Setelah keluar dari jalur gembur tersebut, jalur kmudian menyatu dengan bekas jalur lama yg sudah tidak terpakai lagi. Pukul 18.30 kami sampe di sebuah dataran tertutup penuh dengan pohon berlumut yang ternyata adalah puncak sejatinya gunung Bukittunggul. Itu terbukti dengan ditemukanya beberapa kolam kering.
Alhamdulillah kami berempat telah sampe di puncak. Ketiga teman saya langsung mendirikan tenda, lalu saya membuat perapian untuk penerangan dan sekedar menghangatkan air untuk beberapa gelas minuman bandrek.
Pukul 21.00 setelah makan malam, Ebek dan Fufu bergegas masuk tenda untuk tidur, sementara saya dan tatang diluar tenda sekedar ngobrol dan menikmati hangatnya minuman bandrek. Setelah ngga ada lagi tema untuk ngobrol, dan tatang sepertinya sudah mulai ngantuk, kami berdua masuk tenda untuk bergabung dengan kedua teman yang sudah tertidur ngorok abizz. Seprti biasa tinggalah saya yang terbangun sendirian ditemani lantunan suara wayang golek yang terdengar dari Mp4 nya kang ebek.
Saat Mp4 sudah mati karena habis batre, mulailah terdengar suara binatang hutan yang saling bersahutan, ditambah pula suara hujan dan angin yg ngga mau kalah. Terdengar pula rupa-rupa suara aneh yg bikin nyali ciut dan agak merinding, membuat suara sepertinya menyatu menjadi sebuah suara konser musik alam.
Tetapi yang mendominasi suara alam tersebut adalah suara binatang, seperti suara Kodok di sawah, tapi begitu keras dan menggema. Saya jadi berpikir, emang di ketinggian 2000 lebih ada kodok ??, belum sempat terjawab, mata saya dah ngantuk dan dilanjutkan dengan tidur.....****
Minggu, 23 November 2008
Bukittunggul puncaknya tertutup, sama sekali ngga ada view, dan kalo malam akan sangat gelap. Lokasinya ngga terlalu luas, ngga ada tugu atau penanda ketinggian, yang ada hanya beberapa buah kolam kering dengan posisi menyusun ke bawah. Penduduk setempat menyebutnya Babalongan.
Pagi-pagi pukul 05.30 salah satu teman saya sudah diluar tenda untuk membuat air hangat. Sementara saya baru bangun dan masih dibalut Sleppingbag, ngga rela rasanya melepas Sleppingbag karena begitu dinginnya pagi itu. Karena waktu beranjak siang, saya langsung beres-beres. Setelah makan pagi dan paking, kami berfoto-foto dan sempet jalan-jalan melihat sekeliling puncak dan kolam.
Terdapat tiga buah kolam kering yang menyusun ke bawah. Dan hanya dua buah kolam saja yang bisa saya turuni, sementara kolam ketiga yang posisinya paling bawah susah untuk dituruni. Ketiga kolam ini sering disebut Babalongan yang konon bekas peninggalan masyarakat Bandung zaman Megalitik.
Dari puncak saya mencoba membaca peta. Dan hasilnya kami turun ke jalan semula. Sebnarnya dari puncak saya ingin meneruskan perjalanan melalui jalur lainnya yang terdapat di pinggir kolam, hanya saja jalurnya lebih panjang dan saya kira akan lebih jauh bila pengen pulang melewati Terminal Lembang lagi.
Turun dari puncak ternyata sangat singkat, hanya diperlukan waktu satu jam untuk nyampe di batas vegetasi/perkebunan.