Kasus kekerasan seksual yang melibatkan pimpinan pesantren kembali mencoreng wajah dunia pendidikan Islam di Indonesia. Baru-baru ini, sebagaimana dilaporkan oleh Kompas dan berbagai media lainnya, seorang pimpinan pondok pesantren di Martapura diduga mencabuli 20 santri sejak 2019. Ironisnya, tindakan bejat ini dibungkus dengan alasan ritual "buang sial."
Sayangnya, kasus ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya telah banyak terjadi di beberapa daerah lain, kejadian serupa terjadi di Batang, Jawa Tengah, di mana seorang pimpinan pesantren mencabuli 15 santrinya. Belum lama ini, peristiwa serupa juga muncul di Tasikmalaya, ketika seorang pimpinan pesantren mencabuli tiga santriwati dan mencoba membungkam mereka dengan memberikan uang jajan.
Tindakan-tindakan semacam ini jelas merupakan tindak pidana serius yang mencoreng nilai-nilai luhur pesantren. Pondok pesantren, yang seharusnya menjadi tempat menuntut ilmu agama dengan penuh keberkahan, kini menghadapi stigma negatif akibat ulah segelintir oknum. Kasus-kasus ini tak hanya melukai para korban tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam.
Peran Kementerian Agama dan Regulasi yang Ada
Kementerian Agama (Kemenag) telah merespons dengan langkah tegas, salah satunya adalah mencabut izin operasional pesantren yang terlibat dalam kasus-kasus tersebut. Langkah ini perlu diapresiasi, namun harus dibarengi dengan upaya yang lebih sistematis. Saat ini, terdapat lebih dari 37 ribu pesantren terdaftar di Indonesia. Jumlah ini mencerminkan besarnya tanggung jawab pemerintah untuk memastikan setiap pesantren tetap menjadi tempat yang aman dan kondusif bagi para santri.
Regulasi seperti Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama menjadi landasan penting dalam mencegah kejadian serupa. Regulasi ini, antara lain, mengamanatkan pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di lembaga pendidikan agama. Namun, implementasi regulasi ini perlu terus dipantau agar tidak hanya menjadi dokumen yang indah di atas kertas.
Langkah Nyata untuk Pencegahan
Tindakan preventif harus menjadi prioritas, pemerintah perlu menyediakan pendidikan khusus bagi para pimpinan pesantren, ustaz, dan tenaga pengajar lainnya, guna menanamkan nilai-nilai perlindungan terhadap hak asasi manusia dan melatih mereka untuk mengenali serta menangani potensi kekerasan seksual. Program pelatihan ini juga dapat mencakup modul tentang akuntabilitas dan pengelolaan psikososial untuk menciptakan lingkungan belajar yang sehat.
Selain itu, diperlukan pengawasan lebih ketat terhadap operasional pesantren, termasuk mekanisme pelaporan yang mudah diakses oleh santri dan keluarganya. Lembaga pesantren juga perlu membuka diri terhadap evaluasi eksternal secara berkala, agar kualitas pendidikan dan keamanan di lingkungan pesantren dapat terus terjaga.
Melindungi Hak-Hak Santri
Kasus kekerasan seksual yang melibatkan pimpinan pesantren tidak hanya mencoreng nama baik lembaga, tetapi juga berdampak besar pada santri. Oleh karena itu, melindungi hak-hak santri harus menjadi prioritas utama. Keberlanjutan pendidikan santri harus dijamin, baik melalui pemindahan ke pesantren lain yang lebih aman atau integrasi ke pendidikan formal dengan dukungan pemerintah. Akses pendidikan ini penting untuk memastikan masa depan mereka tidak terganggu akibat permasalahan yang terjadi.
Pendampingan psikologis juga menjadi kebutuhan mendesak, terutama bagi korban langsung yang mengalami trauma. Pemerintah dan organisasi sosial harus menyediakan layanan konseling untuk membantu mereka pulih secara mental. Selain itu, stigma sosial terhadap korban harus dihapus melalui edukasi publik dan sosialisasi yang melibatkan tokoh agama serta masyarakat. Dukungan ini akan membantu mereka kembali percaya diri dan menjalani hidup dengan lebih baik.
Tidak kalah penting, pemerintah perlu menjamin hak hukum para korban dengan menyediakan pendampingan dalam proses pengadilan. Monitoring terhadap kondisi santri secara berkala juga diperlukan untuk memastikan mereka berada di lingkungan yang aman dan nyaman. Melalui langkah-langkah ini, pesantren dapat dipulihkan sebagai lembaga yang tidak hanya mendidik secara agama, tetapi juga melindungi martabat setiap santrinya.
Penutup
Pesantren merupakan salah satu pilar utama pendidikan agama di Indonesia yang telah melahirkan generasi berakhlak mulia dan berkontribusi besar bagi bangsa. Namun, kepercayaan ini dapat runtuh akibat ulah segelintir oknum yang menyalahgunakan amanahnya. Oleh karena itu, langkah tegas dalam penegakan hukum, perlindungan hak-hak santri, serta penguatan regulasi harus terus dilakukan demi menjaga marwah pesantren sebagai lembaga pendidikan yang aman, terpercaya, dan bermartabat.
Semua pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga pengelola pesantren, memiliki tanggung jawab bersama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuhnya generasi berkarakter kuat dan beriman. Dengan pembenahan sistem dan pengawasan yang lebih ketat, pesantren akan tetap menjadi benteng pendidikan agama yang mencerminkan nilai-nilai luhur Islam. Mari bersama-sama mengembalikan dan menjaga kepercayaan umat terhadap pesantren, agar menjadi mercusuar moralitas yang tak tergoyahkan oleh perilaku segelintir individu tak bertanggung jawab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI