Mohon tunggu...
R. Janah Bunda Savita
R. Janah Bunda Savita Mohon Tunggu... Guru - Kompasianer Brebes Community Jawa Tengah

Menulislah Pasti Bertambah Ilmu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Andai Aku Anggota Dewan

10 Maret 2019   21:00 Diperbarui: 10 Maret 2019   21:12 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alarm ku berbunyi menunjukkan pukul 04.30 pagi. Aku bangun lebih pagi hari ini, karena ada rapat. Aku tinggal sendiri, jadi semuanya harus ku urus dan siapkan sendiri. Tak mau terlambat aku berangkat pukul 07.00. 

Sampai di gedung ternyata masih sepi, ku perhatikan sekeliling gedung. Gedung yang luas dengan banyak kursi. Aku tidak menyangka bisa duduk di salah satu kursi ini. Rapat mulai pukul 08.30 mengkaji ulang tentang undang-undang permusikan. Terjadi berdebatan antar anggota dewan antara yang pro dan kontra.

Selesai rapat, aku melanjutkan acara ke panti jompo. Aku ingin bertemu dengan tetanggaku yang nasib tuanya harus tinggal di panti karena anaknya tak mau mengurusnya yang sakit. Selama di perjalanan ku amati keadaan sekitar. Pengamen yang meramaikan jalanan, pemulung yang mengais sampah, tukang koran berseliweran, pedagang asongan yang naik turun kendaraan umum, salah satu dari mereka mungkin dulu memilihku sehingga aku bisa duduk di kursi parlemen.

 Aku pun berhenti di kerumunan. Ternyata ada penertiban pedagang jalanan. Beberapa Satpol PP membawa barang dagangan dan  para pedagang mencoba menghalau meskipun tak berhasil juga.

Aku berusaha berbicara dengan Satpol PP supaya ada kebijakan yang saling menguntungkan. Mereka bilang hanya menjalankan tugas. Pedagang sudah diberi peringatan berkali-kali namun tetap saja tak mau pindah ke tempat yang sudah disiapkan. 

Setelah itu aku berbincang dengan salah satu pedagang. Aku dengarkan ceritanya. Katanya lokasi baru yang ditawarkan kurang ramai. Dia pun berkeluh kesah menagih janji anggota dewan yang dulu pernah menemui pedagang di daerah itu. Meskipun bukan aku tapi aku malu sendiri karena belum bisa membantu mereka. Namun aku berjanji akan menyampaikan keluh kesah mereka pada pemerintah daerah.

Aku melanjutkan perjalananku ke panti jompo. Aku bertemu dengan pak Ngadiman tetanggaku. Ingin rasanya aku membawanya bersamaku. Namun niat itu selalu dia tolak, karena takut anaknya marah padaku. 

Setelah mengobrol dengannya, aku bertemu dengan kepala panti. Seperti biasa aku menyisihkan gajianku untuk orang lain yang membutuhkan. Sudah menjadi nazarku jika aku terpilih menjadi anggota dewan, setiap aku gajian akan menyisihkan setengahnya untuk disumbangkan.

Esok harinya, aku menemui Mawar. Gadis pengamen yang aku temui setiap hari di lampu merah. Umurnya 8 tahun dan dia sudah tidak sekolah lagi. Hari ini aku mengajaknya ke toko baju dan perlengkapan sekolah. 

Sebelumnya, aku sudah menemui kepala sekolah dan guru kelasnya supaya bisa sekolah lagi. Mulai sekarang, selama Mawar sekolah semua kebutuhanya aku yang menanggung. Anggaplah dia sebagai anak angkatku. Sesampainya di toko dia memilih sendiri, mulai dari baju, sepatu, tas, dan perlengkapan lainnya. Bahagia rasanya bisa melihat senyum manis Mawar.

Aku pulang begitu malam. Kendaraan yang aku tumpaki menelusuri jalanan sepi. Lampu motorku tak terlalu terang. Aku tak mau memakai fasilitas mobil yang disediakan. Menurutku naik motor lebih asik, lebih mudah bagiku melihat kondisi masyarakat di sekitar dan lebih dekat dengan mereka. 

Sebelum masuk rumah, aku menemukan sepucuk surat ancaman entah dari sapa pengirimnya. Yang isinya aku akan dibunuh kalau tidak mau membantu meloloskan proyek pembebasan lahan untuk pembangunan hotel berbintang 5. 

Selama menjadi dewan, aku memang sering diminta bantuan dan ditawarkan sejumlah uang. Namun selalu ku tolak. Bagiku, jabatan ini adalah amanah tak mau aku menerima uang yang bukan hakku serta nantinya merugikan diri sendiri apalagi merugikan masyarakat banyak.

Ibuku selalu menasihatiku bahwa jabatan apapun harus amanah. Berbuat baik untuk banyak orang. Aku membuka layanan pengaduan warga. Siapapun orangnya boleh menyampaikan pendapatnya. Nantinya aspirasi mereka aku tampung dan aku diskusikan bersama teman seperjuanganku.

Prakkkkkk.......terdengar suara kaca rumahku pecah. Aku keluar untuk memeriksanya. Ternyata sudah banyak warga di depan rumahku. Ada yang membawa batu, bambu, kayu dan bensin. Entah apa yang akan mereka lakukan. 

Mereka meneriakiku dengan "koruptor harus dibakar". Apa maksudnya?? Aku tak pernah korupsi apapun. Ini fitnah. Aku mencoba menjelaskannya, tapi mereka terlanjur dibakar emosi. Dahiku berdarah karena lemparan batu. Dan akupun melarikan diri mencari bantuan lewat pintu belakang.

Aku mengusap-usap dahiku dan ku cium baunya. Ahhhhh kenapa darahku baunya tak sedap semacam iler. Ku buka mata dan ternyata memang benar, itu bukan darah tapi ilerku. Pantas saja baunya kaya jengkol. Kurebahkan kembali tubuhku ke kasur. 

Mimpi yang indah jadi anggota dewan, meskipun ternyata banyak juga tantanganya. Aku tarik selimut lagi, ku tutupi mukaku seraya berdoa "Tuhan kabulkan mimpi indahku".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun