Kebijakan ini diharapkan menghindari keputusan sentralisasi yang kurang peka terhadap situasi spesifik di setiap daerah, menjadikan sistem pengupahan lebih adil dan relevan bagi pekerja di berbagai wilayah.
Perlindungan Lebih pada Proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Perubahan di aspek PHK sangat signifikan, di mana PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Artinya, perusahaan tidak bisa dengan mudah melakukan PHK tanpa melalui mekanisme musyawarah dan proses hukum yang seimbang.Â
Hal ini melindungi pekerja dari keputusan sepihak yang kerap kali merugikan mereka. MK juga mempertegas bahwa dalam kasus perselisihan, perusahaan wajib melalui tahap perundingan bipartit dengan musyawarah mufakat, sebagai upaya akhir sebelum memutuskan PHK.
Mengapa Putusan Ini Bermakna bagi Masa Depan Perburuhan di Indonesia?
Putusan MK ini menunjukkan bahwa revisi UU Cipta Kerja tidaklah sekadar kosmetik, tetapi benar-benar merespon kritik dari berbagai elemen masyarakat yang merasa terpinggirkan.Â
Dengan keberpihakan yang lebih jelas pada pekerja, negara hadir melalui pengawasan lebih ketat dan aturan yang memberikan keseimbangan antara kepentingan pengusaha dan pekerja.Â
MK telah menunjukkan bahwa kebijakan perburuhan harus berlandaskan keadilan sosial, bukan semata-mata pada efisiensi ekonomi yang sering mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Tantangan ke Depan: Implementasi dan Pengawasan
Walau putusan MK ini memberi angin segar bagi buruh, tantangan terbesar tetap terletak pada penerapan di lapangan. Pemerintah, bersama pengusaha dan serikat pekerja, perlu mengawal implementasi aturan-aturan baru ini agar tidak hanya menjadi teks hukum tanpa realisasi.Â
Selain itu, pengawasan terhadap pelaksanaan putusan ini harus diutamakan agar perusahaan benar-benar mematuhi peraturan yang telah disepakati.
Penutup
Putusan MK terhadap UU Cipta Kerja memberi dorongan baru bagi terciptanya keseimbangan antara hak dan kewajiban pekerja serta pengusaha.Â
Perubahan ini bukan hanya soal menyesuaikan ketentuan hukum dengan konstitusi, tetapi juga tentang membangun ekosistem ketenagakerjaan yang lebih manusiawi.Â