dengan syarat formalitas seperti itu.

Apresiasi Untuk MK

Kabar baiknya, mulai penyelesaian sengketa hasil Pilkada 2020, MK melakukan berbagai upaya agar keberadaan ambang batas ini tidak sekadar simplifikasi penanganan perkara pilkada. Di satu sisi, MK tetap mematuhi Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016, namun di sisi lain MK tetap memberikan peluang bagi perkara yang tidak memenuhi ambang batas untuk maju sampai ke tahap pembuktian. Dengan demikian, tetap terbuka peluang bagi MK untuk menerapkan mekanisme pelanggaran terstruktur, sistematis dan massif dalam mengadili perkara pilkada.

Penulis berharap, di usia yang 20 tahun, MK tetap konsisten dengan terobosan-terobosan hukum tersebut. Demi kemaslahatan bersama, MK telah beberapa kali 'menabrak' UU bahkan UUD melalui putusan-putusannya. MK juga mengeluarkan beberapa putusan ultrapetita atau bahkan berubah dari negative legislator menjadi positive legistator. Tujuannya jelas, demi keadilan substansial, bukan semata-mata keadilan prosedural.

MK tidak sekadar mengadili dan menghitung perselisihan suara yang didapatkan para peserta Pilkada. Lebih dari itu, MK juga harus memastikan bahwa hasil tersebut diperolah dari proses yang demokratis dan konstitusional. Akhir kata, semoga MK konsisten sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution), bukan sekadar mahkamah kalkulator. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun