Mohon tunggu...
Janice Ashley Kurniawan
Janice Ashley Kurniawan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - -

-

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Analisis Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer Menggunakan Pendekatan Mimetik

1 Maret 2022   08:00 Diperbarui: 1 Maret 2022   08:54 4730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pengenalan

Bukan Pasar Malam merupakan novel karya Pramoedya Ananta Toer yang pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1951. Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu sastrawan ternama Indonesia yang bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Sastrawan Lekra adalah sastrawan pada masa Orde Lama hingga Orde Baru yang dipengaruhi oleh aliran sastra realisme sosialis. Mereka melakukan protes pena, yaitu melakukan kritik terhadap pemerintahan Indonesia pada masa itu melalui karya. Meskipun novel Bukan Pasar Malam tergolong ke dalam karya awal Pramoedya Ananta Toer  sebelum ia bergabung dengan Lekra, karya Pramoedya ini mengandung kritikan terhadap pemerintah pada zaman itu.

Novel ini mencoba untuk merekam gambaran situasi Indonesia pada masa pasca kemerdekaan, terutama orde baru. Dalam novel ini, Pramoedya melihat dunia di sekitarnya sebagai dunia hancur melalui gambaran kondisi rumah di desanya yang buruk dan suasana suram yang tak terdamaikan bagi orang-orang yang menjadi korban zaman yang tak berbelas kasihan itu. Pada judul novel, istilah pasar malam yang digunakan menunjukkan suasana hiruk-pikuk pasar yang menyenangkan, dimana orang-orang datang bersama dan pulang bersama. Namun pada realitanya, kehidupan tidak sama halnya dengan pasar malam, dalam hidup ini kita datang (hidup) dan pulang (mati) sendiri-sendiri. Renungan itulah yang terkandung dalam novel ini, sehingga pada judul dikatakan bukan pasar malam.

Sinopsis

Novel ini mengisahkan tokoh "aku" sebagai seorang pemuda revolusi yang mendekam di penjara selama satu setengah tahun karena peristiwa pemberontakan dalam pendudukan merah oleh Pesindo. Tak lama setelah tokoh "aku" keluar dari penjara, ia mendapat surat dari seorang pamannya yang memberitakan bahwa ayahnya sedang sakit terserang TBC dan dirawat di rumah sakit. Akhirnya dengan menggunakan uang pinjaman, ia bersama istri yang baru dikawininya bergegas pulang ke kampung halamannya menggunakan kereta api untuk menjenguk ayahnya. Dalam perjalanan pulangnya itu, pergolakan batin mulai memenuhi hatinya. Tentang keadaan sekitar yang telah berubah, tentang kenangan-kenangannya dahulu, juga tentang bagaimana keadaan ayahnya yang sedang sakit.

Sesampainya di kampung halamannya, Blora, terlihat keadaan rumah yang sudah sangat buruk dan nyaris runtuh. Mereka disambut ketujuh adiknya, akan tetapi salah satu adiknya tidak menyambutnya karena sedang sakit malaria. Perasaan senang yang diiringi sedih, karena dia sampai di rumah tapi ayahnya sakit dan adiknya yang ketiga juga sakit. Tak lama kemudian tokoh "aku" dan istrinya berangkat menuju rumah sakit dimana tempat ayahnya dirawat, perasaan sedih menyelimuti hati karena melihat keadaan ayahnya yang sekarang kurus digerogoti oleh penyakit.

Sudah berminggu-minggu lamanya ayahnya tak kunjung sembuh, paman dan bibi tokoh "aku" berniat pergi ke dukun guna meminta pertolongan untuk menyembuhkan penyakit ayahnya. Masyarakat di daerah itu memang sangat percaya terhadap hal-hal yang berbau mistis. Akan tetapi tindakan yang diambil oleh paman dan bibinya itu tidak berhasil, penyakit yang diderita ayahnya tetap tak kunjung sembuh. Melihat kondisinya yang tidak juga membaik, ayah dari tokoh "aku" meminta untuk dibawa pulang saja. Dengan sepenuh hati ia beserta adik-adiknya merawat ayahnya yang sakit. Segala permintaan ayahnya mereka turuti untuk kesembuhan ayahnya. Namun, sepertinya takdir lebih kuat dari semua usaha mereka. Ayahnya meninggal dunia menyisakan kenangan dan sifat-sifat yang tokoh "aku" tidak bisa lupakan, begitupun bagi orang lain. Jiwa besar ayahnya akan terus diingat.

Kematian ayahnya memberikan kesedihan yang begitu kepada keluarganya terutama tokoh "aku". Sosok figur ayah yang begitu dikagumi oleh tokoh "aku" karena kejujuran dan kegigihan hati. Ia merasa ayahnya adalah orang yang sangat idealis, nasionalis, dan bertanggung jawab. Hal tersebut dibuktikan melalui kisah dari adiknya, pamannya, tetangganya, dan orang-orang terdekat lainnya. Tokoh "aku" merenungi hidup ayahnya yang dilanda kekecewaan karena perjuangannya dalam menegakkan negerinya tidak menuju arah yang benar. Dan tokoh "aku" menemukan kenyataan betapa pahitnya hidup mempertahankan loyalitas kepada negara. Selain itu, tokoh "aku" juga mendapatkan banyak pelajaran hidup lain dari ayahnya.

Teori Kritik Sastra Mimetik

Kritik sastra mimetik merupakan jenis kritik sastra yang paling tua (pertama). Dalam buku Prinsip-prinsip Kritik Sastra, disebutkan bahwa kritik sastra mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan, pencerminan, atau penggambaran dunia luar dan kehidupan manusia. Kriteria yang utama dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran" penggambarannya terhadap objek yang digambarkan atau hendak digambarkan (Pradopo, 2003:192). Bahasan kritik mimetik mempunyai kecenderungan untuk langsung membandingkan realita karya sastra kepada realita yang faktual, sehingga hakikat karya sastra yang fiktif imajiner seringkali dilupakan. Kritik sastra mimetik cenderung untuk mengukur kemampuan suatu karya sastra menangkap gambaran kehidupan yang dijadikan sebagai suatu objek (Ristanti, 2012).

Pemberontakan Pesindo Pada Masa Orde Lama

Dalam surat yang dituliskan oleh Ayah kepada tokoh "aku", terdapat salah satu kalimat yang bertuliskan: "Aku dapat menggambarkan kesulitan djiwamu; aku dapat menggambarkan penderitaanmu dalam ruang jang sangat terbatas, karena aku mengalami sendiri ketika pemberontakan Pesindo, selama dua minggu hidup dalam tiga pendjara." (hal. 6). Berdasarkan sejarah perjuangan Indonesia dalam mempertahankan Republik dari kaum kolonialis, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) memang berperan aktif dalam revolusi fisik pada tahun 1945 hingga 1949. Pesindo selalu dikaitkan dengan Peristiwa Madiun di tahun 1948. Kemudian pada masa Orde Baru, Pesindo mendapat stempel "merah" dan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang memiliki kecenderungan sebagai "pemberontak".

Sindiran Terhadap Pemerintah Zaman Itu

"Presiden memang orang praktis --- tidak seperti mereka jang memperdjuangkan hidupnja dipinggir djalan berhari-harian." (hal. 8). Perkataan dan perbuatan tokoh "aku" dalam novel ini juga mengkritik pemerintahan pada masa orde lama yang hanya sibuk mengurus dan memperkaya diri sendiri. Sejak masa orde lama, kesenjangan antara para pejabat dengan masyarakat sudah terjadi. Situasi politik yang tidak stabil muncul pada masa pemerintahan orde lama, terlihat dari banyaknya pergantian kabinet hingga mencapai 7 kali pergantian kabinet. Hal itu menimbulkan keresahan dan kritik dari rakyat.

Realita Kehidupan yang Tidak Seperti Pasar Malam

Di akhir kisah, tokoh "aku" berpikir mengapa hidup tidak seperti pasar malam, dimana orang-orang datang, pulang, dan merasakan kebahagiaan bersama-sama. Nyatanya, semua dilalui sendiri-sendiri di kehidupan ini. Hal itu tersampaikan melalui kalimat : "Siang itu terik mulai membakar kulit. Dan kami berdjalan terus pulang --- kerumah dimana ibu meninggal, dimana adik kami jang ketjil meninggal, dimana ajah kemarin meninggal, dan barangkali djuga dimana kelak kami meninggaldunia. Dan dalam berdjalan pulang terbajang dalam kepalaku kuburan ibu, adik, nenek, ajah dan kakek. Dan barangkali djuga kelas disampingnja, majatku sendiri dikuburkan orang. Dan orang Tionghoa semalam menghendaki dunia jang seperti pasarmalam, dimana orang beramai-ramai datang dan beramai-ramai pergi. Tinggal mereka jang harus menjapui itu --- sekalipun tak dikatakan olehnja --- ialah Tuhan jang disebut-sebut orang jang tak pemah mengetahuinja." (hal. 103-104).

Argumen

Novel ini menarik karena dikisahkan bagaimana seseorang dengan jiwa besarnya sebagai pemuda revolusi yang idealis, pada akhirnya luluh ketika dihadapkan pada keadaan yang tidak memihak padanya. Ia harus menerima kenyataan bahwa ayahnya terbaring sakit karena TBC, keuangan keluarga yang buruk, rumahnya di kampung halaman yang sudah tidak kuat lagi menahan arus waktu, dan menghadapi istri yang cerewet. Semua permasalahan itu harus dihadapi oleh tokoh "aku". Di samping itu, perkataan dan perbuatan tokoh "aku" dalam kisah ini tidak hanya mengkritik kekerdilan diri sendiri, tapi juga menunjukkan sisi buruk dari pemerintahan pada masa pasca kemerdekaan yang hanya sibuk mengurus dan memperkaya diri sendiri.

Pada novel ini terdapat banyak sekali pesan dan amanat yang dapat diambil oleh pembaca. Salah satunya bahwa kehidupan tidak melulu seperti pasar malam yang identik dengan kata ramai dan menyenangkan, melainkan ada juga  masa sulitnya. Pada akhirnya, dalam kehidupan ini kita akan hidup dan mati sendiri-sendiri. Penulis juga mengemas setiap persoalan dengan menarik dan selalu menyelipkan renungan-renungan di dalamnya. Selain itu, pembaca juga dapat melihat perkembangan dari tokoh "aku".

Keunggulan dari novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer adalah  penulis mampu membuat rangkaian cerita yang menarik sehingga membuat pembaca terhanyut di dalamnya. Emosi yang didapatkan dari alur cerita juga tersampaikan dengan baik kepada para pembaca, membuat pembaca turut merasakan tekanan batin yang dialami tokoh "aku". Namun, kekurangan novel tersebut terdapat pada gaya bahasa dan cara penulisannya. Gaya bahasa yang digunakan penulis terlalu rumit dalam memaparkan isi cerita, sehingga membuat pembaca bingung. Selain itu penulisan novel ini masih menggunakan ejaan lama, sehingga pembaca yang tidak terbiasa akan merasa kurang nyaman dengan cara penulisannya. Novel ini juga memerlukan pengetahuan dan pemahaman tertentu agar jalan ceritanya lebih mudah untuk dimengerti dan terdapat beberapa kata yang kurang familier bagi orang awam. Oleh sebab itu, buku ini direkomendasikan untuk dibaca oleh orang-orang yang sudah beranjak dewasa, terutama mereka yang gemar membaca atau merupakan pembaca aktif.

Simpulan

Secara keseluruhan, novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer merupakan novel yang bagus dan layak untuk dibaca, karena sangat menggambarkan realita kehidupan pada masa itu dan bahkan ada beberapa hal yang masih sangat berhubungan hingga saat ini. Dalam novel ini, terdapat nilai-nilai mengenai realita kehidupan yang dapat diambil. Salah satu yang paling berkesan, yaitu realita bahwa di dalam kehidupan ini kita akan menjalankan semuanya sendiri-sendiri, tidak seperti di pasar malam yang akan datang dan pergi bersama-sama. Dengan begitu, pembaca dapat lebih disadarkan akan kehidupan ini. Selain itu, disinggung pula sisi gelap dari para penguasa dan pemerintahan Indonesia yang egois dan tidak melaksanakan tugasnya seperti seharusnya. Bahkan beberapa dari mereka malah sibuk memperkaya diri sendiri dan menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang diinginkan.

Daftar Pustaka

Toer, Pramoedya Ananta. 1964. Bukan Pasar Malam. Diakses pada 28 Februari 2022, melalui https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/pramoedya-ananta-toer-bukan-pasar-malam.pdf

Kurniawan, Janice Ashley. 2021. Liku Kehidupan. Kompasiana. Diakses pada 28 Februari 2022, melalui https://www.kompasiana.com/janiceashley/6159c57506310e35b2167c03/liku-kehidupan

Ginting, Kristian. 2017. Jejak Pesindo Dalam Revolusi. Koran Sulindo. Diakses pada 28 Februari 2022, melalui https://koransulindo.com/jejak-pesindo-dalam-revolusi/

Sarwuni, Indah. 2020. 5 Kekurangan Masa Orde Lama dan Penjelasannya. Dosen Sejarah. Diakses pada 28 Februari 2022, melalui https://dosensejarah.com/kekurangan-orde-lama/

Brigaseli, MJ. 2018. Sinopsis Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer. Diakses pada 1 Oktober 2021, melalui https://www.mjbrigaseli.com/2018/01/sinopsis-bukan-pasar-malam-karya.html

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2021. Artikel "Bukan Pasar Malam". Ensiklopedia Sastra Indonesia. Diakses pada 30 September 2021, melalui http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Bukan_Pasar_Malam

Anonim. 2021. Lembaga Kebudayaan Rakyat. Wikipedia. Diakses pada 30 September 2021, melalui https://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Kebudayaan_Rakyat

Anonim. 2021. Pramoedya Ananta Toer. Wikipedia. Diakses pada 28 September 2021, melalui https://id.wikipedia.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun