Mohon tunggu...
Ahmad J Yusri
Ahmad J Yusri Mohon Tunggu... Penerjemah - Mahasiswa Fisika UIN Malang

Mahasiswa Biofisika Succesfulness is only result from mature preparation

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Kisah di Pantai Utara Jawa

13 Agustus 2022   15:16 Diperbarui: 13 Agustus 2022   15:29 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: wallpaperbetter.com

Siang itu langit tampak gelap, Pak Sandi selaku kepala Desa Kedasih mengajak warganya untuk segara mengungsi. Dapat dipastikan akan terjadi badai yang akan berlangsung lama dan akan menenggelamkan rumah mereka.

"Ayok kita cepat evakuasi warga , ada 10 rumah yang masih berpenghuni " Ajak Pak Sandi pada masyarakat. Mereka menyiapkan untuk sekoci atau perahu kecil untuk berjaga-jaga. Hujan rintik mulai turun. Kentungan dipukul sekeras-kerasnya. "Di mohon untuk seluruh warga dusun Teripang segera mengungsi dan membawa barang secukupnya".  Perintah Pak Sandi menggunakan TOA.

Hujan mulai semakin deras, warga mulai berbondong-bondong pergi ke dusun Merjo yang lebih tinggi. Angin bertiup kencang mengguncang pepohonan. Pohon kelapa, pohon asam, pohon rambutan semua tampak menari-nari bergoyang. Petir menyambar muncul dari tumpukan awan yang bergerak cepat. Hampir dipastikan tak ada orang yang berani ke pantai apalagi melaut. Pasti ombak sedang ganas-ganasnya.

Derap kaki melangkah, semua orang membawa barang secukupnya. Ada yang membawa pakaian, karung beras, perkakas rumah, bantal, radio dan kebanyakan benda dibiarkan di rumah lantaran terlalu berat dan besar.

Sejam sudah berlalu dari masa evakuasi. Warga sudah tiba di pendopo dusun merjo, sebagian menginap di masjid yang didepannya sudah didirikan tenda bekas acara haul kemarin malam. Akhirnya dimulailah pendataan. Ternyata masih ada satu orang yang tertinggal yaitu Mbah Darsih!.

Dalam lamunan hujan, Mbak Darsih terpojok di kamarnya sambil memandang album foto usang. Beliau melihat potret anak, suaminya, orangtuanya dua puluh tahun yang lalu. Ia merindukan keluarga. Rumah peninggalan orangtua ini menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya. Pandangannya menatap pintu kamar, ingatannya tertuju saat suaminya masih hidup. Sehabis panen tiba, ia menggendong sekarung gabah untuk ditaruh di gudang belakang. Meminta dibuatkan kopi, lalu minta dihidangkan singkong hangat kesukaannya.

Ingatannya juga berpendar dimana saat momen lebaran kampungnya sangat meriah, banyak yang berziarah ke pemakaman tua, Berwisata ke pemancingan dan lain-lain . sungguh masa masa yang indah. Hujan tetap deras mengguyur, air mulai naik ke lantai rumah Mbak Darsih yang sudah ditinggikan sebelumnya. Mbah Darsih sangat yakin jika kampung halamannya ini akan kembali normal dan air bakalan surut sampaui jauh. Kehidupan akan seperti sedia kala. Mbak Darsih mengambil tasbih usang berbahan kayu mahoni peninggalan almarhum suaminya. Ia melirih untaian kalimat zikir .

"Semua akan berlalu, semua akan baik baik saja" gumamnya. Di luar rumah jalanan sudah tak keliatan sama sekali. Air sudah melahap bahu jalan. Bahkan rumah yang paling ujung sudah tenggelam setengahnya. Air juga sudah masuk ruang tengah Mbah Darsih.

Ingatannya kembali membuncah, kini beliau ingat masa kecilnya. Bersama teman-teman sebaya, ia menyusuri muara yang berjarak satu kilometer dari belakang rumahnya. Mencari kepiting, ikan tembakul, atau kerang bakau yang suka bersembunyi di balik lumpur. Lalu balik ke rumah menyusuri rawa dan sawah yang menguning. Ia ingat betul dulu di daerah dekat pantai terdapat langgar kuno dengan arsitektur setengah cina setengah joglo. Perpaduan yang unik jika dilihat. Beratap limas segi empat dengan pintu masuk banyak ukiran khas negeri cina. Namun sekarang mushola itu sudah benar benar tenggelam. Sesekali hanya pucuk atapnya yang kelihatan.

Tiga jam berlalu, tim evakuasi yang terdiri dari tiga orang beranjak ke kediaman Mbah Darsih menggunakan perahu sampan. Hujan sangat deras, perlu usaha yang keras untuk mencapai Dusun Kedasih. Aliran air juga tak bisa diragukan, beberapa kali sampan oleng tak seimbang dihantam kayu yang lewat.

"Nah itu, rumahnya mbah " Tunjuk salah satu tim evakuasi. Akhirnya mereka merapat, mengikat sampan di salah satu kayu jemuran . Air sudah setengah pintu masuk rumahnya. "Mbah!, ini kami mau jemput mbah" . Tak ada balasan maupun sahutan. Mau tak mau, salah satu tim merangsek masuk dan memeriksa kamar. Dan benar saja Mbah Darsih sedang meringkuk di atas dipan yang agak tinggi, air hampir menyentuhnya. "Mbah ! ayok ikut kami ke pengungsian"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun