Proficiat! Dalam sepekan, dua gebrakan dalam bingkai toleransi, keberagaman, kesetaraan dan kebebasan beragama ditorehkan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.Â
Dua gereja di DKI Jakarta, yakni Gereja Damai Kristus di Kampung Duri, Tambora, Jakarta Barat dan Gereja Katolik Kalvari di Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur, pada akhirnya mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sekaligus melaksanakan seremoni peletakan batu pertama pembangunannya pada Selasa 22 Desember 2021.Â
Sebuah momentum dan kebijakan yang patut diapresiasi, terlepas dari segala macam "pandangan miring" ataupun "nyinyiran" sejumlah kalangan dengan beragam penghakimannya.
Dari catatan penulis, langkah serupa juga juga telah dilakukan Gubernur Anies dengan meresmikan revitalisasi Gedung Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Immanuel di Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat Gereja dan juga Gereja Kristen Indonesia Puri Indah, Jakarta Barat pada 6 November 2021.Â
Masih dalam kerangka yang sama, sebelumnya Anies juga mengeluarkan surat resmi permintaan kepada pimpinan perkantoran, baik pemerintahan maupun swasta untuk memberikan libur sehari kepada umat Hindu etnis India di Jakarta, supaya bisa merayakan Hari Deepavali 5123 Kaliyuga pada 4 November 2021.
Ada yang menarik dari pemberian IMB sekaligus groundbreaking Gereja Damai Kristus di Jakbar ini. Terdapat sejarah panjang bagaimana proses pembangunannya diwarnai beragam kisah, mulai dari ribetnya izin pembangunan, resistensi atau penolakan penggunaan sebagai tempat ibadah dari sejumlah elemen masyarakat hingga lamanya mendapatkan IMB sejak 15 tahun silam.Â
Sudah menjadi rahasia umum di negara ini, meski ada sesorah atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika, namun acapkali hanya menjadi frasa retoris belaka.Â
Kerapkali yang disebut toleransi dalam keberagaman atau kemajemukan ideologi, ras, suku dan etnis hanya slogan manis, namun pahit di praksis sehari-hari. Salah satu yang sering menjadi contohnya adalah dalam praktik beribadah dan persoalan-persoalan yang relevan di dalamnya, seperti izin pendirian rumah ibadah, khususnya ketika berbenturan dengan variabel seperti minoritas, izin khalayak ramai, persoalan sentimen akidah dan sebagainya.Â
Mulai dari tahapan memenuhi setiap pasal dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 Tahun 2006, hingga aksi demonstrasi dan penolakan dari sekelompok organisasi kemasyarakatan dan sebagian komponen masyarakat yang mengatasnamakan beragam argumentasi.
Hal ini juga terjadi pada proses pembangunan Gereja Katolik Damai Kristus yang bertempat di aula Gedung Sekolah Yayasan Bunda Hati Kudus Tambora Jakbar.Â
Misalnya saja pada tahun 2013, ratusan orang yang tergabung dalam organisasi Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Masjid dan Mushola Duri Selatan mendatangi sekolah itu dan menolak aula dijadikan tempat misa (Beritasatu.com, 15 Februari 2013).Â
Mereka juga melakukan aksi penolakan ke Balaikota DKI Jakarta yang saat itu dipimpin oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Wagub Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (Republika.co.id, 15 Februari 2013).Â
Aksi penolakan yang ditengarai sudah terjadi sejak tahun 1999 (Encyclopedia.jakarta-tourism.go.id, 19 Februari 2019) dengan berbagai alasan penolakan pembangunan gereja.Â
Pada tanggal 2 Juli 1999, warga dan ulama sekitar Paroki Kampung Duri mengirim surat kepada Lurah Duri Selatan tertanggal 2 Juli 1999 ditandatangani oleh 24 warga dan ulama setempat, yang isinya menolak pembangunan Gereja dan meminta kepada instansi terkait untuk tidak memberikan ijin yang dikhawatirkan dapat menimbulkan terjadinya benturan fisik.
Pada tanggal 3 Juli 1999, Lurah Duri Selatan mengundang warga dan ulama setempat untuk membicarakan masalah ini di Kelurahan.
Kesimpulannya bahwa warga menolak dan tidak setuju dengan adanya rencana pembangunan  atau perbaikan Gereja Damai. Surat dilengkapi dengan daftar absensi 17 orang tokoh masyarakat yang hadir.Â
Resistensi terus berlanjut hingga bertahun-tahun setelahnya. Mulai dari anggapan melanggar aturan, sampai soal menganggu akidah atau keimanan warga sekitar. Aksi yang berlangsung dari era Gubernur Sutiyoso hingga masa kepemimpinan Gubernur Ahok.Â
Pertemuan antara pihak gereja dengan warga dan difasiliasi pihak kecamatan, terus berlangsung setiap tahunnya. Namun, tetap tidak menemukan kata sepakat antara kedua belah pihak. Sebuah kondisi yang bisa jadi menjadi bagian hidup umat yang menjalankan ibadah di gereja tersebut.Â
Dan hal itu berlangsung bertahun-tahun, hingga momentum indah terjadi pada 21 Desember 2022 lalu, saat Pemerintah DKI Jakarta melalui Gubernur Anies Baswedan mengeluarkan IMB Gereja Damai Kristus, juga sejumlah gereja lainnya di kawasan administratif DKI Jakarta.
Love is rare, life is strange. Nothing lasts, people change. Adagium ini bisa menjadi salah satu pijakan bagi kita untuk melihat dan menilai seseorang. Tidak ada yang bertahan dalam satu kondisi statis selamanya karena hidup memang unik dan dinamis.Â
Perubahan adalah sebuah aksioma, yang bisa terjadi pada sebuah kondisi atau lingkungan atau justru persepsi orang per orang. Jika yang dilakukan Anies Baswedan adalah memang sebuah hal yang berkesinambungan alias menjadi sesuatu yang berkelanjutan secara terus-menerus, maka tidak lagi bisa dikatakan sebagai sebuah upaya poles-poles pencitraan.Â
Dan itu harapan semua orang untuk menuju kebaikan dan kebajikan atas nama kemanusiaan, kekeluargaan dan kebersamaan meski dalam kerangka perbedaan.
Penulis sendiri masih ingat pada gerakan yang dirintis atau atau dipelopori Anies Baswedan yang disebutnya sebagai aksi nyata "merajut tenun kebangsaan", yaitu melalui dialog dengan semua kalangan meskipun berbeda.Â
Dialog yang berupaya membangun jembatan yang memfasilitasi pengertian sesama warga demi persatuan. Resiko sebuah jembatan adalah diinjak-injak tetapi bila dapat mempersatukan maka layak diperjuangkan. Sebuah tatanan kata-kata yang indah bila terwujud secara konkret.Â
Boleh saja semua orang tidak percaya atau masih mencurigai apa motivasi yang menggerakkan aksi Anies Baswedan dalam hal pemberian IMB dan meresmikan pembangunan gereja-gereja di Jakarta setelah sekian belas atau mungkin puluhan tahun hanya menjadi mitos atau harapan semata.Â
Namun people deserved the second change. Mungkin ingatan kolektif publik terkait ingar-bingar politik pilkada DKI Jakarta 2019 masih mengendap. Apapun persepsi dan asumsi yang berkelindan di benak setiap warga Jakarta dan bahkan mungkin publik seluruh Indonesia yang menaruh perhatian atas momen demokrasi itu.Â
Namun semuanya kembali kepada publik. Apakah akan terus terjebak pada masa lalu, ataukah move on dan melihat data serta fakta kinerja Anies Baswedan dalam menahkodai ibukota selama lima tahun masa kepemimpinannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H