Mohon tunggu...
yudi irawan
yudi irawan Mohon Tunggu... -

Inilah Aku.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sepenggal Perjalanan ke Gunung Bukittunggul

14 Juni 2010   15:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:32 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sabtu, 22 November 2008

Sebenarnya saya sempat ragu mendaki gunung Bukittunggul. Udah musim hujan, belum tahu jalur, dan jujur saja saya masih sedikit ragu kalo mendaki hanya berdua, udah ngga rame, sepi pula, terus sedikit takut kalo pas ngekemp nya ^.^ Alasanya saya susah tidur kalo di gunung. Pas obrolan habis, terus teman udah tidur, tinggalah aku yang terdiam mendengarkan segala suara-suara hutan yang buat aku sedikit merinding. Tapi untunglah ada dua teman lagi yang ngedadak ikut, jadi rasa ragu itu langsung hilang.

Kami berempat berangkat dari terminal Ciroyom menggunakan angkot jurusan Lembang. Sampe Lembang kami belanja sedikit makanan, kemudian langsung naik angkot berwarna kuning yang sedang ngetem, dan yang lebih parah kami penumpang pertama yang masuk angkot ini, hingga kami harus menunggu setengah jam lebih supaya angkot terisi penuh dan berangkat. Angkot tujuan Cibodas ini sebagian sudah tua dan ngga layak jalan. Akhirnya kami sampe di patrol, di penghujung berhentinya angkot ini. Setelah sholat dan makan siang, kami melanjutkan perjalanan ke sebuah kampung bernama Pasirangling, atau kalo di peta Topografi bernama Pojok, waktu tempuh kurang dari 1 jam dengan melintasi perkebunan sayur seperti Kol. Disini view nya indah sekali, di sebelah timur terlihat gunung Pulusari yang menyatu dgn Patahan Lembang berderet hingga ke barat, dan disebelah barat terlihat sederetan daerah Lembang, gunung Tangkuban Perahu yang sedikit berkabut, disambung gunung Burangrang dibelakangnya. Saya ngga menyiakan kesempatan ini untuk berfoto foto. Tapi sial !!,. Memori external kameranya ngga dibawa, memori bawannya hanya muat 10 foto ?!. Mau ngga mau saya menggunakan kamera Hp, walaupun hasilnya kurang memuaskan. Karena di sepanjang jalur ngga terdapat air, di Pasirangling kami mengisi penuh persediaan air, karena hanya inilah kampung terakhir menuju Bukittunggul. Setelah sedikit bertanya ke penduduk sekitar, kami melanjutkan perjalanan. Awal perjalanan kami melalui jalur tanah agak besar, jalur ini biasa digunakan penduduk untuk mengangkut hasil kebun. Karena jalurnya berkelok-kelok mengikuti kontur yang agak datar, kami pun memilih jalur lurus/potong kompas dengan maksud mempersingkat perjalanan. Tapi kami nyasar, jalur setapak menjadi hilang dan kami berada dilembahan yang ngga jelas, maklum kami baru pertama ke gunung Bukittunggul ini. Tapi untunglah saya bawa peta, Setelah orientasi peta, kami sepakat untuk mendaki punggungan sebelah kiri, dan kami pun menemukan jalur di puncak punggungan yang tadi sempat hilang.

Jalur awal agak landai, tapi setelah beberapa menit kemudian jalur menjadi curam dan licin dengan kemiringan hampir 80 derajat. Belum lagi banyak pohon dan rumput berduri menghalangi jalur. Dan terpaksa kami harus menebas pake golok, screambling sampe merangkak.

Kesal sekali harus berada paling depan, bukan apa-apa tapi dijalur banyak terdapat sarang Laba-laba yang ngga kelihatan, sehingga muka saya sering terkena Laba-laba dan sarangnya yang membuatku riskan. Saya berpikiran kalo jalur ini jarang sekali dipakai.

Pukul 17.30 medan menjadi agak landai. Saya mengira sampe di puncak karena jalur yang turun drastis menjadi landai. Tapi ternyata hanya sebuah dataran memuat dua buah tenda. Lokasinya tertutup sekali, pohon-pohon banyak sekali ditumbuhi lumut. Dari sini jalur ngga terlalu curam, hanya saja jalur lebih tertutup, gembur dan lembab.

Walau hari sudah mulai gelap tapi saya sempat melihat bunga-bunga yang begitu fantastis indah sekali, dengan warna-warna yang mencolok kontras dengan dedaunan, sehingga saya begitu jelas melihat bunga tersebut.

Jalur menjadi sangat gembur dan melipir ke samping. Disini kami dikagetkan dengan banyaknya bekas galian dan kaki-kaki binatang, yang saya kira ini bekas babi hutan. Dilihat dari bekas kakinya, babi hutan ini sepertinya agak besar. Kami semua terdiam sambil berjalan perlahan dalam gelapnya hutan. Agak takut juga sih, karena bekas binatang ini belum lama. Karena ingin cepat keluar dari area bekas binatang, dan yang paling penting pengen cepat nyampe puncak, kami mempercepat langkah.

Setelah keluar dari jalur gembur tersebut, jalur kmudian menyatu dengan bekas jalur lama yg sudah tidak terpakai lagi. Pukul 18.30 kami sampe di sebuah dataran tertutup penuh dengan pohon berlumut yang ternyata adalah puncak sejatinya gunung Bukittunggul. Itu terbukti dengan ditemukanya beberapa kolam kering.

Alhamdulillah kami berempat telah sampe di puncak. Ketiga teman saya langsung mendirikan tenda, lalu saya membuat perapian untuk penerangan dan sekedar menghangatkan air untuk beberapa gelas minuman bandrek.

Pukul 21.00 setelah makan malam, Ebek dan Fufu bergegas masuk tenda untuk tidur, sementara saya dan tatang diluar tenda sekedar ngobrol dan menikmati hangatnya minuman bandrek. Setelah ngga ada lagi tema untuk ngobrol, dan tatang sepertinya sudah mulai ngantuk, kami berdua masuk tenda untuk bergabung dengan kedua teman yang sudah tertidur ngorok abizz. Seprti biasa tinggalah saya yang terbangun sendirian ditemani lantunan suara wayang golek yang terdengar dari Mp4 nya kang ebek.

Saat Mp4 sudah mati karena habis batre, mulailah terdengar suara binatang hutan yang saling bersahutan, ditambah pula suara hujan dan angin yg ngga mau kalah. Terdengar pula rupa-rupa suara aneh yg bikin nyali ciut dan agak merinding, membuat suara sepertinya menyatu menjadi sebuah suara konser musik alam.

Tetapi yang mendominasi suara alam tersebut adalah suara binatang, seperti suara Kodok di sawah, tapi begitu keras dan menggema. Saya jadi berpikir, emang di ketinggian 2000 lebih ada kodok ??, belum sempat terjawab, mata saya dah ngantuk dan dilanjutkan dengan tidur.....****

Minggu, 23 November 2008

Bukittunggul puncaknya tertutup, sama sekali ngga ada view, dan kalo malam akan sangat gelap. Lokasinya ngga terlalu luas, ngga ada tugu atau penanda ketinggian, yang ada hanya beberapa buah kolam kering dengan posisi menyusun ke bawah. Penduduk setempat menyebutnya Babalongan.

Pagi-pagi pukul 05.30 salah satu teman saya sudah diluar tenda untuk membuat air hangat. Sementara saya baru bangun dan masih dibalut Sleppingbag, ngga rela rasanya melepas Sleppingbag karena begitu dinginnya pagi itu. Karena waktu beranjak siang, saya langsung beres-beres. Setelah makan pagi dan paking, kami berfoto-foto dan sempet jalan-jalan melihat sekeliling puncak dan kolam.

Terdapat tiga buah kolam kering yang menyusun ke bawah. Dan hanya dua buah kolam saja yang bisa saya turuni, sementara kolam ketiga yang posisinya paling bawah susah untuk dituruni. Ketiga kolam ini sering disebut Babalongan yang konon bekas peninggalan masyarakat Bandung zaman Megalitik.

Dari puncak saya mencoba membaca peta. Dan hasilnya kami turun ke jalan semula. Sebnarnya dari puncak saya ingin meneruskan perjalanan melalui jalur lainnya yang terdapat di pinggir kolam, hanya saja jalurnya lebih panjang dan saya kira akan lebih jauh bila pengen pulang melewati Terminal Lembang lagi.

Turun dari puncak ternyata sangat singkat, hanya diperlukan waktu satu jam untuk nyampe di batas vegetasi/perkebunan.

Pas nyampe jalan raya terdekat kami lngsung menumpang angkot menuju Lembang, lalu diteruskan ke Bandung.

Akhirnya nyampe juga kami kerumah masing-masing dengan selamat...***

Tamat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun