Mohon tunggu...
Ahmad J Yusri
Ahmad J Yusri Mohon Tunggu... Penerjemah - Mahasiswa Fisika UIN Malang

Mahasiswa Biofisika Succesfulness is only result from mature preparation

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelik

27 Juli 2022   20:32 Diperbarui: 27 Juli 2022   20:35 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 "Ningsih, kamu terpilih untuk menjadi perwakilan lomba matematika " Ucap Bu Guru Ida pada Ningsih di kantor sekolah. " Lomba?, aku Bu ?." Ningsih tampak heran. Melihat ekspresi Ningsih, Bu Ida justru tertawa. Bu Ida lalu menyerahkan buku latihan soal olimpiade pada Ningsih dan menyuruhnya untuk belajar dengan sungguh-sungeguh.

            Di luar kantor sekolah, Ningsih tersenyum sumringah. Hatinya berbunga-bunga sekaligus takjub saat namanya dipanggil ke kantor sekolah SDN Embun. Ia merasa tersanjung bisa masuk ke kantor sekolah yang mewah dengan sofanya yang empuk, pendingin ruang yang sejuk, hiasan dinding yang cantik serta ornamen mebel yang sangat estetik. Ningsih pun berlarian menuju kelasnya sambil memeluk buku pemberian Ibu Ida.

            "Jum, aku seneng banget hari ini" sergah Ningsih pada teman sebangkunya Syarifah Juminten. Gadis berambut panjang yang berhidung pesek. "Wah, selamat ya Ning, aku seneng dengernya". Responnya sambil mengibakan rambutnya yang dikuncir. Sejak hari itu Ningsih mulai latihan selama sebulan untuk persiapan olimpiade tingkat kecamatan.

            Ningsih Rahayu nama lengkapnya. Ia adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ia adalah anak yatim. Ibunya berjuang sendirian menafkahi anaknya semenjak kematian suaminya saat Ningsih berumur dua tahun. Sungguh perjuangan yang sangat pedih. Sejak itu, Ibu lebih bekerja ekstra untuk membesarkan kedua anaknya. Mulai dari jualan gorengan, mencuci baju tetangga, menjadi reseller baju, lalu yang terakhir berjualan sayur. Meskipun begitu, Ibu Ningsih sangat memerhatikan pendidikan anaknya. Ia berharap supaya kedua anaknya menempuh pendidikan yang lebih tinggi dan bisa memperbaiki ekonomi dan juga martabat mereka.

            " Bu, Ningsih ikut lomba lho bu!" Serunya sambil tersenyum bahagia

            "Alhamdulillah nak, ibu ikut senang. Belajar yang sungguh-sungguh ya nak" Ucap Ibu sambil mengelus rambut Ningsih.

            Ningsih, gadis kelas 5 SD yang selalu ceria dan tak pernah sedih meskipun kebutuhan hidupnya sering tak tercukupi. Ibunya selalu berpesan agar jangan pernah bersedih terhadap takdir yang kita alami karena disetiap kesusahan pasti ada kemudahan.

            Pagi itu mentari agak cerah dengan sesekali dihiasi dengan awan tipis berduyun-duyun

            "Ingat perkataan ibu ya, walau susah jangan nyerah" Titahnya pada ningsih sambil menyodorkan gorengan pisang  di pagi itu. Akbar sang kakak juga terlihat senang melihat adik kecilnya semangat . "Nanti kalau menang, abang beliin es krim kesukaan Ningsih, kamu yang semangat ya"

            Ningsih nampak sumringah, seakan pundaknya terasa ringan membawa tas kulit bekas ibunya yang berisi buku latihan olimpiade dan buku matematika bekas abangnya. Tas itu masih kuat meskipun di bagian luar sudah terkelupas dimakan jaman. Ia pun berangkat ke sekolah berjalan kaki. Di Sekolah, ia mulai diberikan pelatihan khusus menjelang olimpiade. Bu Laksmi selaku penanggung jawab sekaligus pembimbing lomba  sudah siap di ruang perpustakaan menunggu partisipan lomba. Selain Ningsih ada lagi satu temannya yang ikut, dia adalah Jayadi yang mewakili pelajaran IPA.

            "Ningsih, besok pakai baju baru ya" Ucap Bu Laksmi sambil menyodorkan baju putih yang masih baru dan terang. Nampaknya pihak sekolah sudah tau jika Ningsih adalah orang susah. Kebetulan Ningsih hanya punya satu set seragam merah putih. Tak ayal karena sering dipakai dan dicuci, seragamnya pun terlihat lusuh dan agak menguning di bagian kerahnya. Ningsih nampak senang.

            Di lain tempat, Bu Lilik guru honer yang menjadi wali kelas 5 nampak sedang memarahi seisi kelas yang berisik. Beliau terkenal galak dan sering marah-marah tanpa sebab. Sudah dipastikan jika beliau mengajar maka kelas seketika hening tanpa suara. "Ibu tuh dah capek marah-marah ke kalian, coba belajar yang bener kalo gak ada guru" . Di bangku pojok, seorang murid berbisik pada temannya "emang ibu ngajarnya udah bener, orang kelasnya sering ditinggal". Lalu teman disampingnya pun tertawa terkekeh-kekeh.

            "Randi maju kedepan, kalo ada guru di depan tolong dengerin" bentak Ibu Lilik lalu menyuruhnya ke depan lalu menjewer telinganya. Randi pun jengkel karena cuma ia yang dijewer, tidak dengan teman sebelahnya Abil.

            Kembali ke ruangan perpustakaan. Ningsih sangat khusyuk mengerjakan soal-soal tes. Dia mulai dari soal ulangan semester kelas 4. Terlihat di tangan Bu Laksmi memegang banyak cetakan soal ujian dari berbagai tahun yang berbeda soalnya. "Nanti ibu carikan lagi, kerjakan dulu yang ada disini" . Jayadi dan Ningsih termasuk orang yang beruntung. Sibuknya mereka di perpus menjadi suatu kedamaian dibanding harus belajar di kelas yang penuh kemonotanan dan ocehan Ibu Lilik yang tak berujung.

            Sedari awal masuk kelas 5. Banyak anak-anak yang menjadi gusar dengan pelajaran. Bukan tanpa sebab, semua itu dampak pengajaran dari wali kelas yang kurang kompeten. Bu Lilik, wali kelas 5 yang nampaknya cantik dan baik ternyata adalah sosok yang judes dan galak. Ia lebih sering terlihat asik menelpon di kelas lalu keluar mencari angin. Mungkin di kelas tak sampai 10 menit, hanya mengajar sekenanya lalu beralih untuk mengerjakan soal. -Buka halaman sekian-

            Pernah dua minggu yang lalu , Ningsih memakai buku LKS fotocopy di kelas. Dengan angkuh dan mulut pedasnya Bu Lilik berkata " Loh kok difotocopy?, kenapa gak beli langsung di sekolah?". Karena hal itu Ningsih mengulang mengerjakan soal di buku tulisnya dengan menyalin soal dari awal.

            Ningsih tetap bersikap seperti biasa, ceria tanpa beban. Ia yakin, terpilihnya ia menjadi peserta lomba merupakan amanat yang harus dijaga. Dua minggu berlalu, Ningsih makin terasah dengan soal matematika yang ia jumpai. Soal kelas empat dan lima sudah dilibas habis. Sekarang tinggal soal ujian kelas enam dan ujian akhir sekolah. Ia banyak bertanya bila kesusahan menemukan jawaban.

            Momen yang ditunggu-tunggupun datang, kompetisi MIPA antar kecamatan Sinar Pagi pun dimulai. Ada sekitar 15 perwakilan sekolah yang terdiri dari dua orang tiap sekolah. Satu mewakili IPA dan satu mewakili Matematika. Dalam barisan upacara pembukaan, Ningsih tampak berdiri paling depan, hatinya berdebar-debar. Antara senang dan tegang.  Baru kali ini dia mengikuti lomba. Bu Laksmi yang sedang diseberang lapangan. Di jajaran tamu undangan tampak berdiskusi dengan kepala sekolah Bu Ida.

            Lomba dibagi dalam tiga babak. Babak pertama yaitu pilihan ganda sebanyak 50 soal. Sedangkan babak kedua berupa soal essay dan babak ketiga berupa pemahaman praktik. Ningsih membawa peralatan tulis yang bagus, baru kemarin dibeli olehnya.  Babak pertama dimulai, soal mulai dibagikan. Terlihat penjumlahan pecahan, materi menghitung volume kubus. Nampak mudah baginya. Tak disangka ia selesai lebih dahulu daripada yang lain. Selang lima menit setelah bel. Babak kedua dimulai. Soal berupa essay. Tak ada hambatan saat ia mengerjakan.

`           Dibalik ruangan itu, nampak para guru sebagian sedang berbincang. Pa Aryo, seorang kepala sekolah dari SDN Pagi Buta. Dengan ciri khas tai lalat di bibir bawahnya. Dia seperti berbincang pada salah satu panitia. "Kami sangat mengapresiasi panitia atas undangannya, ini ada sedikit tanda terimakasih , tolong terima ya" Ucap Pa Aryo sambil memasukkan amplop coklat yang tebal ke saku panitia itu. "Citra sekolah kami makin hari makin cemerlang, tolong dibantu ya pak hehehe". Tambahnya.

            Panitia itu agak kaget saat menerima amplop dari Pak Aryo. Dia akhirnya paham maksud dari Pak Aryo yang memberi kedipan kode. Berbicara tentang SDN Pagi Buta, sekolah itu memang terkenal elit sekecamatan Sinar Pagi, kebanyakan murid yang mendaftar disana adalah anak-anak dari para pengusaha dan konglomerat. Di satu sisi Ningsih bertaruh kehormatan sekolahnya dengan peserta lainnya. Di barisan paling depan kiri, peserta dengan rompi biru yang mentereng dan membawa peralatan tulis bak perkakas rumah tangga. Dia adalah Robert perwakilan dari SDN Pagi Buta.

            Babak kedua sudah usai, tibalah babak ketiga setelah istirahat selama 20 menit. Ningsih membawa bekal dari ibunya. Nasi goreng bekas nasi tadi malam dihiasi telor ceplok. Dia memakannya dengan lahap. Bu Laksmi yang duduk disamping anak itu terharu melihat Ningsih yang sangat sederhana. Dia tak memberitahu rekan guru yang lain kalau seragam yang dipakai Ningsih adalah inisiatifnya sendiri. "Semoga kamu dapat juara satu ya nak" gumam Bu Laksmi dalam hati.

            Babak ketiga pun dimulai. Kali ini adalah pengetesan pemahaman terhadap teori. Disana murid diminta untuk menjelaskan volume tiap bangun ruang. Setelah itu tiap-tiap murid diwajibkan membuat kerangka bangun ruang itu dengan bahan yang sudah disediakan. Tentunya membuat bangun ruang macam limas, prisma, tabung perlu perhitungan yang akurat agar presisi hasilnya. Namun semua itu telah disiapkan oleh Ningsih. Ia telah berlatih dengan memakai kardus bekas dirumahnya. Termasuk Robert, dia juga mempersiapkan segalanya. Tapi pada saat presentasi, rupanya ia sangat kaku, hampir menangis. Entah setan apa yang merasukinya. Tiba-tiba diam lalu bersuara dan penjelasannya tidak masuk akal. Sepertinya ia mengalami anxiety yang hebat. Saat sesi pembuatan bangun ruang pun begitu. Tangannya tak luwes seperti bergetar, hasilnya pun seperti dugaan. Tidak simetris dan banyak meleot sana-sini.

            Keesokan harinya, Ningsih dipanggil oleh Bu Ida ke kantor. Bu Ida memberikan selembar kertas linen. Disana tertulis "Sertifikat Penghargaan Juara II Matematika se-Kecamatan Sinar Pagi". Mata Ningsih pun berbinar-binar bangga dan senang. "Yeay aku menang ya Bu? Ibuku pasti seneng banget". Seru Ningsih dengan bahagia.

            Ningsih masuk kelas seperti biasa, teman-teman dekatnya berdecak kagum dan memberinya ucapan selamat. Bel pun berbunyi menandakan pergantian pelajaran. Bu Lilik masuk menenteng tumpukan buku LKS yang masih baru. Beliau pun memberikannya pada Ningsih. "Ini hadiahnya, selamat ya, dah jangan pake yang fotocopy-an lagi!" ucapnya judes. "Baik Bu, Terimakasih bukunya". Ningsih pada akhirnya menerima meskipun tau jika buku LKS fotocopy-annya akan terbuang sia-sia. Perlu jerih payah bagi Ibu Ningsih untuk memfotocopy semua  LKS itu.

            "Sayang kali kau nak Ningsih, padahal mestinya kau bisa juara satu, penjelasanmu yang gamblang, nilaimu yang hampir sempurna, entahlah bagaimana panitia menilai para peserta" Ucap Bu Laksmi lirih memandang Ningsih dari kejauhan yang sedang bercengkerama depan teman kelasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun