Mohon tunggu...
Habib Jansen Boediantono
Habib Jansen Boediantono Mohon Tunggu... wiraswasta -

Bukan siapa - siapa, hanya seorang pejalan kaki yang menghadapi hidup dengan peluh dan sorot mata berani

Selanjutnya

Tutup

Politik

NEGARA TANPA PARTAI UNTUK MENGANGKAT HARKAT DAN MARTABAT HIDUP RAKYAT

26 Januari 2014   21:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:26 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

” Demi kemanusiaan dan keadilan setiap bangsa tidak boleh memperbudak atau diperbudak bangsa lain karena setiap bangsa adalah majikan untuk dirinya sendiri ” ( Romo Jansen Boediantono )

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang lahir dari kearifan budaya nusantara untuk mencari persamaan ditengah begitu banyaknya perbedaan melalui musyawarah mufakat pada tanggal 28 oktober 1928 atau yang lebih kita kenal dengan nama Sumpah Pemuda dengan sebuah cita – cita “ Mengangkat harkat dan martabat hidup rakyat “

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan dasar ukuran dari keberhasilan cita – cita tersebut. Kesempurnaan dasar ukuran akan tercapai bila seluruh perjuangan dikembalikan oleh sebuah keyakinan adanya keterlibatan Tuhan Yang maha Esa didalam proses membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Usaha dan perjuangan untuk tetap bersikap dengan berpihak kepada manusia yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kepada rakyat yang dipimpin oleh hikmah ( ilmu ) kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan merupakan lintasan yang pasti.

Cita – cita Sumpah Pemuda ini merupakan eksternalisasi dari nilai – nilai luhur  budaya masyarakat yang menjadi kesepakatan bersama lalu pada gilirannya nanti lambat laun menjadi sebuah pemikiran falsafah. Pemikiran yang dibentuk oleh eksternalisasi ini kemudian mengukuhkan diri dan bangsa Indonesia menghadapinya sebagai faktisitas maka dalam proses inilah terjadi objektivikasi pada pemikiran tersebut. Objektivikasi tersebut pada tanggal 1 juni 1945 pendiri bangsa menamakannya sebagai Pancasila. Dengan ini hendak dikatakan sebagai suatu sistem falsafah, Pancasila merupakan refleksi dari suatu tata nilai yang telah disepakati bersama dan menjadi ciri khas bangsa Indonesia serta mempengaruhi perilaku masyarakat serta pranata sosial - politik dalam mencapai cita - cita yang diharapkan. Dalam pada itu, agar pemikiran yang telah diobjektivikasi tidak menjadi asing bagi bangsa Indonesia itu sendiri yang menciptakannya, ia harus diusahakan kembali menjadi bagian subjektivitas bangsa Indonesia. Inilah tahapan internalisasi. Dan UUD ‘45 adalah cara bagaimana Pancasila menjadi bagian subjektivitas bangsa Indonesia

Pengertian falsafah ini diambil dalam pengertian yang luas, baik sebagai hasil refleksi bangsa Indonesia maupun sebagai ilmu yang memberikan dasar teoritis bagi sistem berpikir  bangsa indonesia

Pancasila menjadi sah apabila membawa bangsa ini kedalam situasi dimana Pancasila mampu menjelaskan dan menjawab persoalan yang dihadapi bangsa. Dengan demikian Pancasila membuat aktivitas bangsa Indonesia menjadi efektif dan mengenai sasaran. Terputus dari kehidupan berbangsa dan bernegara Pancasila menjadi verbalisme semata, menjadi berhala bagi bangsa Indonesia. Sebaliknya, terputus dari Pancasila kehidupan berbangsa dan berrnegara menjadi kehilangan arah. Bangsa Indonesia menjadi teralienasi dengan dirinya sendiri. Untuk itu diperlukan proses internalisasi agar Pancasila sebagai hasil objektivikasi menjadi  subjektivitas bangsa Indonesia itu sendiri. UUD’45 adalah bentuk internalisasi tersebut

Sebagai bentuk internalisasi UUD’45 dapat dikatakan sebagai progam aksi dalam memberikan tuntunan pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD’45 bertumpu pada asumsi dasar. Asumsi dasar berada pada falsafah yang melandasinya. Bila Pancasila merupakan tumpuan dari lahirnya UUD’45, sedangkan UUD’45 mengatur dan mengarahkan kehidupan berbangsa dan bernegara maka berarti Pancasila bukanlah sesuatu yang tidak praksis dan UUD’45 adalah suatu usaha agar pancasila menjadi sistem gagasan yang dapat diaprosiasikan, terhindar dari kebekuan dan sikap irrasional

Uraian singkat diatas sebenarnya hendak mengatakan bahwa UUD’45 merupakan ideologi dari falsafah bangsa Indonesia dan bukan sekedar konstitusi. Sifat ideologi sangat kental bila kita melihat isi UUD’45 secara totalitas, dimana UUD’45 berisi kehendak sebuah bangsa untuk dominan menentukan sendiri sistem ide dan gagasan yang secara normatif mempengaruhi persepsi, landasan dan perilaku berbangsa dan bernegara

Sebagai contoh adalah makna kedaulatan rakyat seperti yang terdapat dalam UUD’45 hasil amandemen pasal 1 ayat 2. Dari sudut pandang konstitusi pasal ini dapat melahirkan kedaulatan individu dalam pengelolaan partai – partai dan susunan perwakilannya ditentukan oleh pemilu. Pemahaman konstitusional  ini dapat menciptakan terjadinya penciutan signifikansi pada hak – hak berpolitik rakyat, terjatuh dalam hak pilih bukan hak suara. Hak pilih tentu saja memiliki perbedaan kualitatif dengan hak suara. Dalam hak pilih siapapun dapat menggunakannya tanpa pertimbangan akal sehat sekalipun, sebaliknya hak suara menuntut pertimbangan akal sehat dan kearifan dalam menggunakannya. Pemahaman konstitusional ini pada gilirannya nanti akan menyebabkan kekuasaan ditentukan oleh faktor pilihan mayoritas. Hal ini tentu saja sangat membahayakan : Bagaimana jadinya bila pilihan mayoritas kepada kelompok yang anti pada kedaulatan rakyat?

Makna kedaulatan rakyat tersebut tentu saja berbeda bila kita memahami UUD’45 dalam kerangka ideologis. Pasal tersebut diatas memiliki keterkaitan kuat dengan sistem nilai pancasila, yaitu musyawarah mufakat. Dengan demikian yang dinamakan kedaulatan rakyat mengandung arti kedaulatan yang diwujudkan dalam badan perwakilan rakyat yang susunannya ditentukan oleh hak suara dari musyawarah mufakat rakyat.

UUD ‘45 sebagai ideologi dari falsafah Pancasila tentu saja tak dapat dengan mudahnya begitu saja diganti atau dirubah. Pergantian atau perubahan terhadap UUD’45 bila tidak memahami betul grand design bangsa indonesia sangat membahayakan karena akan menciptakan jarak eksistensial antara kehidupan berbangsa dan bernegara dengan Pancasila.  Oleh karena itu pembatalan terhadap amandemen UUD’45 sangat mendesak untuk dilakukan agar cita - cita bangsa Indonesia “ Mengangkat harkat dan martabat hidup rakyat “ dapat tercapai.

NKRI Sebuah Negara Tanpa Partai

Pancasila, UUD’45 dan NKRI memiliki keterkaitan yang erat dan merupakan grand design bangsa Indonesia. Bila proklamasi hanya dapat mengantarkan bangsa Indonesia pada pintu gerbang kemerdekaan, maka pelaksanaan design secara benar merupakan kunci yang dapat membuka pintu gerbang kemerdekaan sehingga anak – anak bangsa bisa masuk kedalamnya. Namun antara design dengan bangsa Indonesia memiliki titik kelemahan yang cukup besar. Seperti halnya sebuah lukisan dalam sebuah pigura dengan dimensi lain diluarnya, ada retakan – retakan dalam kaca pigura yang mudah pecah dan membuat dimensi lain masuk merusak lukisan tersebut. Retakan tersebut berupa mentalitas manusia sebagai pelaksananya

Bangsa Indonesia memiliki mental budak akibat terlalu lama mengalami penjajahan. Mental budak inilah yang membuat bangsa Indonesia begitu mudah menerima ide dan gagasan yang dapat merusak design yang telah dibuatnya sendiri. Maka dengan alasan potensi fasisme dalam UUD’45 pihak imperialis – kapitalis melalui berbagai macam perjanjian lalu melakukan penekanan dan bangsa Indonesia pun melakukan pergantian UUD’45 dengan konstitusi RIS kemudian selanjutnya UUDS 50 sebagai bentuk ketidak berdayaan. Akibatnya terjadilah untuk pertama kali deformasi pada design bangsa. Partai – partai berdiri, bentuk Negara berubah menjadi RIS, lembaga kepresidenan tidak berjalan sesuai dengan fungsinya. Puncak deformasi terselenggaranya pemilu tahun 1955 yang mengakibatkan frgamentarisasi masyarakat dan kekacauan pada sistem ketatanegaraan. Kekacauan ini disadari oleh Presiden Sukarno, lalu lahirlah dekrit presiden yg berisi kembali pada UUD’45.

Sistem kepartaian dan pemilu tidak sesuai dengan design yang telah dibuat oleh pendiri bangsa. Ini disebabkan sistem kepartaian dan pemilu bertentangan dengan asas musyawarah mufakat sebagai metode dalam menegakan kedaulatan rakyat.  NKRI sejatinya adalah sebuah negara tanpa partai. Oleh karena itu dalam UUD’45 tidak dijumpai satu pasal pun yang mengisyaratkan penyelenggaraan pemilu yg diikuti partai – partai dengan hak pilih rakyat sebagai pembenarnya. Pelaksanaan pemilu yang diikuti oleh partai – partai merupakan implementasi dari pasal 34 konstitusi RIS dan pasal 35 UUDS50 padahal ke dua konstitusi tersebut adalah hasil penetrasi bangsa imperialis – kapitalis kepada bangsa Indonesia. Dengan demikian sesungguhnya pemilu dan partai adalah bukti kemenangan kaum komprador dalam menguasai negeri ini

Fakta ini disadari juga oleh presiden Suharto. Ini yang menyebabkan beliau tidak pernah mendirikan partai tetapi memperkuat sebuah golongan besar untuk menampung berbagai macam kelompok dalam masyarakat untuk bermusyawarah mufakat dalam mengatasi persoalan bangsa. Golongan besar ini bernama Golongan Karya ( GOLKAR ). Bila pada awal berdirinya NKRI fasisme menjadi alasan bagi bangsa imperialis – kapitalis untuk mengeksploitasi mental budak bangsa ini, pada pemerintahan Suharto ketergantungan ekonomi menyebabkan mental budak pun kambuh dan terselenggaralah pemilu

Untuk mengingatkan pada seluruh anak – anak bangsa bahwa dirinya tidak mampu melakukan perlawanan terhadap tekanan  imperialis – kapitalis presiden Suharto pada tahun 1972 mengubah tanggal 17 agustus menjadi hari ulangtahun republik Indonesia ( HUT RI ) bukan hari proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Ini artinya, presiden Suharto sedang memberitahu anak – anak bangsa lain bahwa dirinya tidak melaksanakan UUD’45 tapi UUDS 50 karena yang menyatakan tanggal 17 agustus 1945 sebagai HUT RI hanya terdapat pada pembukaan UUDS 50

‘Kepatuhan’ bangsa Ini pada bangsa imperialis – kapitalis terus berlanjut setelah mundurnya presiden Suharto. Bila sebelumnya mental budak mengakibatkan anak – anak bangsa tak mampu mengadakan perlawanan secara keseluruhan maka pada era reformasi mental tersebut telah membuat anak – anak bangsa dengan riangnya menerima penjajahan atas ide dan gagasan oleh imperialis – kapitalis. Bentuk kegembiraan tersebut dinyatakan melalui amandemen pada UUD’45. Ini tentu saja menjadi sesuatu yang ironis dan konyol : Apa yang menjadi alasan amandemen UUD’45 jika UUD’45 itu sendiri mulai dari NKRI berdiri sampai hari ini belum pernah dilaksanakan?Tidak berlebihan jika kecurigaan pantaslah kita alamatkan pada kepentingan bangsa imperialis – kapitalis atas amandemen tersebut

Lumbung Untuk Menegakan Kedaulatan Rakyat

Dalam lintasan perjalanan sejarah bangsa Indonesia  musyawarah mufakat telah melahirkan Bangsa Indonesia ( 28 oktober 1928 ) dan tercapainya kemerdekaan Bangsa Indonesia  ( 17 agustus 1945 ) serta telah membentuk NKRI ( 18 agustus 1945 ). Oleh karena itu musyawarah mufakat merupakan jatdiri bangsa sehingga proses musyawarah mufakat harus menjadi metode yang selalu digunakan dalam menegakan kedaulatan rakyat agar cita – cita bangsa indonesia untuk “ Mengangkat Harkat dan Martabat Hidup Rakyat dapat tercapai “.

Harkat dan Martabat itu tercermin pada saat rakyat memiliki posisi untuk membangun aturan – aturan dasar didalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak bertentangan dengan hukum – hukum TuhanKita menyebutnya dengan istilah Kedaulatan Rakyat. Kedaulatan rakyat ini ditegakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) sesuai yang diamanatkan oleh pasal 1 ayat 2 UUD ‘45 (asli ). Wewenang MPR berdasarkan pasal 3 UUD’45 ( asli ) adalah menetapkan UUD dan GBHN sebagai aturan – aturan dasar NKRI. Dengan demikian MPR sejatinya harus memainkan peran sebagai perwakilan rakyat atau dapat  juga dikatakan sebagai lembaga bangsa.

Persoalan kemudian muncul dengan kehadiran DPR yang merupakan perwakilan partai- partai dari hasil pemilihan umum ( pemilu ) dalam susunan keanggotaan MPR. Keberadaan anggota – anggota DPR dalam MPR ini merupakan kooptasi lembaga negara terhadap lembaga bangsa. Hal ini disebabkan DPR berdasarkan pasal 19 UUD’45 ( asli ) berfungsi sebagai legislatif bersama – sama dengan presiden dan mahkamah agung yang berfungsi sebagai lembaga eksekutif dan legislatif berperan sebagai lembaga negara

Pasal 2 ayat 1 selama ini telah mengakibatkan terjadinya kekuasaan yang sentralistis dan pada gilirannya nanti melemahkan makna kedaulatan rakyat serta menghancurkan moral serta etika bangsa pada pemimpin dan rakyatnya. Kehancuran moral dan etika bangsa akan menyebabkan terjadinya krisis kepemimpinan bangsa atau sebaliknya.

Keadaan ini  bertambah parah dengan adanya amandemen pada UUD’45 yang dilakukan MPR RI pada tahun 2002. UUD’45 merupakan landasan untuk tegaknya kedaulatan rakyat.  Sehingga amandemen pada UUD’45 akan menghilangkan  peran dan fungsi MPR yang sekaligus berarti menghilangkan kedaulatan rakyat seperti yang tercermin dalam pasal 1 ayat 2 UUD’45 hasil amandemen. Disamping itu juga tercabutnya asas musyawarah mufakat dalam proses menentukan kepemimpinan nasional akibat pasal 6 ayat 2 UUD’45 hasil amandemen telah mengakibatkan siapapun yang menjadi pemimpin dinegeri ini akan berhadap – hadapan dengan rakyat dalam sebuah pertarungan eksistensial. Rakyat akan terus mendesak pemimpinya sehingga pemimpin kehilangan karakter. Yang dimiliki pemimpin hasil amandemen UUD’45 adalah perilaku kekuasaan bukan karakter kebangsaan. Dan inilah yang terjadi pada saat ini

Persoalan – persoalan inilah yang menjadi pokok pikiran yang harus dicari jawabannya. Konstitusi harus dikembalikan pada UUD’45 ( asli ) dengan  ‘breakdown’ pada pasal 2 ayat 1 menjadi MPR adalah wakil – wakil rakyat.

Harus ada keberanian anak – anak bangsa menjadikan MPR sebagai perwakilan rakyat yang dihasilkan melalui proses musyawarah mufakat rakyat secara berjenjang mulai dari Rukun Tetangga ( RT ), Rukun Warga ( RW ) sampai tingkat kabupaten. MPR ini harus ada disetiap kabupaten diseluruh Indonesia. Dengan demikian MPR memiliki fungsi lumbung, sebuah tempat untuk rakyat bermusyawarah mufakat didalam menghitung dan mendistribusikan aset bangsa yang dimiliki, dibangun dan dikembangkan sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia dapat terjamin. Sistem pola distribusi pembangunan lumbung harus ditentukan oleh nilai pengembangan lingkungan yang telah distandarkan oleh sistem tanah adat sehingga lumbung dapat menjadi upaya agar perubahan lingkungan yang terjadi tidak bertentangan dengan budaya setempat

Oleh karena itu anggota – anggota MPR ditingkat kabupaten ( lumbung ) sehari – harinya mereka harus berada dan bekerja didaerahnya masing – masing dan sedikitnya sekali dalam 5 tahun perwakilan – perwakilan MPR kabupaten ( lumbung ) ini bersidang diibukota negara untuk mengangkat dan memberhentikan presiden, membuat garis – garis besar haluan negara ( GBHN ), menetapkan Undang – Undang Dasar. Bentuk MPR seperti inilah yang semestinya harus kita perjuangkan bersama. Agar MPR benar – benar mencerminkan kedaulatan rakyat, agar sistem politik dapat menggambarkan keragaman budaya bukan ideologi, agar wakil rakyat  benar – benar menjadi perwakilan rakyat bukan perwakilan partai dan tahu persoalan rakyat yang diwakilinya, agar kelak lahir pemimpin – pemimpin yang berhikmad ( berilmu ) kebijaksanaan dengan keberpihakannya pada rakyat bukan pada kekuasaan dan uang.

Tulisan ini tidak berpretensi menjadi sebuah pemikiran yang bersifat sophiscated thinking. hanya sekadar upaya seorang rakyat membentangkan peta tentang makna Pancasila, UUD’45 dan kedaulatan rakyat secara sederhana, sejauh tidak tersesat memahaminya. Bangsa Indonesia memiliki Pancasila sebagai falsafah hidupnya, UUD’45 menjadi ideologi yang mengimplementasikan nilai – nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, negara yg dilahirkan oleh ideologi menjadi alat bagi bangsa Indonesia untuk mencapai tujuannya dan hanya bisa berdiri kokoh bila ditopang oleh kedaulatan rakyat. Karena itu berbicara tentang kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dapat dilepaskan dari filsafat, ideologi serta kedaulatan rakyat sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh.  Tergusurnya asas musyawarah mufakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan bentuk deformasi pada design kebangsaan kita yang pada gilirannya nanti hanya melecehkan kehormatan rakyat Indonesia yang berdaulat dan merdeka. Tulisan ini  hanyalah sekedar ‘terompet’ yang mengajak anak - anak bangsa untuk berdiri tegak, kemudian mengepalkan tangan sambil berteriak  ”Mari Bung Rebut Kembali……!  Rebut kembali kedaulatan rakyat dari tangan partai !”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun